RUU Cipta Kerja Dinilai Ancam Keberlangsungan Lingkungan Kawasan Hutan
Berita

RUU Cipta Kerja Dinilai Ancam Keberlangsungan Lingkungan Kawasan Hutan

Karena RUU menghapus peran DPR memberi persetujuan dalam perubahan peruntukan kawasan hutan dan batas minimal luas kawasan hutan yang harus dipertahankan dalam satu wilayah (provinsi) yakni 30 persen dari luas daerah yang akan mempercepat laju deforestasi.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Departemen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum UGM Totok Dwi Diantoro menilai RUU Cipta Kerja mengancam keberlanjutan lingkungan hidup yang tidak memberi keadilan sosial bagi masyarakat. RUU Cipta Kerja lebih mengutamakan kepentingan investasi dengan semangat menyederhanakan proses perizinan. Salah satu yang paling menonjol yakni dominasi kewenangan pemerintah pusat terkait pengawasan di sektor lingkungan hidup dan kehutanan.

 

Totok mencatat sedikitnya 3 hal yang perlu dicermati dalam RUU Cipta Kerja. Pertama, RUU Cipta Kerja mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup dan sumber daya hutan. Kedua, relatif menyederhanakan persoalan terkait kepastian kawasan dan resolusi konflik. Ketiga, tidak peka terhadap rasa keadilan sosial bagi masyarakat.

 

“RUU Cipta Kerja juga tidak memuat sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H),” sebutnya.

 

Totok menyoroti sejumlah ketentuan dalam RUU Cipta Kerja, diantaranya Pasal 37 butir 4 yang menghapus Pasal 19 ayat (2) UU No.41 Tahun 1999 yang mengatur peran DPR untuk memberi persetujuan kepada pemerintah dalam perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis.

 

Dia menilai aturan itu membuka peluang pemerintah dapat menerbitkan kebijakan terkait peruntukan kawasan hutan yang bernilai strategis secara sepihak. Nantinya, ketentuan itu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. “Aturan itu secara jelas menghapus mekanisme check and balances DPR terhadap eksekutif,” kritiknya.  

 

Salah satu bukti RUU Cipta Kerja mengancam keberlanjutan lingkungan hidup, menurut Totok dapat dilihat antara lain dihapusnya Pasal 18 ayat (2) UU No.41 Tahun 1999 yang mengatur luas kawasan hutan yang harus dipertahankan dalam satu wilayah (provinsi) yakni 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan/atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Ketentuan ini akan mempercepat laju deforestasi.

 

“Artinya RUU Cipta Kerja tidak menghiraukan daya dukung dan kapasitas lingkungan,” ujarnya.

 

Begitu pula soal penyelesaian konflik, Totok menilai RUU Cipta Kerja menganggap remeh masalah ini. RUU Cipta Kerja hanya menambah satu ayat dalam Pasal 15 terkait tumpang tindih kawasan, izin dan/atau hak atas tanah, serta penyelesaiannya akan diatur lebih lanjut lewat Peraturan Presiden.

 

Totok mengingatkan pemerintah pernah menerbitkan aturan serupa yakni Peraturan Presiden No.88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan. Tapi, pelaksanaannya tidak efektif karena substansinya setengah hati menyelesaikan konflik di kawasan hutan. “Ini mengindikasikan RUU Cipta Kerja meremehkan resolusi dan konflik,” katanya.

Tags:

Berita Terkait