Rumusan Ne Bis in Idem dalam RKUHP
Kolom

Rumusan Ne Bis in Idem dalam RKUHP

Jika tidak memuat pengecualian, maka aturan ne bis in idem dikuatirkan dapat menghalangi penerapan mekanisme PK, setidaknya dalam praktik.

Bacaan 5 Menit
Binziad Kadafi. Foto: Istimewa
Binziad Kadafi. Foto: Istimewa

Saat ini pemerintah sedang memasifkan konsultasi publik Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Fokusnya adalah 14 isu krusial yang masih mengundang kontroversi. Ini termasuk pasal-pasal dalam aturan umum (buku kesatu) maupun pasal-pasal dalam tindak pidana (buku kedua).

Meski bukan bagian dari 14 fokus konsultasi publik, tulisan ini mencoba menyoroti satu pasal dalam aturan umum RKUHP yang mengatur asas penting dalam hukum pidana, ne bis in idem. Asas ini dikatakan sebagai jaminan hak beracara (procedural rights) tertua dalam sejarah (Westen & Drubel, 1978). Asas ini sudah ditemukan dalam Digest of Justinian di masa Kekaisaran Bizantium sebagai perintah agar penguasa tidak menuntut kembali orang yang sama atas kejahatan mana yang bersangkutan telah dibebaskan (Sigler, 1963).

Secara eksplisit ne bis in idem melarang “penuntutan” dua kali (nemo bis vexari debit). Namun secara implisit asas tersebut juga melarang “pemidanaan” dua kali (non bis puniri). Larangan kedua dikandung oleh larangan pertama, mengingat pemidanaan hanya dimungkinkan jika ada penuntutan. Artinya larangan penuntutan dua kali juga melarang pemidanaan dua kali (Van Kempen, 1995).

Baca juga:

Di RKUHP ne bis in idem diatur dalam Pasal 134. Dinyatakan di sana: “Seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam satu perkara yang sama jika untuk perkara tersebut telah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Sementara di KUHP yang berlaku saat ini, ne bis in idem diatur dalam paragraf pertama Pasal 76 (1). Berdasarkan terjemahan Moeljatno, ketentuannya berbunyi: “Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap.” (Moeljatno, 2007).

Isi Pasal 76 ayat (1) KUHP sepenuhnya sama dengan Pasal 68 ayat (1) KUHP Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang diberlakukan pada 1886. Dulu berbagai kitab undang-undang di Hindia Belanda (sebutan bagi Indonesia sebelum kemerdekaan) memang harus mengikuti berbagai kitab undang-undang di Belanda (Surachman, 2002).

Hilangnya Kalimat Pembuka

Jika diperbandingkan, Pasal 134 RKUHP dan Pasal 76 ayat (1) KUHP memuat perbedaan yang menyolok. Kalimat pembuka dari rumusan ne bis in idem dalam KUHP dihilangkan oleh RKUHP. Bunyi kalimat pembuka itu adalah: “Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi”.

Meski terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia relatif membingungkan, namun beberapa pakar menjelaskan bahwa maksud dari kalimat pembuka tersebut adalah pengecualian terhadap Peninjauan Kembali (PK) atau herziening dalam bahasa Belanda. Ini dinyatakan secara tidak langsung antara lain oleh Ernst Utrecht dan Jan Remmelink.

Ne bis in idem memang awalnya dimuat dalam Pasal 218 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Belanda 1838 (Wetboek van Strafvordering) sebagai larangan penuntutan ulang. Namun seiring waktu, ada upaya untuk memperluas ne bis in idem dari semula “larangan penuntutan ulang”, menjadi “larangan membuka kembali suatu perkara pidana”. Upaya tersebut dilakukan dengan memindahkan ketentuan ne bis in idem dari KUHAP Belanda ke KUHP Belanda pada 1886 (Van Hattum, 2012).

Bisa dipahami karenanya mengapa PK ikut diatur dalam pasal tentang ne bis in idem. Ini sekaligus menjadi bukti tambahan bahwa kalimat yang dibicarakan di atas memang dimaksudkan sebagai pengecualian terhadap PK.

Lalu apa pentingnya kalimat pembuka Pasal 76 ayat (1) KUHP tersebut? Beberapa pakar hukum pidana menganggap kalimat tersebut tidak penting untuk dimuat. Utrecht misalnya, mengatakan bahwa pembukaan kalimat Pasal 76 ayat (1) KUHP yang mengecualikan PK dari ne bis in idem tidak diperlukan. Menurutnya PK adalah upaya hukum (rechtsmiddel), yang seperti upaya hukum lain, hanya melanjutkan tuntutan yang dijalankan sebelumnya. Diajukannya PK tidak berarti bahwa suatu perkara dituntut untuk kedua kalinya (Utrecht, 1985).

Atau Van Kempen yang mengatakan pengecualian PK dari ne bis in idem sama sekali tidak perlu, sebab PK bersifat menguntungkan terpidana. Upaya hukum yang menguntungkan tidak dapat dianggap sebagai penuntutan ulang yang melanggar ne bis in idem (Van Kempen, 1995).

Begitu halnya Remmelink yang memandang pengecualian PK dari asas ne bis in idem tidak diperlukan karena tidak berdampak pada penerapannya. PK hanyalah upaya hukum luar biasa bagi kepentingan terpidana guna mengoreksi kesalahan dalam putusan berkekuatan hukum tetap, bukan penuntutan baru terhadap perbuatan pidana yang sama, yang terhalang oleh ne bis in idem (Remmelink, 2003).

Menyempurnakan Rumusan Asal

Namun di sisi lain ada pula sarjana yang memandang penting kalimat pembuka dari rumusan ne bis in idem tersebut. Van Hattum menyatakan bahwa kalimat tersebut mengandung arti bahwa membuka kembali suatu putusan pemidanaan yang berkekuatan hukum tetap harus diizinkan selama ditemukan kesalahan faktual, meski ada larangan penuntutan/peradilan ulang yang diabadikan oleh asas ne bis in idem (Van Hattum, 2012).

Penulis pun berpendapat, jika tidak memuat pengecualian, maka aturan ne bis in idem dikuatirkan dapat menghalangi penerapan mekanisme PK, setidaknya dalam praktik. Sebab ne bis in idem bertujuan melindungi finalitas putusan melalui “larangan pengulangan”, sementara PK dirancang sebagai “pengulangan” dengan membuka kembali putusan final dalam rangka mengoreksi kesalahan putusan yang serius (miscarriage of justice).

Selain itu secara harfiah ne bis in idem (Graaf, 2018) berarti: ne (tidak); bis (prosedur kedua); dan idem (untuk fakta yang sama). Karenanya ne bis in idem kerap dimaknai sebagai “larangan bagi prosedur peradilan kedua” yang lebih luas dari sekedar “larangan bagi penuntutan kedua”. PK perlu dikecualikan dari ne bis in idem karena meski bukan penuntutan kedua namun potensial dikategorikan sebagai prosedur kedua guna memeriksa ulang perkara pidana yang telah diputus melalui sebuah proses peradilan yang sudah final.

Secara universal pun, jika merujuk pada Pasal 14 ayat (7) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang diadopsi Sidang Umum PBB pada 1966, ne bis in idem (atau padanannya di sistem common law, double jeopardy) memang dirumuskan sebagai larangan “peradilan” ulang terhadap seseorang yang telah dipidana atau dibebaskan oleh putusan final. Di ayat (6) Pasal yang sama, ICCPR juga mengatur konsep yang mirip dengan PK, yang mengintroduksi keberadaan bukti baru, kesalahan serius dalam putusan, dan saluran untuk mengoreksi putusan final. Konsep setara PK di Pasal 14 ayat (6) ICCPR mendahului ketentuan ne bis in idem di ayat (7), sebagaimana kalimat pembuka yang mendahului dan berlaku sebagai pengecualian atas norma utama ne bis in idem dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP.

Karenanya kalimat pembuka dalam rumusan ne bis in idem sebaiknya dipertahankan, dengan mempertegas bahwa itu adalah pengecualian terhadap PK. Sebab bukan mustahil ketika ada perselisihan tentang penerapan Pasal 134 RKUHP nantinya, rujukan pada doktrin ne bis in idem harus dibuat, di mana secara universal doktrin tersebut condong dimaknai sebagai larangan peradilan ulang, bukan semata penuntutan ulang. Apabila ini terjadi, maka pelaksanaan PK bisa saja terhalang oleh aturan dan penafsiran atas ne bis in idem.

*)Binziad Kadafi, Pengajar STH Indonesia Jentera.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait