RUU P2SK Dinilai Lemahkan dan Rusak Stabilitas Sistem Keuangan
Utama

RUU P2SK Dinilai Lemahkan dan Rusak Stabilitas Sistem Keuangan

Dalam pengaturan RUU P2SK masih terdapat beberapa pasal bermasalah yang mengancam independensi lembaga otoritas sektor keuangan dan berisiko menimbulkan masalah pelik ke depannya.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Rancangan Undang-Undang tentang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (RUU P2SK) resmi menjadi usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RUU Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan akan menggunakan metode omnibus law ini menjadi perhatian tersendiri. Salah satu pengaturan yang perlu diperhatikan mengenai perubahan tata kelola otoritas sektor keuangan.

Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan, mengungkapkan seharusnya RUU P2SK diharapkan dapat memperkuat sistem keuangan dan perekonomian menghadapi risiko krisis. Namun, dalam pengaturan RUU P2SK masih terdapat beberapa pasal bermasalah yang mengancam independensi lembaga otoritas sektor keuangan dan berisiko menimbulkan masalah pelik ke depannya.

“Bukannya mendorong penguatan lembaga dan sektor keuangan. RUU P2SK justru malah berpotensi melemahkan dan merusak stabilitas sistem keuangan yang telah terbentuk dengan baik dan buah manfaatnya sudah dinikmati selama ini,” ungkap Deni dalam CSIS Media Briefing “Kesiapan Menghadapi Krisis dengan RUU P2SK” pada Kamis (27/10) lalu.

Baca Juga:

Deni memaparkan setidaknya terdapat lima isu bermasalah pada RUU P2SK tersebut. Antara lain, kekuatan absolut Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan peran sentral Menteri Keuangan, independensi lembaga otoritas keuangan, penambahan fungsi (multiple objectives) bank sentral yang kontra-produktif, kewajiban penyesuaian suku bunga, permanen burden sharing (pembelian SBN oleh Bank Indonesia).

“Aturan mengenai KSSK dan mekanisme pengelolaan stabilitas sistem keuangan berpeluang mengurangi kewenangan dan mengamputasi independesi institusi lain seperti BI, OJK dan LPS. Karena mereka harus patuh pada aturan yang dibuat disepakati oleh KSSK atas nama stabilitas sistem keuangan. Peranan eksekutif yang direpresentasikan Menteri Keuangan dalam pengambilan keputusan KSSK sangat besar,” ungkap Deni.

Sehubungan independensi lembaga otoritas keuangan, Deni memaparkan independensi lembaga-lembaga otoritas sektor keuangan seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) beriko dilemahkan dengan kehadiran RUU P2SK. Salah satu ketentuannya yaitu dihapuskannya pasal yang melarang bahwa anggota dewan komisioner, gubernur dari BI, OJK, dan LPS berasal dari partai politik.

“Penghapusan pasal dari aturan yang melarang bahwa anggota dewan komisioner atau gubernur Bank Indonesia, LPS dari partai politik yang tadinya itu dilarang sekarang dihapus. Hal ini membahayakan karena bisa jadi kepala pimpinan otoritas sektor keuangan dikuasai politisi atau kepentingan jangka pendek misalnya yang punya kepentingan untuk memenangkan pemilu,” papar Deni.

Pada Draft RUU PPSK, tugas Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral tidak lagi hanya memelihara stabilitas nilai tukar, memelihara stabilitas sistem pembayaran, dan sistem keuangan, tetapi ditambahkan dengan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Deni menilai penambahan fungsi BI tersebut sangat tidak perlu dan dapat menjadi kontra produktif karena fungsi BI yang ada saat ini sudah cukup dan relevan sebagai bank sentral. Penambahan tugas BI malah akan semakin membebani BI dan menjadikannya tidak fokus.

“BI akan mengalami kesulitan untuk memenuhi semua fungsi tersebut, karena seringkali masing-masing fungsi tersebut saling kontradiktif antara satu dengan yang lainnya, misalnya, adanya trade-off antara inflasi dan pengangguran. Terlebih, batasan ataupun kriteria mengenai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan juga tidak jelas. Kesemuannya itu pada akhirnya akan menyulitkan untuk meminta pertanggungjawaban dari BI sebagai bank sentral,” jelas Deni.

Ketentuan lain pada RUU P2SK yaitu mengenai kewajiban penyesuaian suku bunga terkait dengan perluasan fungsi dan tugas BI tersebut di atas, pada RUU PPSK, dinyatakan kewajiban bank-bank umum untuk melakukan penyesuaian ambang batas suku bunga kredit perbankan sesuai dengan suku bunga Bank Indonesia paling lama tujuh hari sejak ditetapkan penyesuaian suku bunga.

“Hal ini bukan hanya akan menggangu bekerjanya mekanisme pasar dalam penentuan suku bunga, tapi juga akan menimbulkan masalah-masalah baru pada system keuangan dan perbankan nasional, seperti pasar gelap ataupun hilangnya kepercayaan masyarakat. Permasalahan tidak/kurang berjalannya transmisi suku bunga secara cepat yang terjadi selama ini seyogyanya dicari penyebab utamanya dan diselesaikan secara tuntas, dan bukan mencari jalan pintas dengan memaksa bank menetapkan suku bunga sesuai dengan suku bunga acuan,” papar Deni.  

Lalu, ketentuan permanen burden sharing (Pembelian SBN oleh BI) guna meneruskan mekanisme berbagi beban atau burden sharing saat Pandemi Covid19, RUU PPSK menambahkan pasal 36A dan 36B yang mengatur kewenangan BI untuk dapat membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permsalahan stabilitas sistem keuangan.

Tanpa penjelasan yang lebih detail dan transparan tentang kapan ketentuan ini dapat diterapkan, aturan ini dapat berpotensi disalahgunakan dan mengancam independensi BI. Desain RUU PPSK yang menempatkan posisi KSSK (yang secara riil kekuasaan didominasi oleh peran kementerian keuangan) yang lebih kuat dibandingkan BI, OJK dan LPS. Bersamaan dengan adanya multiple objectives dari BI, dinilai Deni akan membuat BI tidak lagi independen mengatur kebijakan yang berurusan dengan stabilitas keuangan karena formulasi kebijakan berpindah pada KSSK.

“Ketentuan ini dapat menjadikan BI sebagai “sapi perah” pembangunan dan sumber pembiayaan politik anggaran pemerintah. Peran ini dapat memaksa BI untuk mencetak uang lebih banyak tanpa memikirkan keberlanjutan stabilitas perekononomian di masa depan; tingkat inflasi yang tinggi dan krisis beban untang negara yang meningkat,” paparnya.

Selain itu, terdapat ketentuan yang harus disoroti yaitu mengenai perluasan kewenangan OJK dan LPS Selain menambah tugas/kewenangan Bank Indonesia, RUU PPSK juga menambah tugas dan kewenangan dari lembaga otoritas keuangan lain, yaitu OJK dan LPS. Tugas OJK akan bertambah dengan turut melakukan pengawasan, pemberian izin, hingga mencabut izin operasional koperasi simpan pinjam. Kemudian, kewajiban LPS juga mengalami penambahan, yaitu selain menjamin simpanan dana masyarakat di perbankan, LPS juga menjamin polis asuransi.

“Penambahan tugas kedua lembaga otoritas keuangan ini akan menambah beban kedua lembaga tersebut yang telah memiliki beban tugas yang berat dan luas, sementara sumberdaya yang mereka miliki juga terbatas. Tugas tambahan tersebut akan memecah fokus perhatian dan sumberdaya dari kedua lembaga tersebut. Bentuk lembaga penjamin polis, sebaiknya berdiri sendiri atau tidak perlu digabungkan dengan LPS. Demikian pula, kewenangan pengaturan dan pengawasan koperasi simpan pinjam lebih baik diserahkan sepenuhnya kepada Kementerian Koperasi dan UMKM,” pungkas Deni.

Tags:

Berita Terkait