RUU Ketenagalistrikan Fokuskan Liberalisasi Pasar dan Perlindungan Konsumen
Berita

RUU Ketenagalistrikan Fokuskan Liberalisasi Pasar dan Perlindungan Konsumen

Kalangan DPR menyambut baik Rancangan Undang-undang tentang Ketenagalistrikan (RUU Ketenagalistrikan) yang diajukan pemerintah. Dewan berpendapat, sudah saatnya UU Ketenagalistrikan yang lama diganti karena mengingat undang-undang itu merupakan bagian dari krisis energi yang melanda Indonesia.

Amr/APr
Bacaan 2 Menit
RUU Ketenagalistrikan Fokuskan Liberalisasi Pasar dan Perlindungan Konsumen
Hukumonline

Dalam pemandangan umum fraksi-fraksi DPR terhadap RUU Ketenagalistrikan, terungkap bahwa Dewan menghargai upaya pemerintah tersebut dalam rangka memperbaiki pelayanan ketenagalistrikan bagi seluruh masyarakat. Hingga kini, banyak hal yang menyangkut regulasi di bidang pelistrikan masih belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan listrik.

Demikian seperti disampaikan oleh wakil F-PDIP Julius Bobo di depan Sidang Paripurna DPR pada 21 Juni 2001. Dalam pemandangan umumnya, F-PDIP memfokuskan pada isu-isu kompetisi, transparansi, rasio pengadaan listrik, harga listrik, peluang investor swasta, serta peran Badan Pengatur dalam Pasal 30 RUU.

Sementara itu, F-Reformasi memandang RUU Ketenagalistrikan ini sebagai upaya untuk memperbaiki sistem ketenagalistrikan yang sampai saat ini masih diatur dalam UU Ketenagalistrikan (UU No.15/1985).

Moh. Asikin dari F-Reformasi memandang UU No.15/1985 sudah harus diperbaiki. Pasalnya, UU tersebut tidak optimal merealisasikan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 karena sifat monopolistiknya.

Saling menguntungkan

Makna Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 tersebut, jelas Asikin, hendaknya tidak diartikan sebagai usaha liberalisasi pasar dalam sektor ketenagalistrikan. Sehingga, akan mengakibatkan pada penguasaan aset-aset vital dan strategis oleh pihak swasta. Keterlibatan pihak swasta dalam pengelolaan listrik juga tidak boleh membebani keuangan negara dan merugikan rakyat.

Asikin berharap, agar sesuai dengan semangat konstitusi, pihak swasta dan PLN hendaknya mempunyai komitmen yang sama untuk memberikan fasilitas listrik kepada rakyat. "Tentunya, melalui mekanisme yang saling menguntungkan," tegas Asikin dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI A.M. Fatwa tersebut.

Asikin mengingatkan bahwa kemelut PLN terkait dengan kontrak listrik swasta, sehingga menyebabkan rakyat merasa trauma terhadap sepak terjang pihak-pihak swasta. Masyarakat telah merasakan bahwa pengalaman partisipasi swasta dalam sektor listrik sama sekali tidak meningkatkan efisiensi. Bahkan, justru menimbulkan kerugian yang besar, sebagaimana terjadi pada 26 buah kontrak yang ada sekarang.

Dengan total kapasitas yang besar, sekitar 11.000 MW, PLN mengalami kerugian negara. Asikin mengharapkan RUU ini dapat mencegah terulangnya praktek monopoli oleh Pertamina ataupun swasta di kemudian hari.

Hak konsumen

Tidak hanya F-Reformasi yang mengharapkan agar RUU ini bisa mendorong terciptanya efisiensi, peningkatan kinerja PLN dan listrik swasta, serta mutu pelayanan kepada konsumen. Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) juga menyoroti isu-isu efisiensi dan kinerja PLN dan listrik swasta dengan lebih memberikan penekanan pada sisi perlindungan konsumen.

F-KB melalui juru bicaranya Nur Hasan menilai, hak dan kewajiban konsumen yang diatur dalam Pasal 16 RUU merupakan hal yang positif. Ia memberikan alasan bahwa konsumen tidak hanya diminta kewajibannya, tetapi juga diberikan hak-haknya secara proporsional. Akan tetapi, tambah Hasan, perlu dipertimbangkan bagaimana jika konsumen mengalami keluhan atas hak-haknya yang tidak terpenuhi.

Menurut Hasan, perlu dipertimbangkan tentang bagaimana jika hak-hak konsumen dilanggar oleh produsen. "Apakah jika keluhan tersebut tidak ditanggapi oleh produsen, konsumen dapat menggugatnya secara hukum baik perdata maupun pidana?," kata Hasan. Hal ini, tambahnya, perlu pengaturan lebih lanjut karena menyangkut perlindungan terhadap hak-hak konsumen.

Isu perlindungan konsumen memang selalu menjanjikan untuk diangkat dalam berbagai forum, baik formal maupun informal. Apalagi dalam forum-forum seperti sidang-sidang DPR, isu ini selalu menjadi ladang yang subur bagi para wakil rakyat untuk mempromosikan partainya.

Memang begitulah semestinya, karena masyarakat akan terus memantau tindak tanduk wakilnya tersebut. Sayangnya yang terjadi saat ini, kepentingan rakyat seringkali dikebelangkangkan. Sebaliknya, kepentingan untuk memperoleh kekuasaan tetap yang menjadi nomor wahid.

 

Tags: