RUU Kesehatan Dinilai Berpotensi Merugikan Peserta Jamsos
Terbaru

RUU Kesehatan Dinilai Berpotensi Merugikan Peserta Jamsos

Karena RUU Kesehatan menempatkan BPJS berada di bawah Kementerian, sehingga dana peserta jaminan sosial yang dikelola BPJS rawan diintervensi Menteri. Dampaknya berpotensi mengganggu pengelolaan program jaminan sosial, terutama dalam pembiayaan manfaat

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Penolakan terhadap Revisi UU No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) melalui RUU Kesehatan atau disebut sebagai omnibus law bidang kesehatan ramai disuarakan kalangan masyarakat sipil. Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Inspir Indonesia mendesak pemerintah dan DPR tetap memposisikan kelembagaan BPJS tetap bertanggungjawab langsung kepada presiden seperti saat ini, tanpa melalui menteri.

“Inspir Indonesia meminta DPR dan Pemerintah fokus untuk meningkatkan manfaat dan layanan program jaminan sosial, dengan tetap memposisikan kedua BPJS bertanggungjawab langsung kepada Presiden, tanpa melalui Menteri,” kata Ketua Presidium Inspir Indonesia, Yatini Sulistyowati, Selasa (21/02/2023).

Yatini mengatakan, pelaksanaan program Jaminan Sosial (Jamsos) kesehatan dan ketenagakerjaan yang diselenggarakan melalui BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan telah memberikan banyak manfaat bagi rakyat Indonesia. Harapannya, manfaat yang diterima peserta terus ditingkatkan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dengan konsep gotong royong dan pengelolaan dana peserta secara independen dan profesional maka dapat meningkatkan pelayanan.

Baca juga:

Yatini menilai, pelaksanaan jaminan sosial melalui BPJS belum sempurna, karenanya masih ada persoalan yang dihadapi masyarakat. Pemerintah dan BPJS harus berkomitmen mengatasi masalah yang ada. Program jaminan sosial harus didukung seluruh kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah. Hal itu sebagaimana instruksi Presiden Joko Widodo yang tertulis Inpres No.2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan Inpres No.1 tahun 2022 tentang Optimalisasi Jaminan Sosial Kesehatan.

Kewenangan Direksi dan Dewan Pengawas (Dewas) BPJS menurut Yatini sudah baik karena bertindak secara independen dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Kewenangan Direksi dan Dewas harus diperkuat sehingga posisinya setara ketika berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah. Koordinasi yang setara itu diharapkan mampu mendukung pengelolaan jaminan sosial yang lebih baik.

Yatini mencatat salah satu masalah yang minim dukungan dari kementerian, lembaga dan pemerintah daerah yakni kepesertaan BPJS. Begitu juga dalam mendukung pelayanan di fasilitas kesehatan. “Oleh karena itu sangat dibutuhkan peran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan yang mumpuni agar BPJS bisa membangun koordinasi yang baik dengan kementerian, lembaga dan pemerintah daerah,” ujarnya.

Alih-alih meningkatkan kewenangan dan tugas BPJS, pemerintah dan DPR justru berupaya memangkas independensi dan kewenangan BPJS dengan memposisikan Direksi dan Dewan Pengawas kedua BPJS di bawah Menteri. Yatini melihat ketentuan itu ada dalam RUU Kesehatan yang statusnya sudah ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR.

Misalnya, Pasal 7 ayat (2) RUU Kesehatan menyatakan BPJS bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yaitu melalui Menteri Kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan. Pasal 13 ayat (2) huruf a, khusus bagi BPJS Kesehatan wajib melaksanakan penugasan dari Kementerian Kesehatan.

Ketentuan serupa juga terlihat di pasal 28 ayat (1) RUU Kesehatan yang mengatur proses pemilihan Direksi dan Dewas BPJS dalam kendali Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan, yang diberi kewenangan membentuk panitia seleksi bersama Menteri Keuangan atas persetujuan Presiden.

Yatini menegaskan, BPJS mengelola dana peserta, bukan dana Angggaran Pendapat Belanja Negara (APBN)/ Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Pengelolaan dana peserta itu harus bebas dari intervensi pihak lain seperti menteri. Dana APBN dan APBD yang dibayar ke BPJS merupakan kewajiban pemerintah untuk membayar iuran JKN bagi masyarakat yang tidak mampu. Pemerintah juga membayar iuran PNS, TNI, Polri, sebagai pemberi kerja.

“Termasuk membayar iuran jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) kepada BPJS Ketenagakerjaan,” urainya.

Koalisi khawatir, pengelolaan dana jaminan sosial diintervensi jika posisi BPJS berada di bawah Menteri sebagaimana RUU Kesehatan. Yatini menilai hal itu berpotensi merugikan peserta. Dana yang harusnya dikelola untuk pembiayaan jaminan sosial akan terganggu. Status Badan Hukum Publik yang disandang BPJS harus dimaknai sebagai bentuk independensi BPJS dalam mengelola jaminan sosial yakni bertanggungjawab langsung kepada Presiden, tanpa melalui Menteri.

RUU Kesehatan mengancam kualitas pengelolaan jaminan sosial yang ujungnya menurunkan kualitas pelayanan dan manfaat jaminan sosial kepada rakyat Indonesia. Koalisi mendesak pemerintah dan DPR tidak merevisi UU BPJS melalui RUU Kesehatan. “Pemerintah dan DPR lebih baik fokus meningkatkan manfaat dan layanan program jaminan sosial dengan tetap memposisikan BPJS bertanggungjawab langsung kepada Presiden tanpa melalui Menteri,” pungkasnya.

Sebelumnya, Direktur Utama Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Prof Ali Ghufron Mukti mengaku heran kenapa RUU Kesehatan memposisikan BPJS bertanggungjawab kepada Menteri. Padahal selama ini BPJS bertanggungjawab langsung kepada presiden, mengingat tugas yang dijalankan BPJS adalah mandat langsung konstitusi.

Dia menceritakan proses evolusi BPJS Kesehatan dimulai sejak 1968 yang ketika itu bernama Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) dan posisinya di bawah Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Seiring perkembangan zaman sampai akhirnya berubah menjadi PT Asuransi Kesehatan (Askes) yang berada di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pemerintah kemudian menerbitkan UU 40/2004 yang mengatur pembentukan BPJS. Kemudian BPJS lahir dengan diterbitkannya UU 24/2011. BPJS beroperasi tahun 2014 dan pelaksanaannya semakin diperkuat Presiden Joko Widodo dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) yang memerintahkan seluruh kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah mendukung program BPJS.

“Maka dari itu jika (BPJS Kesehatan,-red) ditarik kembali ke tahun 1968 (berada di bawah Kementerian Kesehatan,-red) maka ini luar biasa kemundurannya puluhan tahun ke belakang,” ujar Ghufron.

Sebagaimana diketahui, Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Inspir Indonesia terdiri dari banyak organisasi. Seperti Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Jaringan Buruh Migran (JBM), TURC, Lembaga Informasi dan Penelitian Sedane (LIPS), Garteks, JAPBUSI, Serikat Buruh Migran dan Informal Indonesia (SEBUMI)-, Rekan Indonesia, Aceh Flower, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), BPJS Watch dan gajimu.com.

Tags:

Berita Terkait