RUU JPSK Bisa Berikan Opsi Tambahan dalam Tangani Krisis
Berita

RUU JPSK Bisa Berikan Opsi Tambahan dalam Tangani Krisis

Khususnya di sektor perbankan, melalui purchase and assumption dan bridge bank.

ANT
Bacaan 2 Menit
Gedung OJK. Foto: RES
Gedung OJK. Foto: RES

[Versi Bahasa Inggris]

Pembentukan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (UU JPSK) yang sedang dibahas di DPR dinilai dapat memberikan opsi lebih banyak dalam penanganan krisis, khususnya di sektor perbankan. Hal itu diutarakan oleh Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual di Jakarta, Rabu (11/11).

Davis mengatakan, saat ini cara penyehatan bank yang mengalami masalah pendanaan, hanya dapat dilakukan dengan penyertaan modal sementara (PMS) oleh lembaga penjaminan, seperti yang terjadi pada kasus Bank Century. Padahal, ada cara lain dalam penanganannya seperti purchase and assumption (P&A) dan bridge bank.

Menurut David, dengan purchase and assumption, aset bank yang hampir gagal dapat dilelang oleh investor. Hal inilah yang dilakukan oleh FIDC (lembaga penjaminan milik pemerintah Amerika Serikat). Selain itu ada opsi bridge bank, seperti yang dilakukan oleh Jepang.

Ia mengatakan, metode purchase and assumption juga dapat menjadi langkah pencegahan dini yang cukup bagus. "Paling tidak cost-nya diharapkan tidak sebesar biaya jika bank tersebut sudah gagal. Kalau dengan metode ini sudah dipisahkan mana yang bagus dan jelek, sehingga makin kecil kemungkinan menggelontorkan biaya yang lebih besar," ujarnya.

Berdasarkan Data Banking Condition Index (BCI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kondisi perbankan Indonesia masih masuk dalam kategori normal. Deputi Komisioner Pengawas Bank III OJK, Irwan Lubis, menjelaskan pada Juli lalu BCI sempat menyentuh angka 0,67 dan kemudian angka ini naik pada Agustus menjadi 0,71."Naik tetapi masih dalam batas normal," ujarnya.

Irwan menerangkan, indeks dengan angka lebih dari 1 tandanya dalam kondisi normal. Jika indeks dengan angka 0,5-1 itu artinya lampu kuning, normal tetapi waspada. Jika 0-0,5 itu dalam kondisi siaga. Sedangkan kalau minus dalam kondisi krisis."Waktu 1998, itu kita minus, jadi krisis, kredit macet perbankan mencapai dua kali lipat angkanya dibanding saat ini," tambahnya.

Pertumbuhan NPL perbankan naik signifikan dari 12,2 persen (yoy) pada April 2014 menjadi 35,1 persen yoy padaAgustus 2015. Meskipun masih di bawah regulatory comfort zone sebesar 5 persen, Rasio Gross NPL perbankan juga terus mengalami peningkatan, yakni naik dari 2,05 persen (yoy) pada April 2014, menjadi sebesar 2,76 persen (yoy) pada Agustus 2015 atau meningkat sebanyak 71 bps.

Untuk diketahui, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperkirakan kenaikan rasio NPL masih belum berakhir hingga akhir2015, terutama akibat masih lemahnya pertumbuhan kredit untuk beberapa bank."Melihat tren yang ada, NPL perbankan sampai akhir tahun ini berpotensi meningkat di kisaran 3 persen. Sektor pertambangan, perdagangan dan komoditas masih melemah," tambah David.

Namun, lanjut David, tren peningkatan kredit ke depan sejalan dengan niat pemerintah menggenjot belanja modal menurutnya bisa cukup menghambat rasio NPL."Kalau ada pelonggaran kebijakan moneter, bisa lebih bagus," pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait