Rujukan Aturan Perundang-undangan Bagi Konsumen yang Dirugikan Online Shop
Berita

Rujukan Aturan Perundang-undangan Bagi Konsumen yang Dirugikan Online Shop

Pemerintah sudah saatnya mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perdagangan Elektronik yang menjadi payung teknis untuk operasional belanja online.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat pengaduan dari konsumen terkait belanja "online" (online shop) merupakan yang paling banyak diterima selama 2017. Dalam konferensi pers di Kantor YLKI Jakarta, Jumat (19/1), Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mencatat sepanjang 2017, lembaga tersebut menerima 642 pengaduan, yang 16 persen di antaranya atau 101 pengaduan terkait transaksi belanja online.

 

"Yang paling menohok dari 642 pengaduan yang diterima YLKI, yang paling banyak adalah belanja online. Menurut catatan kami, karena masih lemahnya regulasi," kata Tulus seperti dilansir Antara, Jumat (19/1).

 

Ia menjelaskan lemahnya regulasi pemerintah menjadi salah satu penyebab tingginya pengaduan konsumen saat transaksi belanja online. Menurut dia, Pemerintah sudah saatnya mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perdagangan Elektronik yang menjadi payung teknis untuk operasional belanja online.

 

Dalam kesempatan yang sama, Staf bidang Pengaduan Konsumen dan Hukum YLKI, Abdul Baasith, memaparkan tren pengaduan belanja online mengalami kenaikan signifikan selama lima tahun terakhir, bahkan naik 100 persen dari tahun sebelumnya yang hanya menyumbang 8 persen pengaduan.

 

Abdul Baasith menyebutkan dari 101 pengaduan, toko online yang paling banyak dikeluhkan konsumen adalah Lazada sebesar 18 aduan, Akulaku 14 aduan, Tokopedia 11 aduan, Bukalapak 9 aduan, Shopee tujuh aduan, Blibli lima aduan, JD.ID empat aduan, Elevania tiga aduan, dan sisanya dari media sosial serta blog pribadi.

 

"Terkait belanja online, banyak dari konsumen yang mengeluhkan barang belum sampai sedangkan transfer pembayaran sudah dilakukan," kata Abdul.

 

Ia menambahkan 36 persen konsumen mengeluhkan barang tidak sampai. Banyak juga yang mengeluhkan lambannya respons komplain dari pelaku usaha dan ada yang melaporkan karena dugaan penipuan.

 

YLKI menyayangkan pelaku usaha di situs belanja online kurang kooperatif dalam merespons pengaduan, bahkan akunnya seperti diblokir sehingga akses untuk mengajukan keluhan seperti "live chat" tidak bisa digunakan.

 

(Baca Juga: Ini Ketentuan Hukum Bila Barang Lebaran yang Dipesan Secara Online Bermasalah)

 

Sepanjang 2017, YLKI menerima 642 pengaduan dengan 10 besar komoditas, yakni dari yang terbanyak belanja online 16 persen, perbankan 13 persen, perumahan sembilan persen, telekomunikasi sembilan persen, listrik delapan persen, leasing (asuransi) enam persen, paket enam persen, transportasi lima persen, otomotif tiga persen dan TV kabel dua persen.

 

Tak bisa dipungkiri, pesatnya perkembangan teknologi saat ini berpengaruh terhadap semua bidang. Begitu pun sektor perdagangan. Mudahnya akses internet dimanfaatkan pedagang untuk merauk keuntungan dengan membuka usaha di dunia maya. Perkembangan ini juga sempat menjadi tren yang dinamakan Online Shop.

 

Mudahnya berbelanja secara online membuat para konsumen berbondong-bondong untuk mencobanya. Tapi perlu perlu ketahui, masih banyak kelemahan yang terdapat dalam transaksi ini. Misalnya, penipuan dan tidak sesuainya barang yang diterima dengan yang ditawarkan sehingga sangat merugikan bagi konsumen. Hal lain bagi konsumen, ketika tertipu melakukan belanja secara online dan bingung mau meminta pertanggungjawabannya, ternyata ada beberapa peraturan perundang-undangan yang bisa menjadi rujukan.

 

Pertama, UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen (UU PK). Pasal 4 poin (c) UU ini menegaskan, Konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Sedangkan poin (h) menyatakan, Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”.

 

Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha juga diatur di undang-undang ini sesuai Pasal 7 poin(b) dan (g) terkait kewajiban penjual. Pasal 7 poin (b) menyatakan, Pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

 

Sedangkan poin (g) menyatakan, Pelaku usaha memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian”. (Baca Juga: Foto Digunakan Situs Belanja Online, Chef Farah Quinn Lapor Polisi)

 

Apabila produsen atau pelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya, pelaku usaha ini bisa dipidana berdasarkan Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen. Pasal itu menyatakan, Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

 

Kedua, pada tahun 2008 pemerintah telah mengeluarkan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronok (ITE). Pasal 28 Ayat (1) menyatakan, Setiaporang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.

 

Kemudian dijelaskan juga tentang sanksinya dalam Pasal 45 Ayat (2) UU ITE. Pasal itu menyatakan, Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksuddalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

Ketiga, peraturan tentang perlindungan konsumen terkait barang tidak sesuai dengan yang ditawarkan juga diatur dalam (KUHP). Pasal yang mengatur masalah ini adalah Pasal 378 KUHP yang membahas tentang penipuan.

 

Pasal itu menyatakan, Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan oran lain untuk menyerahkan suatu benda kepadanya, ataupun supaya member hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait