RUU Narkotika Tekankan Rehabilitasi untuk Kurangi Over Kapasitas Lapas
Terbaru

RUU Narkotika Tekankan Rehabilitasi untuk Kurangi Over Kapasitas Lapas

Pemerintah harus melakukan kajian mendalam soal dampak pendekatan keadilan restoratif melalui upaya rehabilitasi untuk mengurangi kapasitas narapidana di Lapas dan Rutan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi pembahasan RUU
Ilustrasi pembahasan RUU

Babak baru perubahan terhadap politik hukum negara terhadap penanganan penyalahgunaan narkoba dimulai antara DPR dan pemerintah dalam Pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Banyak harapan terhadap perubahan aturan penanganan perkara penyalahgunaan narkotika ini. Salah satunya, pelaku penyalahgunaan narkotika tidak lagi dilakukan pemenjaraan, tapi rehabilitasi untuk mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan (Lapas) maupun Rumah Tahanan (Rutan).

Anggota Komisi III Arsul Sani mengatakan dalam draf RUU Narkotika pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) perlu melakukan kajian mendalam agar ada dampak terhadap over kapasitas Lapas di Indonesia. Sebab, menjadi rahasia umum, berlebihnya jumlah penghuni Lapas dan Rutan akibat warga binaan didominasi kasus narkotika dan obat-obatan terlarang (Narkoba).

“Saya mohon penjelasan dengan analisis kuantitatif. Kalau ini diubah, maka akan mengubah wajah Lapas itu sejauh mana?” ujar Arsul Sani dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kemenkumham dalam pembahasan RUU Narkotika di Komplek Gedung Parlemen, Senin (23/5/2022) kemarin.

Baca Juga:

Arsul berharap RUU Narkotika hasilnya dapat mengurangi jumlah warga binaan kasus narkoba sekaligus dapat menghemat anggaran negara dalam aspek pembiayaan Lapas ataupun Rutan. Salah satu aspek lain soal konsistensi penegak hukum dalam pelaksanaan penerapan Pasal 127 UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Pasal 127 UU 35/2009

(1) Setiap Penyalahguna:

      a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;  

      b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

      c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.

(3) Dalam hal Penyalahguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pria yang juga menjabat Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) itu melanjutkan permasalahan penegakan hukum dalam penanganan penyalahgunaan narkoba tidak konsisten secara murni dalam menerapkan Pasal 127 UU 35/2009. Sebaliknya, penegak hukum cenderung memilih menerapkan Pasal 111, 112 dan lainnya akibat adanya unsur “memiliki, dan menguasai narkoba”.

“Dengan menggunakan unsur itu, maka penyalahguna narkoba dapat dijerat dengan pidana biasa,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan itu.

Anggota Komisi III DPR I Wayan Sudirta menilai amanat dilakukannya rehabilitasi bagi pengguna telah tertuang dalam Pasal 127 UU 35/2009. Tapi, dengan adanya perubahan UU 35/2009 menjadi momentum mengubah politik hukum negara dalam perlakuan terhadap pengguna narkoba agar dilakukan rehabilitasi. Karenanya, RUU Narkotika harus mengedepankan upaya rehabilitasi bagi pengguna narkoba. “Saya pribadi cenderung memberikan peluang seluas-luasnya agar rehabilitasi bisa terwujud,” harapnya.

Wayan memaparkan ada hal yang dapat dilakukan dalam memberantas narkoba berdasarkan literatur. Salah satunya menerapkan rehabilitasi. Baginya, pengguna narkoba sejatinya merupakan korban yang diperlukan perlakuan lain selain penghukuman pidana melalui program rehabilitasi dan pengobatan. “Bukan malah dijebloskan ke penjara yang ujungnya malah memperparah kondisi korban.”

Dia menilai UU 35/2009 pada beberapa pasal tentang rehabilitasi sangat baik tanpa memberi persyaratan apapun. Namun, dalam pasal-pasal lain malah terdapat persyaratan ketat yang ujungnya tidak mudah memberikan rehabilitasi bagi pengguna narkoba. “Pasal-pasal itu memberikan ruang kepada penyidik, kepada pengadilan, jika dibaca dengan teliti untuk ‘bermain’,” sindirnya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu berpendapat upaya rehabilitasi seharusnya diberikan gratis bagi korban penyalahgunaan narkoba. Tapi fakta di lapangan, tidak mudah mendapatkan rehabilitasi. Berbeda halnya dengan orang yang memiliki status sosial tertentu. “Banyak sekali pengguna yang seharusnya direhabilitasi, tetapi tidak dilakukan (tapi dipenjara, red),” katanya.

Enam poin

Menanggapi Anggota Komisi III DPR, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward O.S Hiariej berpendapat dalam perubahan UU 35/2009 setidaknya terdapat enam poin penting. Pertama, zat psikoaktif baru. Kedua, rehabilitasi. Ketiga, tim asesmen terpadu. Keempat, kewenangan penyidik. Kelima, syarat tata cara pengujian dan pengambilan sampel. Keenam, penetapan status barang sitaan dan penyempurnaan ketentuan pidana.

Pria biasa disama Edy itu memaparkan latar belakang dilakukan revisi UU 35/2009. Antara lain dalam upaya meningkatkan pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan, peredaran gelar narkotika (P4GN), dan prekursor narkotika. Masalahnya, tingkat P4GN dan prekursor narkotika masih terbilang tinggi. Ironisnya masih belum dapat tertangani dengan maksimal, cepat, dan tepat.

Soal mengedepankan pendekatan keadilan restoratif, pemerintah memandang penting mengupayakan tindakan rehabilitasi ketimbang pemidanaan terhadap penyalahguna, pecandu, dan prekursor narkotika. Dia mengakui belum adanya pengaturan terhadap zat psikoatif baru marak beredar di masyarakat menimbulkan kecanduan yang sama bahayanya dengan narkotika.

Lebih lanjut, berdasarkan pembahasan awal RUU Narkotika, terdapat 360 daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disodorkan Komisi III ke pemerintah. Rinciannya terdiri dari 66 DIM bersifat tetap; 13 DIM bersifat redaksional; 10 DIM meminta penjelasan; 178 DIM bersifat substansi; dan 93 DIM bersifat substansi baru.

Tags:

Berita Terkait