Rumusan Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE Bakal Dibenahi
Terbaru

Rumusan Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE Bakal Dibenahi

Penerapan pasal-pasal yang dianggap bermasalah tidak hanya memicu perdebatan di masyarakat terkait dengan aspek keadilannya, namun juga keprihatinan pemerintah terhadap penerapan pasal yang dianggap tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dibuatnya aturan tersebut.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Sementara Wakil Ketua Komisi I Bambang Kristiono berharap RUU ITE mampu mengikuti dinamika perkembangan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan perlindungan hukum di bidang pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dengan lebih baik. Menurutnya tidak mudah membuat ketentuan hukum di bidang teknologi informasi karena perubahannya sanat pesat.

“Karakteristik aktivitas teknologi informasi di dunia siber yang bersifat lintas batas yang tidak lagi tunduk pada batasan-batasan teritorial negara,” ujarnya.

Bambang  menilai, implementasi UU 19/2016  di masyarakat kerap menghadapi sejumlah masalah yang perlu segera diantisipasi. Misalnya persoalan tentang penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang mengatur tentang pencemaran nama baik dan/atau penghinaan secara daring. Sebagian masyarakat keberatan dengan ketentuan tersebut. 

Salah satu permasalahan yang muncul dan perlu diatasi adalah keberatan sebagian masyarakat terhadap Pasal 27 ayat (3) UU 19/2016 yang belum mampu menyelesaikan persoalan yang ada. Karenanya, pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) memberikan pedoman terhadap beberapan pasal yang dianggap bermasalah.

“SKB ini kemudian memicu kontroversi di masyarakat,” ujarnya.

Politisi Partai Gerindra itu menekankan penerapan pasal-pasal yang dianggap bermasalah tidak hanya memicu perdebatan di masyarakat terkait dengan aspek keadilannya namun juga keprihatinan pemerintah terhadap penerapan pasal yang dianggap tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dibuatnya aturan tersebut.

“Penggunaan pasal-pasal yang tidak sesuai dengan tujuan dibuatnya pasal-pasal tersebut dianggap dapat menjaring subjek-subjek yang seharusnya tidak menjadi sasaran dari pengaturan Undang-Undang ini,” ujarnya.

Bambang mengatakan, terhadap berbagai persoalan itu, pemerintah dan DPR bakal menyempurnakan UU 19/2016 melalui revisi dengan cara membenahi sejumlah pasal yang dianggap bermasalah. Selain itu UU 19/2016 harus diselaraskan dengan UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Baginya, kendatipun aktivitas dunia siber sepenuhnya beroperasi secara virtual, namun sesungguhnya masih tetap melibatkan masyarakat yang hidup di dunia nyata. Karenanya, pelaksanaan hak-hak di dunia nyata maupun dalam aktivitas pemanfaatan teknologi informasi dalam dunia siber sangat berpotensi mengganggu ketertiban dan keadilan dalam masyarakat apabila tidak terdapat harmoni antara hukum dan teknologi informasi.

Tags:

Berita Terkait