RUU Ormas Berpotensi Kacaukan Sistem Hukum
Berita

RUU Ormas Berpotensi Kacaukan Sistem Hukum

Dinilai banyak tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan lain.

Ady
Bacaan 2 Menit

Tapi, dari informasi yang dihimpun terkait pembahasan RUU Ormas di DPR, Erwin menemukan bahwa kelompok vigilante tidak dibahas secara mendalam. Justru yang disorot dalam pembahasan itu menurut Erwin adalah organisasi masyarakat sipil yang cenderung kritis terhadap penguasa.

Menurut Erwin, jika pemerintah serius ingin menindak tegas kelompok vigilante, maka segala aturan hukum yang ada harus ditegakkan, termasuk KUHP. Ironisnya, pemerintah dinilai tidak dapat melakukan itu. “Dalam artian (pemerintah) harus tegas jika ada pelanggaran terhadap KUHP,” ujarnya.

Selain itu Erwin menyoroti banyak pasal di RUU Ormas yang tidak sejalan dengan demokrasi dan penegakan hukum. Salah satunya pasal 53 RUU Ormas, dalam ketentuan itu Erwin menyebutkan pemerintah dapat melakukan pembekuan terhadap organisasi masyarakat sipil tanpa melewati proses pengadilan. Bagi Erwin, hal itu dapat digunakan sebagai alat represi negara terhadap organisasi masayarkat sipil.

Jika mengacu negara lain yang menjunjung tinggi nilai demokrasi dan HAM, Erwin mengatakan tidak ada regulasi seperti UU Ormas. Di berbagai negara itu hanya ada UU Yayasan dan UU Perkumpulan. Namun, di negara yang non demokrasi seperti Rusia, Vietnam dan lainnya, untuk mengatur Ormas, beberapa negara itu menurut Erwin menerbitkan aturan yang serupa dengan UU Ormas yang ada di Indonesia. “Dalam artian memperkuat kontrol negara terhadap masyarakat sipil,” tuturnya.

Dari pantauannya, Erwin menyebut Pansus RUU Ormas sudah mulai melakukan pembahasan pada akhir bulan lalu. Walau begitu Erwin menyebut koalisi sampai saat ini belum mendapat draft RUU Ormas yang sudah diperbaiki. Dalam melakukan upaya penolakan terhadap UU Ormas, Erwin menjelaskan koalisi akan melakukan lobi dengan fraksi-fraksi di DPR serta organisasi masyarakat sipil lainnya.

Sudah dibahas
Terpisah, Ketua Pansus RUU Ormas, Abdul Malik Haramain, mengatakan semua pasal dalam RUU Ormas sudah dibahas di DPR. Menurutnya, ada lima isu yang sampai saat ini belum disepakati, salah satunya tentang asas. Namun, ada dua redaksional dalam pasal mengenai asas itu yang sudah disepakati. Pembahasan terkait asas itu menurut Malik berangkat dari adanya usulan dari sejumlah Ormas yang tidak menginginkan adanya asas tunggal, Pancasila.

Terkait adanya kritikan dari sejumlah LSM atas RUU Ormas, Malik menyebut telah mengakomodir berbagai kepentingan itu. Misalnya tentang mekanisme pendaftaran Ormas, Malik mengatakan sejumlah LSM minta agar organisasi yang sudah berstatus hukum tidak perlu lagi mendaftar ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Menurut Malik hal itu sudah disepakati dalam pembahasan dan telah dimasukkan ke dalam RUU Ormas.

Menurut Malik, SKT sangat penting, karena nantinya terdapat fasilitas yang dapat digunakan oleh Ormas dari APBN dan APBD. Menyoal verifikasi, Malik menyebut proses itu hanya berfungsi untuk memastikan tentang kejelasan keberadaan Ormas. SKT, dalam RUU Ormas bukan ditujukan untuk menghambat berdirinya Ormas.

Mengenai usulan sejumlah LSM agar pembahasan RUU Ormas diganti dengan UU Perkumpulan, Malik mengatakan draf UU Perkumpulan belum ada. Sampai saat ini ketentuan tentang perkumpulan diatur dalam staatblad tentang perkumpulan yang diterbitkan pada masa kolonial. Mengingat, regulasi warisan Belanda itu tidak lengkap, maka dibutuhkan sebuah regulasi yang lebih lengkap.

“Kalau UU Ormas ini bisa melengkapi (menggantikan) perannya staatsblad saya kira UU Perkumpulan tidak diperlukan, toh sekarang di Baleg (badan legislatif DPR,-red) UU Perkumpulan belum dibahas,” kata Malik kepada hukumonline lewat telpon, Selasa (11/9).

Tags: