RUU Haluan Ideologi Pancasila Dinilai Abaikan Tap MPRS XXV/1966
Berita

RUU Haluan Ideologi Pancasila Dinilai Abaikan Tap MPRS XXV/1966

Karena tidak mencantumkan Tap MPRS XXV/1966 sebagai pedoman larangan ideologi komunisme/marxisme-leninisme dalam bagian konsideran RUU Haluan Ideologi Negara.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES

Pembahasan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) memasuki babak baru, setelah disahkan menjadi usul inisiatif DPR dalam rapat paripurna, Selasa (12/5) kemarin. DPR dan pemerintah bakal mendalami materi muatan dalam draf RUU HIP ini.

Hanya saja terdapat hal terabaikan dalam memasukan Ketetapan (Tap) MPRS No.XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah NKRI Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atas Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme dalam RUU HIP itu. 

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menjadi partai yang menolak keras sejak awal rumusan RUU HIP yang tidak menjadikan Tap MPRS XXV/1966 sebagai landasan. Anggota Badan Legislasi (Baleg) dari Fraksi PKS Buckhori Yusuf menegaskan fraksinya menolak  dengan catatan terhadap RUU HIP ditetapkan sebagai RUU insiatif DPR.

Dia mengingatkan Tap MPRS XXV/1966 hingga kini belum dicabut, sehingga keberlakuannya masih diakui. Karena itu, Ketika HIP hendak dijadikan aturan seharusnya mencantumkan Tap MPRS XXV/1966 sebagai acuan agar tak ada ‘main’main’ dengan idelogi komunisme. Setidaknya pencantuman Tap MPRS XXV/1966 dituangkan dalam ketentuan mengingat dari RUU HIP.

“Suatu kekeliruan yang fatal jika mengabaikan TAP MPR itu, sebab ketentuan tersebut masih berlaku dan belum dicabut sampai saat ini,” ujarnya beberapa hari lalu di Komplek Gedung Parlemen.

Anggota Komisi VIII itu melanjutkan pihaknya berulang kali memberi catatan pada draf per 9 April dan 22 April kepada pimpinan Baleg agar memasukan ketentuan Tap MPRS XXV/1966 dalam ketentuan mengingat RUU HIP. Namun hingga diparipurnakan menjadi usul inisiatif DPR tak juga dimasukan dala ketentuan mengingat.

Padahal, kata Buchori, sejarah telah membuktikan adanya pihak-pihak atau golongan yang ingin mengubah ideologi negara menjadi ideologi terlarang. Menurutnya, Tap MPRS XXV/1966 merupakan esensi penting dan ruh dari ideologi negara Pancasila. Dia beralasan melalui Tap MPRS XXV/1966 sebagai upaya menjaga orisinalitas Pancasila dari pengaruh haluan kiri dan kanan, seperti sosialis komunis dan dan kapitalis liberalis.

“Terakhir menjaga keutuhan Pancasila dari pemahaman dan sejarah perjalanannya,” ujarnya.

Senada, Ketua Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Ahmad Ali berpandangan konsideran RUU HIP harus diperbaiki yakni dengan memasukan Tap MPRS No. XXV Tahun 1966. Ali menilai menjadi persoalan ketika RUU HIP meniadakan atau tidak memasukan Tap MPRS XXV/1966. Baginya terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam RUU HIP sebelum dibahas secara intensif antara DPR bersama dengan pemerintah.

“Konsideran Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 tersebut harus tetap dicantumkan dalam RUU HIP sebagai salah satu bentuk akomodasi kepentingan dan kedewasaan politik DPR,” kata Ahmad Ali.

Anggota Komisi III itu memaklumi berbagai pandangan masyarakat terhadap RUU HIP. Pro kontra pun menjadi hal lumrah di era demokrasi. Sekalipun terdapat kelompok yang skeptis dan mencibir RUU HIP. Namun dia menyesalkan bila dorongan masyarakat agar dasar dan falsafah kehidupan bernegara tak diakomodir.

Perlu sejumlah perbaikan

Senada dengan Buchori dan Ali, anggota Baleg dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) Syamsurizal berpandangan fraksinya mengusulkan agar Tap MPRS XXV/1966 menjadi landasan ideologi Pancasila. Dia beralasan dengan menuangkan atau mencantumkan Tap MPRS XXV/1966 dapat membentengi bangsa Indonesia dari berbagai ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.

Meski telah menjadi usul insiatif DPR dan bakal dibahas bersama pemerintah di tingkat pertama, Syamsurizal meminta adanya sejumlah perbaikan dalam draf RUU HIP. Menurutnya perbaikan tersebut perlu dilakukan khususnya pada ketentuan umum serta memperjelas sejumlah istilah yang belum banyak dipahami.

Seperti kata “kebersamaan”. Dia meminta agar kata “kebersamaan” diubah menjadi “gotong royong”. Hal lain, fraksi partai berlambang kabah itu mengusulkan agar mempertimbangkan kembali penunjukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai pelaksana UU HIP sebagai institusi yang jauh lebih kuat mengemban amanah.

Buchori juga mempertanyakan bakal dibentuknya kementerian/badan kependudukan dan keluarga nasional untuk menjamin terlaksananya HIP sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 ayat (2) RUU HIP. Menurutnya, pembentukan kementerian/badan tersebut bukan solusi tepat. Pasal 38 ayat (2) RUU HIP menyebutkan, “Untuk menjamin terlaksananya Haluan Ideologi Pancasila dalam sistem nasional kependudukan dan keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk kementerian/badan kependudukan dan keluarga nasional.”

“Telah ada BPIP yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kemudian bertugas membantu Presiden merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila. BPIP semestinya diperkuat, bukan malah membentuk kementerian/badan baru di tengah semangat efisiensi yang disuarakan Presiden Joko Widodo," katanya.

Tags:

Berita Terkait