RPP Tembakau Harus Adil dan Berimbang
Berita

RPP Tembakau Harus Adil dan Berimbang

Peraturan soal tembakau yang ideal adalah mengacu pada FCTC.

FNH
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP (Ilustrasi)
Foto: SGP (Ilustrasi)

Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (RPP Tembakau) sudah bergulir selama empat tahun. Pembahasan ini berjalan cukup lama dan alot dikarenakan banyaknya pro dan kontra dari berbagai pihak terutama petani tembakau serta industri rokok. Pemerintah mengaku telah menyelesaikan draft akhir pembahasan RPP ini. Namun, hingga saat ini RPP tersebut belum juga disahkan.


Salah satu pihak yang dahulu kontra terhadap RPP Tembakau ini adalah Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI). Penolakan ini dikarenakan ada beberapa pasal yang disinyalir akan mematikan industri rokok tradisional. Namun, setelah melakukan komunikasi dan dialog bersama dengan pemerintah, AMTI akhirnya menyepakati RPP Tembakau tersebut.


Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Umum AMTI, Budidoyo ,dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (6/7). “Kita sepakat soal RPP Tembakau ini karena sudah lebih baik daripada draf RPP sebelumnya,” kata Budidoyo.


Menurutnya, beberapa perubahan isi RPP Tembakau sudah cukup adil dan berimbang. Perubahan tersebut antara lain dihapusnya peraturan mengenai jumlah isi rokok serta pengaturan gambar yang sebelumnya dilarang di dalam draft RPP Tembakau.


Sejauh ini, AMTI selalu mendorong pemerintah untuk menciptakan regulasi yang adil bagi semua pihak. Regulasi ini penting untuk menghindari saling tuding antar kedua belah pihak yang berkepentingan. “Diharapkan aturan yang dibuat dapat memayungi semua pihak,” ujarnya.


Disamping itu, ia mengharapkan agar pemerintah dapat mensosialisasikan RPP Tembakau ini. Pasalnya, masih banyak pihak yang belum memahami secara menyeluruh isi dan maksud dari peraturan pemerintah ini. Hasilnya, muncul kekhawatiran-kekhawatiran pada petani tembakau serta industri rokok di Indonesia.


“Pemerintah seharusnya mengakomodasi pihak anti rokok, namun juga harus memperhatikan industri rokok dan juga petani tembakau,” tuturnya.


Budidoyo menentang jika pemerintah berencana membuat kebijakan terkait konversi tembakau karena akan mengatur persoalan hulu yang tentu adalah petani tembakau. Pengalihfungsian dengan menggantikan tanaman tembakau dengan tanaman lain dinilai kurang tepat. Pasalnya, ada beberapa daerah yang ciri geografisnya hanya cocok dengan tembakau.


“Kalau misalnya pemerintah sudah menyediakan pengolahan tembakau dalam bentuk lain, kira-kira pasarnya ada apa tidak,” tanya Budidoyo.


Sementara itu, Koordinator Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo mengatakan bahwa pembahasan final RPP Tembakau masih di bawah standar. RPP ini, katanya, tidak mengacu kepada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sehingga regulasi yang dibuat oleh pemerintah masih terkesan lemah.


“Idealnya itu mengacu pada standar internasional, FCTC,” kata Sudaryatmo ketika dihubungi hukumonline.


Tak hanya itu. Pemerintah dinilai salah mengambil kebijakan terkait dengan FCTC. Ketidakikutsertaan pemerintah dalam menandatangani kesepakatan FCTC, mengkibatkan pemerintah kesulitan untuk memperjuangkan posisi rokok kretek Indonesia karena tidak memiliki hak suara di dalam pembahasan protokol FCTC.


“Amerika memang tidak meratifikasi FCTC, tapi mereka ikut tanda tangan sehingga setiap ada pembahasan soal tembakau global mereka diikutsertakan,” pungkasnya.

Tags: