RUU KSDAHE Masuk Tahap Pembahasan Tripatrit
Terbaru

RUU KSDAHE Masuk Tahap Pembahasan Tripatrit

Masih terdapat inkonsistensi perumusan redaksional pasal maupun inkonsistensi konsep dasar. penggunaan istilah ‘konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya’ yang ada pada batang tubuh RUU dan dengan penggunaan istilah ‘konservasi keanekaragaman hayati’ pada penjelasan umum.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pemerintah, DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyepakati Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE) masuk tahap pembahasan. Kesepakatan diambil setelah pemerintah dan DPD memberikan pandangannya. Selanjutnya, pemerintah menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU KSDAHE kepada Komisi IV DPR.

“Apakah rencana jadwal pembahasan RUU KSDAHE dapat disetujui,” ujar Ketua Komisi IV Sudin dalam rapat dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan DPD di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (22/11/2022).

Pemerintah yang diwakili Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Prof Siti Nurbaya Bakar menyampaikan RUU KSDAHE menjadi usul inisiatif DPR. RUU tersebut yang merupakan perubahan UU No.5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya perlu mendapat perhatian. Bagi pemerintah, UU 5/1990 telah banyak  memberikan kontribusi dalam mengamankan potensi sumber daya alam serta kelestarian dan pemanfaatannya.

Menurutnya, selama ini UU 5/1990 menjadi benteng pertahanan dalam menjaga fungsi hutan secara nasional. Setidaknya ada tiga prinsip dasar dalam konsepsi perlindungan dan konservasi kawasan hutan yakni perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman satwa dan ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

“Tiga prinsip dasar itu menjadi pilar utama dalam mengelola kawasan konservasi dengan 109 ribu jenis flora dan 17.400 jenis fauna baik di kawasan dan luar hutan konservasi,” ujarnya.

Bagi pemerintah, kata Siti, substansi yang diatur dalam UU 5/1990 masih relevan dengan kondisi kekinian. Tapi, terdapat tantangan yang dihadapi dalam implementasi UU 5/1990. Antara lain terbatasnya kewenangan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) kehutanan dalam penyidikan. Kemudian tidak optimalnya jenis dan tingkat tuntutan serta pemberatan sanksi perdata maupun hukuman pidana. Bahkan belum adanya sistem pendanaan berkelanjutan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Pemerintah memandang dalam RUU KSDAHE tak perlu mengatur mekanisme pelimpahan kewenangan kawasan konservasi dari pemerintah pusat ke daerah. Sebab, hutan konservasi sebagai benteng terakhir kawasan hutan cukup dengan pendelegasian kewenangan melalui proosedur kerja sama pemerintah pusat dan daerah, serta sistem dekonsentrasi dan/atau devolusi.

“Berdasarkan hal tersebut, pandangan pemerintah cukup dilakukan dengan format revisi. Seluruh usulan DPR telah kami cermati dan tanggapi dalam DIM. Pemerintah siap membahas DIM dimaksud sesuai mekanisme yang berlaku,” ujarnya.

Sementara Ketua Komite II DPD Yorrys Raweyai memaparkan lembaga pembahasan RUU KSDAHE dilakukan secara tripartit. Bagi Komite II DPD, RUU tersebut memiliki signifikansi yang sangat krusial bila melihat dinamika persoalan lingkungan hidup saat ini. “Kami menyakini landasan filosofis atas penyusunan RUU ini sangat mendasar, karena sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya berperan sangat penting untuk kehidupan bangsa ataupun dunia,” ujarnya.

DPD mendukung penyusunan RUU KSDAHE dengan melihat fakta yang banyak terjadi saat ini. Seperti sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dihadapkan pada kerusakan, kelangkaan, dan kepunahan. Karena itu, diperlukan upaya konservasi sebagai bagian tidak terpisahkan dalam pencapaian tujuan pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Selain itu, kata Yorrys, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya perlu diatur secara sistematis dan terpadu agar terlaksana secara optimal. Dengan kata lain, RUU KSDAHE dapat menjamin kepastian hukum, dan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat atas penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati.

“Namun, DPD RI berpendapat struktur dan anatomi batang tubuh dalam RUU KSDAHE ini tidak disusun dengan sistematika yang runtut dan jelas untuk dapat menyampaikan konsep konservasi sumber daya alam hayati secara baik,” ujarnya.

Senator asal Papua itu menilai RUU KSDAHE terdapat inkonsistensi perumusan redaksional pasal maupun inkonsistensi konsep dasar. Beberapa inkonsistensi tersebut terlihat pada penggunaan istilah ‘konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya’ yang ada pada batang tubuh RUU. Serta dengan penggunaan istilah ‘konservasi keanekaragaman hayati’ pada penjelasan umum RUU.

“Inkonsistensi pada ketentuan mengenai asas (DIM 51-52) yang berbeda dengan apa yang tertulis dalam naskah akademik,” kata dia.

Ia menuturkan secara khusus terdapat beberapa catatan atas naskah RUU KSDAHE. DPD menegaskan konsistensi konsep dan kategorisasi kawasan konservasi menjadi catatan khusus yang utama. Terutama untuk memberikan pengaturan yang lebih jelas tentang Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) beserta konsep yang melekat di dalamnya.

“Semestinya dalam kategorisasi kawasan konservasi tersebut disesuaikan konteks manajemen pengelolaannya menurut fungsi dan tujuannya.”

Tags:

Berita Terkait