Royalti Batubara Naik, Pengusaha Tambang Ancam Tutup
Berita

Royalti Batubara Naik, Pengusaha Tambang Ancam Tutup

Kenaikan tarif untuk meningkatkan penerimaaan negara bukan pajak.

KAR
Bacaan 2 Menit
Logo APBI. Foto: http://apbi-icma.org
Logo APBI. Foto: http://apbi-icma.org
Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) akan segera direvisi. Nantinya, revisi aturan itu akan mengubah besaran royalti usaha pertambangan mineral dan batubara. Pemerintah berencana menyamakan tarif royalti batubara antara perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Rencana revisi PP tersebut, menurut Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI),belum bisa diterima para pelaku industri. Ketua Umum APBI, Bob Kamandanu menjelaskan, rencana kenaikan royalti itu mengancam ditutupnya lebih dari seperempat jumlah perusahaan batubara di Indonesia. Sebab, Bob meyakini kenaikan royalti akan menyebabkan kehancuran korporasi secara sistematis.

Menurut Bob, saat ini harga batubara di pasar global cukup rendah. Dengan demikian, kenaikan tarif royalti dirasa menambah beban biaya perusahaan. Ia menyebut, pada akhirnya bisa saja kebijakan menaikan royalti justru akan melumpuhkan ekonomi daerah. Sebab menurutnyya sebagian besar perusahaan batubara berkontribusi terhadap pendapatan daerah.

“Menaikan royalti minerba akan secara sistematis menyebabkan kehancuran korporasi. Ancaman itu nyata baik di perusahaan tambang, perusahaan jasa, supplier atau vendor, maupun perbankan. Hal ini terjadi karena ketidakmampuan perusahaan tambang memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada klien (buyer), kontraktor, supplier, dan perbankan,” jelasnya.

Lebih lanjut Bob mengungkapkan, ancaman itu nantinya juga akan berdampak luas. Ia menyebut, kerugian perusahaan membawa efek penutupan tambang. Akibatnya, akan terjadi pemutusan hubungan kerja secara masif. Dengan konsekuensi itu, pemerintah juga kehilangan penerimaan negara dan pendapatan daerah dari royalti dan berbagai pajak.

“Kita terancam menutup tambang. Dari situ, hal yang paling krusial adalah dapat memicu permasalahan sosial serius di saat negara sedang melaksanakan pesta demokrasi," tandas Bob.

Sebagaimana diketahui, dalam PP No. 9 Tahun 2012 diatur tarif royalti yang berlaku bagi perusahaan PKP2B berbeda dengan pemegang IUP. Pemegang PKP2B dikenakan royalty sebesar 13,5%. Sementara itu, royalti bagi pemegang IUP ditetapkan 3%-7% sesuai nilai kalori dari batubara. Untuk industri batubara berkalori rendah ditetapkan royalti 3%, untuk berkalori sedang 5%, dan untuk yang berkalori tinggi 7%.

Menurut Direktur Jenderal Minerba, Kementerian ESDM R Sukhyar pada awalnya, penetapan tarif royalti IUP yang lebih rendah dimaksudkan sebagai insentif. Dengan kebijakan itu diharapkan dapat mendorong investasi pengembangan mineral dan batubara bersifat marginal. Namun, kini pemerintah terdorong menerapkan tarif royalti baru bagi pemegang IUP dengan alasan untuk meningkatkan penerimaaan negara bukan pajak.

"Yang jelas ada yang tidak berkeadilan menurut saya dalam konteks batubara. Tarif royalti 13,5% ada yang kecil. Yang kecilnya dinaikkan lah, disamakan," papar Sukhyar.

Sukhyar menegaskan, usulan penaikan tarif royalti ini sejalan dengan potensi harga batubara global. Sehingga, pemerintah merasa perlu mendapatkan manfaat dari hal itu. Sukhyar memastikan, dalam waktu dekat pembicaraan mengenai hal itu akan dibawa kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk menentukan kepastiannya.

"Ini akan dibicarakan di Menko Perekonomian," katanya.
Tags:

Berita Terkait