Rumah Restorative Justice untuk Kedamaian dan Harmoni
Terbaru

Rumah Restorative Justice untuk Kedamaian dan Harmoni

Sebagai tempat penyelesaian masalah dengan konsep perdamaian melalui musyawarah mufakat, sebelum perkaranya masuk ke ranah penegak hukum. Serta menghidupkan peran tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat untuk bersama-sama dengan penegak hukum.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Mantan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) periode 2011-2014 itu melanjutkan, hakikat keadilan restoratif selaras dengan sila kedua dan keempat Pancasila yakni musyawarah untuk mufakat dalam penyelesaian masalah. Menurutnya, proses penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif membutuhkan nilai-nilai keadilan dan kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat.

Karenanya, Kejaksaan berpandangan diperlukannya ruang agar dapat menghadirkan jaksa lebih dekat di tengah-tengah masyarakat agar dapat bertemu dan menyerap aspirasi secara langsung. Seperti dari tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat, serta menyelaraskan nilai-nilai tersebut dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia dalam mengambil keputusan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.

Ruang tersebut diharapkan dapat menjadi rumah bagi aparat penegak hukum, khususnya jaksa dalam mengaktualisasikan budaya luhur bangsa yakni musyawarah untuk mufakat dalam proses penyelesaian perkara. Sementara filosofi penyebutan rumah menjadi tempat yang memberi rasa aman, nyaman, dan tempat semua orang berkumpul dalam mencari solusi atas permasalahan akibat adanya perkara pidana ringan.

“Oleh karena itu izinkan saya dalam kesempatan ini memberikan nama ruang tersebut dengan nama ‘Rumah Restorative Justice’,” lanjutnya.

Dia berharap Rumah Restorative Justice dapat menjadi contoh menghidupkan peran tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat untuk bersama-sama dengan penegak hukum. Khususnya Jaksa dalam proses penegakan hukum yang berorientasikan pada keadilan substantif. Selain itu, menjadi sarana penyelesaian perkara di luar persidangan dalam memecahkan permasalahan penegakan hukum yang belum dapat memulihkan kedamaian dan harmoni di tengah masyarakat.

Burhanuddin mengatakan terdapat 31 Rumah Restorative Justice yang bakal diluncurkan di sembilan wilayah yakni wilayah Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Kejaksaan Tinggi Aceh, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau, dan Kejaksaan Tinggi Banten.

Dia berharap Rumah Restorative Justice menjadi pilot project yang nantinya dapat ditiru dan dikembangkan di wilayah lain. Dengan begitu, Rumah Restorative Justice dapat menjadi rujukan penegak hukum dalam mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal dalam proses penyelesaian perkara pidana ringan khususnya.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana menambahkan sepanjang diberlakukannya Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif,  setidaknya sudah 821 perkara di seluruh Indonesia ditangani dengan mengedepankan keadilan restoratif.

Makanya, dalam mewujudkan keadilan restoratif di tengah masyarakat dibutuhkan tempat penyelesaian masalah dengan konsep perdamaian melalui musyawarah mufakat sebelum perkaranya masuk ke ranah penegak hukum. Baginya, kehadiran Rumah Restorative Justice sebagai tempat dapat menyelesaikan segala permasalahan di masyarakat, serta mampu menggali kearifan lokal dalam rangka mengimplementasikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

“Rumah Restorative Justice sebagai tempat musyawarah mufakat telah membuka harapan untuk menciptakan keharmonisan dan kedamaian dalam masyarakat,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait