Royal “Diskon” Hukuman Pinangki
Kolom

Royal “Diskon” Hukuman Pinangki

Meski besar hukuman tersebut sama dengan tuntutan JPU, ada rasa ketidakproporsionalitas di dalamnya.

Bacaan 4 Menit
Rifqi Assegaf. Foto: Istimewa
Rifqi Assegaf. Foto: Istimewa

Baru-baru ini Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta memangkas hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat kepada Pinangki dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun. Putusan ini dianggap janggal karena Pinangki terbukti melanggar Pasal 11 UU Tipikor (suap), Pasal 3 UU Pencucian Uang, dan Pasal 15 jo 13 UU Tipikor (mufakat jahat korupsi) dengan total ancaman hukuman maksimum, jika dijumlahkan (meski tidak dimungkinkan KUHP) 28 tahun!

Yang memperburuk keadaan, perbuatan ini dilakukan oleh aparat penegak hukum, sangat terencana (termasuk melibatkan banyak aktor), dan hampir mengugurkan upaya negara mengeksekusi penjara buronan kakap Joko Tjandra. Meski besar hukuman tersebut sama dengan tuntutan JPU (yang juga mendapatkan sorotan negatif), ada rasa ketidakproporsionalitas di dalamnya.

Cara menentukan hukuman

Bagaimana seharusnya hakim menentukan berat ringannya hukuman? Ini pertanyaan sulit. Yang pasti, hakim tidak boleh keluar dari ketentuan hukum, baik ancaman pidana minimum dan (terutama) maksimum dalam UU, atau (jika ada) sentencing guidelines -pedoman menentukan hukuman di antara hukuman minimum dan maksimum dalam UU yang biasanya rentangnya luas. 

Memang tidak ada hukum yang dilanggar oleh putusan PT ini. Sentencing guidelines Tipikor (SG) yang disusun MA (Perma 1/2020) juga tidak wajib dipedomani karena hanya mengatur perbuatan dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, meski jika kita meminjam rentang hukuman dan pola pengaturan faktor penentu hukuman dalam SG tersebut sebagai analogi, hukuman 4 tahun ini mungkin akan dianggap keluar (lebih rendah) dari pedoman tersebut.

UU atau SG juga umumnya mengatur faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam penghukuman, termasuk alasan peringan dan pemberat. Hal ini (seharusnya) berhubungan erat dengan tujuan pemidanaan yang dianut. Jika tujuan pemidanaannya adalah mencegah kejahatan dengan menimbulkan rasa takut (deterrent) -yang merupakan tujuan pemidanaan dalam UU Tipikor, maka Pinangki wajar dihukum berat untuk memberikan pesan luas ke masyarakat, terutama aparat. Apalagi ini kasus yang menarik perhatian publik. Jika tujuan pemidanaannya retributif (desert), maka yang perlu dipertimbangkan adalah kesesuaian (proporsionalitas) antara kesalahan pelaku dan dampak yang ditimbulkan dari perbuatannya. Dalam ukuran inipun, hukuman 4 tahun ini bisa dianggap tidak proporsional sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Alasan peringan dan pemberat yang janggal

Masalah yang paling jelas adalah pertimbangan (alasan peringan) yang digunakan hakim PT untuk menjustifikasi pengurangan hukuman. Empat pertimbangan pokok diberikan (Putusan No. 10/PID.SUS-TPK/2021/PT.DKI). Pertama, ada keterlibatan pihak lain yang turut bertanggungjawab dalam perbuatan pidananya. Pertimbangan ini janggal karena umumnya (termasuk dalam KUHP) pidana yang dilakukan lebih dari satu orang merupakan faktor pemberat karena mengindikasikan perencanaan yang serius/matang dan kesungguhan melakukan kejahatan. Apalagi menimbang peran sentral Pinangki dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Lain jika, misalnya, ia hanya pelaksana lapangan (suruhan) atau pembantu.

Kedua, terdakwa mengaku bersalah, menyesal dan ikhlas dipecat dari profesi jaksa. Dua alasan pertama ini sangat subyektif. Karenanya di beberapa negara dan terutama menurut teori hukum, pengakuan bersalah (plead guilty) serta penyesalan (remorse) harus dinilai dari perbuatan riil atau manifestasi hal-hal tersebut, misal: terdakwa menyerahkan diri sebelum proses penyidikan (atau setidaknya sebelum sidang pokok perkaranya); kooperatif selama proses penyidikan dan persidangan, termasuk tidak menutupi atau membantu membuktikan kesalahan pelaku lain; memberikan restitusi pada korban sebelum sidang.

Faktor-faktor ini bukan saja tidak dipertimbangkan oleh PT, bahkan bertolak belakang dengan putusan PN (yang mengikuti sidang secara langsung sehingga melihat kesungguhan pengakuan dan penyesalan pelaku). Dalam alasan pemberatnya, hakim PN menyatakan Pinangki tidak mengakui kesalahannya/menyangkal, berbelit-belit dan menutupi keterlibatan pihak lain dalam perkara. Jadi, mungkin hakim PT hanya mengutip pledoi terdakwa (yang dibacakan di akhir sidang/setelah proses pembuktian sehingga terdakwa sudah mengetahui kelemahan kedudukannya) yang memang berisi pengakuan bersalah dan penyesalan. Karena ada pertentangan fakta, maka PT wajib memberikan alasan atau pertimbangan hukum secara lebih jelas alasan peringan ini, hal mana tidak dilakukan sehingga mengakibatkan putusan tersebut cacat (Yurisrudensi Tetap MA No. 1953 K/Pid/1988 dan 863 K/Pid/1994). Adapun alasan “ikhlas dipecat” tidak ada relevansinya dalam penghukuman (suatu konsekuensi logis perbuatan Pinangki).

Ketiga, hakim PT beralasan bahwa sebagai wanita, Pinangki harus mendapat perhatian, perlindungan dan perlakukan adil. Penggunaan isu gender an sich untuk menjustifikasi hukuman yang lebih ringan tidak dikenal. Memang beberapa riset di luar negeri menunjukkan faktor gender kadang mempengaruhi penjatuhan hukuman secara de facto (bukan menjadi pertimbangan resmi dalam hukum). Praktik ini lebih karena, menurut teori atribusi, pelaku perempuan (khususnya di kejahatan selain white-collar crime) umumnya, secara subyektif, dianggap lebih tidak berbahaya, mudah direhabilitasi atau melakukan kejahatan karena pengaruh eksternal (Hedderman and Gelsthorpe, 1997). Namun studi penulis terhadap lebih seribu putusan PN terkait pencurian, penggelapan dan korupsi menunjukkan faktor gender tidak signifikan mempengaruhi berat ringannya hukuman di Indonesia. Apalagi untuk peringanan sebesar 6 tahun. Tidak pernah terjadi.

Walhasil, hanya alasan keempat, yakni terdakwa memiliki anak balita (usia 4 tahun), yang, setidaknya secara teori, wajar digunakan sebagai dasar peringan, meski tidak ada dasar hukumnya dalam UU. Pun dalam teori pidana, ini bukan faktor peringan hukuman yang pokok karena memang sifatnya lebih pada pertimbangan belas kasih (mercy). Berbeda dengan, misalnya, peringanan hukuman kepada pencuri (apapun jenis kelaminnya) yang melakukan pidana karena kemiskinan -hal mana relevan untuk mengurangi derajat kesalahan pelaku. Juga, alasan memiliki anak balita sudah menjadi alasan peringan dalam putusan PN saat menghukum Pinangki 10 tahun. Pendeknya, tidak ada alasan yang kuat yang dirujuk oleh putusan PT.

Urusan peringanan hukuman ini sudah terlalu lama menjadi kritik. Yang lebih penting, hukuman yang terlalu berat, terlalu ringan, atau disparitas hukuman untuk perkara sejenis menganggu rasa dan nilai keadilan, baik bagi masyarakat, korban dan terpidana. Sayangnya RKUHP belum secara serius merespon hal ini. Pengaturan mengenai faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan hakim dalam memutus perkara dalam RKUHP masih bersifat karet, dan sebagian bertolak belakang. Bahkan RKUHP memperluas diskresi hakim, misalnya untuk mengubah hukuman penjara menjadi denda untuk kondisi tertentu. Tanpa batasan yang lebih ketat dalam RKUHP dan/atau perintah untuk disusunnya sentencing guidelines sebagai penerjemahan RKUHP, “sampai lebaran kuda” isu terkait hukuman akan terus ada.

*)Rifqi Sjarief Assegaf, Pemerhati hukum dan Peneliti LeIP.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait