RUU KUHAP Harus Tuntaskan Kebiasaan Bolak-Balik Berkas Perkara
Utama

RUU KUHAP Harus Tuntaskan Kebiasaan Bolak-Balik Berkas Perkara

Sejak KUHAP diterbitkan pada 1981 sampai 2005, lebih dari 110 ribu berkas perkara yang dibolak-balik antara polisi dan jaksa.

Ali
Bacaan 2 Menit
Basrif Arief, Luhut Pangaribuan dan Farouk Muhammad. Foto:Sgp
Basrif Arief, Luhut Pangaribuan dan Farouk Muhammad. Foto:Sgp

Nasib seorang tersangka terkatung-katung. Harapannya untuk mendapat kepastian hukum harus tertunda. Pasalnya, berkas perkara terhadap dirinya yang disidik oleh kepolisian belum juga dinyatakan lengkap oleh jaksa. Berkas perkara itu dikembalikan oleh jaksa ke penyidik kepolisian agar dilengkapi lagi.

 

Episode ini kerap ditemukan dalam penanganan perkara pidana umum. Bolak-balik perkara pun kerap berlangsung antara polisi dan jaksa. Mantan Wakil Jaksa Agung Basrif Arief mengakui kebiasaan ini sering terjadi. “Ketika saya menjadi jaksa, baru tiga tahun KUHAP diterbitkan, ada sekitar 6000 berkas perkara yang saya kembalikan ke polres,” ungkapnya dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional, Rabu (14/4).

 

Basrif mengatakan, berdasarkan catatannya, sejak KUHAP diterbitkan pada 1981 sampai 2005 telah ada sekitar 110 ribu berkas yang dikembalikan oleh jaksa ke penyidik kepolisian. “Itu yang tercatat, belum lagi yang tidak tercatat,” tuturnya.

 

Meski mengakui persoalan ini bisa diselesaikan secara personal antara polisi dan jaksa, Basrif tak menampik bila KUHAP juga memiliki peran. Pasalnya, lanjut Basrif, ketika hukum acara masih mengacu kepada HIR (sebelum KUHAP dihentikan), persoalan ini tidak terlalu mencuat.

 

Basrif mengatakan, sesuai ketentuan HIR, jaksa bisa melakukan penyidikan tambahan bila ternyata berkas perkara yang dikirim oleh polisi kurang lengkap. “Kami bisa melakukan penyidikan tambahan dengan bantuan pihak kepolisian,” tuturnya.  

 

Karenanya, Basrif menilai permasalahan ini seharusnya menjadi perhatian serius dalam rancangan KUHAP yang baru. Kebiasaan bolak-balik perkara antara polisi dan jaksa harus bisa diselesaikan.

 

Anggota Tim Perancang RUU KUHAP, Luhut MP Pangaribuan mengaku bolak-balik perkara terjadi karena persoalan sistem yang tidak tepat. “KUHAP gagal menjalankan misinya untuk menciptakan penegak hukum yang lebih baik,” sebut Luhut.

 

Lebih lanjut Luhut mengatakan, ‘kompetisi’ antar sesama penegak hukum memang sudah berlangsung sejak lama. Dalam konteks berkas perkara, polisi dan jaksa pun saling menyalahkan satu sama lain. Jaksa menilai berkas perkara yang dikirim oleh polisi kurang lengkap. Sedangkan polisi menilai kadang-kadang permintaan jaksa tidak rasional.

 

“Ini bukan soal moral penegak hukum. Tapi, karena sistemnya yang kurang tepat. Jangan cari siapa yang benar dan salah. Ini perlu kita perbaiki bersama,” jelas advokat senior ini.

 

Hakim Komisaris

Problem ini dinilai bisa diselesaikan bila wacana hakim komisaris diterapkan. Kewenangan hakim komisaris yang mengawasi proses penyidikan sampai pelaksanaan putusan dianggap solusi tepat untuk menyelesaikan polemik tersebut. Sebenarnya, dalam KUHAP sekarang, ada posisi yang mirip dengan hakim komisaris, yakni hakim wasmat (pengawas dan pengamat).

 

Bedanya, jelas Luhut, hakim wasmat bekerja setelah putusan. “Dia hanya bekerja ke depan. Tidak bisa bekerja pada tahap pra judikasi,” tuturnya. Sedangkan, hakim komisaris punya kewenangan untuk itu.

 

Namun, wacana soal penerapan hakim komisaris pun masih terus diperdebatkan. Pasalnya, dengan kewenangan yang sangat besar, hakim komisaris dinilai berpotensi melakukan abuse of power. “Silahkan saja kalau mau diterapkan, tapi orang yang mengisi jabatan itu harus benar-benar yang bermoral baik, tanpa cacat. Itu kan tak mungkin,” tutur purnawirawan polisi Farouk Muhammad.

 

Tags: