Memantik Api Tembakau dalam RUU Kesehatan
Fokus

Memantik Api Tembakau dalam RUU Kesehatan

Ayat mengenai tembakau dalam Pasal 113 RUU Kesehatan hilang setelah drafnya disahkan Rapat Paripurna DPR. Ini bukan yang pertama terjadi. Kuat desakan untuk membawa pelakunya ke jalur hukum.

Mys/Fat/Sam
Bacaan 2 Menit

 

Empat lembaga swadaya masyarakat, Jum’at (16/10), yakni ICW, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Indonesia Tobacco Control Network (ITCN), dan Komnas Perlindungan Anak malah berencana melakukan tindakan hukum konkrit. Kasus ini akan dilaporkan ke Badan Kehormatan DPR dan ke polisi. “Kami meminta Badan Kehormatan DPR untuk melakukan pengusutan secara tuntas,” demikian pertanyaan keempat lembaga.

 

Bukan yang pertama

Kalau saja tidak ada orang seperti dokter Sorimuda serta aktivis dan dokter lain yang tergabung dalam Jaringan Pengendalian Tembakau, masalah penghilangan ayat (2) pasal 113 bisa jadi sekadar bumbu legislasi. Kalau ayat tembakau itu benar-benar hilang, yang diuntungkan tentu saja pabrik dan perusahaan yang menggunakan tembakau sebagai bahan utama, seperti perusahaan rokok. Dokter dan para aktivis menyuarakan masalah penghilangan ayat tersebut sehingga mencuat ke permukaan.

 

Irmanputra Sidin menduga ini bukan kasus pertama, melainkan sudah menjadi modus kejahatan dalam proses legislasi. Pihak tertentu sengaja menghapus atau menghilangkan bagian tertentu dari RUU yang sudah disetujui demi keuntungan materi atau keuntungan lain. “Saya khawatir penghilangan bagian dalam undang-undang merupakan modus kejahatan legislasi yang selama ini dilakukan,” duga Irman.

 

Berdasarkan catatan hukumonline, penghapusan atau penghilangan bagian tertentu dari suatu RUU yang sudah disepakati Paripurna DPR memang bukan pertama kali terjadi dalam RUU Kesehatan. Sebelumnya, hal yang sama ditemukan pada RUU Penanaman Modal (kemudian menjadi UU No. 25 Tahun 2007), dan RUU Perseroan Terbatas (disahkan menjadi UU No. 40 Tahun 2007). Pada kedua RUU tersebut, yang dihapus atau diganti hanya kata-kata tertentu, bukan satu ayat atau pasal penuh. Misalnya, dalam UU Penanaman Modal. Ketika masih berbentuk RUU disahkan DPR ada kata “dengan bebas” pada pasal 8 ayat (1). Ketika disahkan menjadi UU, kata “dengan bebas” tersebut sudah hilang.

 

Dalam UU Perseroan Terbatas, pasal 97 ayat (5) huruf d, kita membaca kata “dan”. Ketika disetujui DPR, naskah RUU Perseroan Terbatas sebenarnya menggunakan kata “atau”. Bagi sebagian orang mungkin akan bertanya: apa sih bedanya “dan” dengan “atau”? Toh, tidak mengubah makna pasalnya bukan? “Persoalan seperti ini tidak bisa direduksi menjadi masalah kecil,” kata pengamat politik Yudi Latief.

 

Kini, tinggal menunggu apakah harapan banyak kalangan untuk mengungkap tuntas kasus ini terealisir atau bukan. Satu pelajaran penting dari kasus ini ternyata dalam proses legislasi pun ada kemungkinan terjadi tindak pidana. Lantas, mengapa Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 yang menjadi payung pembentukan peraturan perundang-undangan tak mengenal sanksi pidana sebagaimana Undang-Undang lain?

Tags: