RUU Ini Bakal Atur Hubungan Keluarga yang Mengandung Unsur Asing
Berita

RUU Ini Bakal Atur Hubungan Keluarga yang Mengandung Unsur Asing

Sudah dipersiapkan sejak 1983.

Moh. Dani Pratama Huzaini/MYS
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi perkawinan campuran. Ilustrator: BAS
Ilustrasi perkawinan campuran. Ilustrator: BAS

Indonesia adalah negara dengan heterogenitas yang kuat. Dalam satu keluarga besar saja sangat mungkin terdiri dari beragam latar belakang ayah, ibu dan menantu. Perkawinan silang antar beragam etnis atau sudah lazim terjadi. Demikian pula perkawinan campuran, antara Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA). Hubungan keluarga yang mengandung anasir orang asing sudah lama terjalin, dan akan terus terjadi seiring dengan perkembangan zaman.

Hubungan keluarga yang mengandung unsur asing bisa terbangun dan terjalin dengan baik jika para pihak memperhatikan beberapa aspek hukum yang relevan. Misalnya, ketentuan mengenai status personal, hukum yang berlaku bagi perkawinan, pelaksanaan perkawinan, dan harta bersama. Bahkan mungkin juga memahami kerangka hukum perceraian dengan segala akibat hukumnya, termasuk hak asuh anak yang lahir dalam perkawinan campuran.

Di Indonesia, hubungan keluarga yang mengandung unsur asing tak selamanya berjalan mulus. Jika terjadi perceraian, acapkali pasangan beda kewarganegaraan memperebutkan harta dan hak asuh anak. Ketika banyak orang Vietnam mengungsi ke Pulau Galang (1975-1996) di Indonesia, masalah adopsi anak orang asing menjadi salah satu diskursus hukum yang mengemuka. Intinya, banyak persoalan hukum yang potensial muncul pada saat sebelum dan setelah hubungan keluarga yang mengandung unsur asing terjalin.

(Baca juga: Pesan Guru Besar HPI Saat Mendapat Kejutan dari Koleganya).

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Tiurma Pita Allagan, menjelaskan persoalan hukum yang muncul dalam hubungan keluarga semacam itu sebenarnya bisa diminimalisasi jika pengaturannya jelas. Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (RUU HPI) telah lama dipersiapkan. “Sekarang lagi dibicarakan,” kata Tiurma kepada Hukumonline, di sela-sela seminar di Fakultas Hukum UI Depok, 16 Oktober lalu.

Kandidat PhD dari University of Groningen Belanda ini menjelaskan RUU HPI sudah dipersiapkan sejak 1983, diprakarsai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional –dulu Lembaga Pembinaan Hukum Nasional--  Teuku M. Radhie dan Guru Besar Hukum Perdata Internasional FH UI, Sudargo Gautama. Konsepnya sudah berkali-kali berubah, terakhir adalah RUU HPI versi 1997. “Saya dengar November nanti akan dibicarakan lagi,” ujarnya.

Penelusuran hukumonline ke laman BPHN, naskah akademik RUU HPI sudah dimasukkan pada list  tahun 2015. Pada tahun itu, RUU ini memang mulai kembali didiskusikan. Salah satu pemicunya adalah satu komunitas masyarakat Asia Tenggara, ASEAN One Community, yang membuka kemungkinan warga negara ASEAN bermukim di mana saja di negara ASEAN. Kerjasama ini akan berdampak pada status personal warga bersangkutan. Kesamaan pengakuan perkawinan, misalnya, membawa konsekuensi perkawinan yang dilaksanakan di Indonesia harus diakui juga di Malaysia dan Thailand. Sehingga, seseorang tidak dengan mudah mengaku berstatus ‘lajang’ di negara lain padahal di negara asalnya sudah punya isteri atau suami.

Selain itu, ada beberapa poin baru yang dimasukkan, misalnya penculikan anak (child abduction) jika terjadi perceraian dalam perkawinan campuran. Masalah lain yang dimasukkan ke dalam naskah akademik adalah legalisasi dokumen publik (apostile); hukum acara berkaitan dengan pengambilan bukti-bukti di luar negeri dalam perkara perdata dan dagang (taking of evidence abroad of judicial and extrajudicial documents in civil and commercial matters); serta pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan asing untuk perkara-perkara perdata dan dagang.

(Baca juga: Hak Kunjung dalam Perkawinan Campuran, Begini Penjelasan Ahli Hukum).

Pelaksanaan perkawinan dan hukum yang berlaku bagi perkawinan itu salah satu poin krusial dalam RUU HPI. Berdasarkan naskah akademik, aturan pelaksanaan perkawinan disesuaikan dengan prinsip-prinsip umum perkawinan. Syarat-syarat substansial perkawinan terikat pada hukum yang mengatur status personal kedua mempelai. Artinya, hukum yang berlaku adalah hukum di mana calon mempelai menjadi warga negara. Sedangkan, aspek formalitas perkawinan diatur oleh hukum di negara mana perkawinan itu dilaksanakan. Inilah yang disebut lex loci celebration.

Pasal 23 RUU HPI 1997 menyebutkan perkawinan adalah sah apabila dilangsungkan sesuai dengan syarat-syarat formal yang ditentukan oleh hukum negara tempat perkawinan dilakukan. Perkawinan antar WNI atau antara WNI dan WNA di luar negeri dianggap sah jika sesuai dengan syarat-syarat formal yang ditentukan oleh hukum Indonesia.

Dalam hukum positif yang berlaku saat ini, Pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan perkawinan di luar negeri sah jika dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara tempat perkawinan dilangsungkan dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan dalam UU Perkawinan. Dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali ke Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan di tempat tinggal mereka.

Tiurma Pita Allagan berpendapat RUU ini penting untuk disusun dan dibahas demi kepastian hukum. “Kalau ditanya penting apa tidak, penting banget ya,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait