Rugikan Masyarakat Pesisir, Perda Zonasi Bakal Digugat
Utama

Rugikan Masyarakat Pesisir, Perda Zonasi Bakal Digugat

Koalisi Masyarakat Sipil akan mengajukan executive review terhadap 21 Perda zonasi dan permohonan uji materi terhadap UU No.27 Tahun 2007 jo UU No.1 Tahun 2014. Perda Zonasi yang diterbitkan sejumlah daerah itu bertentangan dengan putusan MK dan UU, sehingga layak dibatalkan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Kegiatan nelayan. Foto: www.kampungnelayan.com (Ilustrasi)
Kegiatan nelayan. Foto: www.kampungnelayan.com (Ilustrasi)

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menghitung ada 21 daerah yang sudah rampung membahas Peraturan Daerah (Perda) tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun, materi pembahasan Perda Zonasi itu dinilai lebih banyak merugikan masyarakat sekitar pesisir dan pulau-pulau kecil  

 

Sekjen Kiara Susan Herawati mengatakan Perda Zonasi ini merupakan mandat UU No.1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dari seluruh Perda Zonasi yang diterbitkan itu isinya kebanyakan mengakomodir kepentingan industri. Berbagai proyek pembangunan yang mendominasi Perda Zonasi itu seperti pembangunan infrastruktur dengan cara reklamasi, pertambangan, pariwisata, PLTU batu bara, dan konservasi.

 

Misalnya, pemerintah provinsi Lampung telah menerbitkan Perda No.1 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Lampung Tahun 2018-2038. Perda Zonasi itu memberi ruang untuk wisata alam bentang laut sebesar 23.911,12 hektar; wisata alam bawah laut 680,32 hektar; wisata alam pantai/pesisir dan pulau-pulau kecil 347,87 hektar; dan wisata olah raga air 912,50 hektar.

 

Untuk zona pertambangan, Perda Zonasi Provinsi Lampung ini mengalokasikan ruang sebesar 12.585,53 hektar, dan industri seluas 2.549,10 hektar. Tapi ruang yang disediakan untuk pemukiman nelayan hanya 11,66 hektar. “Perda Zonasi didominasi kepentingan industri  (korporasi). Pemerintah menutup mata terhadap nasib nelayan kecil dan tradisional yang seharusnya menjadi subjek utama amanat konstitusi,” kata Susan dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (20/6/2019). Baca Juga: Kementerian KKP Tidak Boleh Ada Penambangan di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil

 

Minimnya alokasi pemukiman untuk nelayan juga ditemui dalam Perda No.13 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Kalimantan Utara Tahun 2008-2038. Perda ini mengalokasikan 10.094 hektar untuk pariwisata; 188.495 hektar untuk pelabuhan; 100.086 untuk pertambangan; 187.946 hektar untuk kawasan strategis nasional latihan militer. Zona untuk pemukiman nelayan hanya 37 hektar bagi 9.175 keluarga nelayan,” ungkapnya.

 

Begitu pula dengan Perda No.4 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Kalimantan Utara Tahun 2018-2038. Alokasi untuk pertambangan 8.909,70 hektar; zona pariwisata 4.971,51 hektar; zona pelabuhan 36.049,28 hektar; konservasi 29.918,80 hektar. Alokasi untuk pemukiman nelayan 106 hektar untuk 7.096 keluarga nelayan.

 

Susan melihat penataan ruang laut melalui Perda Zonasi ini tidak ditujukan untuk masa depan kehidupan nelayan dan ekosistem pesisir dan laut, tapi ditujukan untuk kepentingan pemilik modal. Hal ini mengakibatkan nelayan sulit mengakses laut karena di kawasan tersebut ada proyek reklamasi, pertambangan, atau pariwisata.

 

Mengacu Putusan MK No.3/PUU-VIII/2010 yang menguji UU No.27 Tahun 2007, Susan, mengingatkan ada 4 hak masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Pertama, hak untuk melintas dan mengakses laut. Kedua, hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat. Ketiga, hak mendapatkan manfaat dari sumber daya kelautan dan perikanan. Keempat, hak untuk menjalankan adat istiadat secara turun temurun dalam mengelola laut.

 

Untuk mendorong pemenuhan hak nelayan kecil dan tradisional di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Koalisi Masyarakat Sipil akan menempuh upaya hukum. Upaya hukum yang akan ditempuh dengan mengajukan uji materi atau executive review terhadap Perda Zonasi yang sudah diterbitkan itu kepada pemerintah (Kemendagri). Permohonan uji materi ini terhadap UU No.1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.27 Tahun 2007. “Jika masyarakat nelayan meminta, kami siap mengajukan gugatan,” kata dia.

 

Tak boleh Abaikan kearifan lokal

Senior Advisor IHCS, Gunawan menjelaskan putusan MK No.3/PUU-VIII/2010 membatalkan seluruh pasal dalam UU No.27 Tahun 2007 yang berkaitan dengan Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP-3) karena dinilai bertentangan dengan konstitusi. Pertimbangan MK dalam putusan ini yakni HP-3 menghilangkan hak tradisional nelayan. Kompensasi bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang terdampak perizinan seperti diatur UU No.27 Tahun 2007 dianggap bertentangan dengan hak ulayat. MK berpendapat yang mendapat kompensasi itu hanya generasi sekarang, padahal hak ulayat sifatnya turun temurun.

 

Pertimbangan lain, MK menyebut masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil tidak bisa mengakses sumber daya karena tidak akan mampu mendapatkan HP-3 karena tidak punya modal. Terakhir, MK menyebut HP-3 mengancam posisi masyarakat adat dan nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya secara turun temurun dari sumber daya yang ada pada perairan pesisir dan pulau-pulau kecil karena keterbatasan mereka untuk memperoleh HP-3 dibandingkan pengusaha swasta.

 

“Melalui putusan MK ini menegaskan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak boleh mengabaikan kearifan lokal dan nilai luhur yang berlaku. Semua bisa diperoleh melalui partisipasi masyarakat,” papar Gunawan yang menjadi salah satu pemohon dalam gugatan tersebut.

 

Karena itu, Gunawan menganggap Perda Zonasi yang diterbitkan sejumlah daerah itu bertentangan dengan putusan MK dan UU sehingga layak dibatalkan. Langkah yang bisa ditempuh masyarkaat sipil antara lain mengajukan uji materi terhadap Perda Zonasi atau mengajukan executive review kepada Kementerian Dalam Negeri.

Tags:

Berita Terkait