RUU Anti Pencucian Uang Lupakan Pentingnya Kerjasama Internasional
Berita

RUU Anti Pencucian Uang Lupakan Pentingnya Kerjasama Internasional

Praktek pencucian uang merupakan tindak pidana transnasional yang berkembang sangat pesat dan merupakan tantangan penegakan hukum bagi dunia internasional. Untuk mecegah merebaknya praktek pencucian uang (money laundering) perlu didukung perjanjian ekstradisi dengan sejumlah negara yang diasumsikan sebagai tempat berlabuhnya para pelaku kejahatan.

Amr/APr
Bacaan 2 Menit
RUU Anti Pencucian Uang Lupakan Pentingnya Kerjasama Internasional
Hukumonline

Juru bicara F-Reformasi, Alvin Lie, mengemukakan pandangan partainya itu dalam Rapat Paripurna Pemandangan Umum DPR terhadap RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (RUU PTPPU) di Gedung DPR (22/10). Alvin menyoroti ketentuan hukum yang terdapat dalam Bab IX tentang Kerjasama Internasional RUU PTPPU.

F-Reformasi menilai bahwa ketentuan pada Bab IX tentang Kerjasama Internasional belum komprehensif alias masih memiliki banyak kekurangan. Setidaknya, kata Alvin, ada empat hal yang belum diatur dalam bab tersebut.

Pertama, tentang hukum pidana dan hukum administrasi negara. "Hukum pidana berkaitan dengan proses tindak kriminal, sedangkan hukum administrasi berkaitan dengan government administrative order terhadap lembaga keuangan untuk mencegah dan mengatasi money laundering," jelas Alvin.

Kedua, dalam perjanjian ekstradisi dan saling membantu dalam perkara pidana hendaknya memasukkan money laundering dalam crime list atau daftar tindak pidana.

Ketiga, dalam hukum acara hendaknya diatur untuk melacak, membekukan, dan menyita uang haram tersebut. Dan keempat, ketentuan tentang rahasia perbankan (bank secrecy) hendaknya memperhatikan kekhususan yang berkaitan dengan money laundering.

Hingga saat ini, tidak ada satu lembaga internasional yang dapat memastikan berapa besar jumlah uang yang dicuci setiap tahunnya. Financial Action Task Force (FATF), satgas internasional yang bertugas memberantas money laundering di negara-negara Eropa dan Asia memperkirakan jumlah uang yang dicuci tiap tahun di seluruh dunia dari perdagangan narkoba berkisar antara AS$300-AS$500 miliar.

Sementara itu, berdasarkan statistik IMF yang disampaikan Direktur Direktorat Hukum Bank Indonesia disebutkan bahwa uang hasil kejahatan tertentu yang dicuci melalui bank diperkirakan mencapai AS$1,500 triliun per tahunnya. Wakil dari F-TNI/POLRI Supriadi mengatakan, besarnya angka pencucian uang di beberapa negara akibat tidak adanya peraturan perundangan yang melarang kejahatan kerah putih tersebut.

e-money

Faktor lain yang membuat money laundering sangat sulit untuk diberangus, khususnya di Indonesia, yakni adanya ketentuan mengenai kerahasiaan bank yang diatur dalam UU Perbankan. Alvin juga mencatat faktor lainnya yang menyangkut  perkembangan jenis alat bayar baru di dunia bisnis yang disebut e-money.

Munculnya e-money tersebut, kata Alvin, berkembang seiring dengan semakin memasyarakatnya e-commerce melalui internet. Money laundering yang 'mengoptimalkan' jaringan internet akrab dikenal sebagai cyberlaundering.

Pembahasan RUU PTPPU di DPR baru mencapai tingkat II atau pemandangan umum anggota DPR atas RUU tersebut. Rapat Paripurna Tingkat II RUU PTPPU pada 21 Oktober 2001 diketuai oleh Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno.

Rapat tersebut sedianya dimulai setelah pembahasan Tingkat IV Pengambilan Keputusan atas RUU tentang Otonomi Khusus Papua yang diagendakan diadakan pada pukul 09.00 wib.

Namun, akhirnya pimpinan rapat mengumumkan bahwa Rapat Paripurna pembahasan Tk. IV RUU Otonomi Khusus Papua ditunda. Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra yang semestinya hadir dalam rapat paripurna tersebut, juga tidak terlihat hingga rapat berakhir. YUsril diwakili oleh Mendagri Hari Sabarno sebagai Menteri Kehakiman ad interim.

Tags: