Romli Atmasasmita: Putusan MK Adalah Bencana
Utama

Romli Atmasasmita: Putusan MK Adalah Bencana

Putusan MK yang menyatakan UU No.16/2003 tentang pemberlakuan Perpu Terorisme untuk peristiwa Bom Bali tidak mempunyai kekuatan hukum dinilai sebagai suatu bencana. Pekerjaan polisi dan pengadilan yang bahu-membahu menangkap dan menghukum para terdakwa pelaku peledakan bom menjadi sia-sia.

Leo
Bacaan 2 Menit
Romli Atmasasmita: Putusan MK Adalah Bencana
Hukumonline

 

Di mata Romli, MK seharusnya mempertimbangkan secara komprehensif dan tidak hanya terpaku pada ketentuan Pasal 28 i UUD 1945. Menurutnya, pembukaan UUD 1945 dan Pasal 28 j UUD 1945 seyogianya turut menjadi acuan MK. Romli menjelaskan, pembukaan UUD 1945 menyatakan soal menciptakan kesejahteraan, ikut menertibkan perdamaian dunia. Sementara, Pasal 28 j menyatakan negara dapat membatasi hak asasi seseorang jika diperintahkan berdasarkan undang-undang dan untuk kepentingan yang lebih luas.

 

Implikasi luas

 

Lebih jauh, anggota tim perumus Perpu Terorisme ini mengatakan, Indonesia sudah menganggap terorisme sebagai suatu kejahatan yang luar biasa. Jadi, Romli menuturkan, meski terorisme tidak masuk ke dalam statuta Roma, tapi jika dilihat dari korban yang jatuh dan jaringan (networking) yang ada, maka terorisme sebenarnya bisa digolongkan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Ia mencontohkan, hukuman mati yang secara universal sebenarnya dilarang. Namun, hukuman tersebut dibolehkan untuk kejahatan yang luar biasa.

 

"Sekarang, kalau mengatakan bertentangan (dengan statuta Roma), itu pure legalistik, kurang melihat dalam konteks yang lebih luas. Dan katakanlah putusan ini akan berdampak terhadap kasus-kasus yang sedang ditangani, belum diputus inkracht, juga yang ditahan," kata Romli, yang sekarang aktif di Forum Pemantau Komisi Pemberantasan Korupsi.

 

Romli menambahkan, putusan MK ini kemungkinan akan membawa implikasi hukum, tapi juga sosial, ekonomi. "Kita tahu bahwa akibat bom bali seluruh ekonomi anjlok. Orang tidak mau datang, menananam modal, karena tidak ada keamanan. Dengan putusan MK dampaknya luas sekali. Saya kira hakim konstitusi itu harus mengerti bahwa dia bukan hanya melindungi satu dua orang. Dengan putusannya dia harus melindungi banyak orang yang tidak berdosa," demikian Romli.

 

Kelemahan UUD

 

Dihubungi secara terpisah, Direktur Imparsial, Munir, menyatakan bahwa putusan MK mengenai UU No.16/2003 justru diakibatkan kelemahan dalam konstitusi itu sendiri. Menurutnya, Pasal 28 i UUD 1945 seharusnya tidak dimasukkan ke dalam konstitusi karena isinya mengatur soal prinsip retroaktif. Di mata Munir, prinsip retroaktif termasuk kategori yang bisa ditangguhkan karena alasan keadilan.

 

"Seharusnya karena posisinya begitu, ngggak boleh masuk ke dalam konstitusi. Jadi yang cacat itu Pasla 28 i. Tapi itu sudah terlanjur masuk dalam konstitusi, itu kesalahannya. Kalaupun  mau pakai prosedur internasional tentang retroaktif, terorisme belum pernah dan belum ada preseden internasional dia dimasukkan ke dalam salah satu kejahatan (dalam statuta Roma)," urai aktivis Hak Asasi Manusia itu.

 

Munir menambahkan, Amerika Serikat sejauh ini tidak pernah mengajukan ke PBB tentng pembentukan tribunal internasional terhadap kasus WTC. Dikatakan Munir, itu disebabkan Amerika menyadari kalau terorisme tidak termasuk dalam tiga kategori kejahatan yang bisa diterapkan prinsip retroaktif--genocide, crime against humanity, war crime--sesuai dengan statuta Roma.

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Prof. Romli Atmasasmita, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Undang-undang No.16/2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagai sebuah 'bencana'. Dalam pertimbangan hukumnya, MK menganggap UU No.16/2003 bertentangan dengan Pasal 28 i UUD 1945. Pasalnya, berdasarkan pasal di UUD tersebut, seseorang tidak dapat dihukum oleh suatu undang-undang yang berlaku surut (retroaktif). Ditambah lagi, dalam statuta Roma, kejahatan terorisme bukan termasuk kejahatan yang dapat diterapkan prinsip retroaktif

 

"Itu bencana terus terang saja. Bencana bukan hanya terhadap masalah hukum, tapi kalau kita bicara MK, itu masalahnya lebih luas dari hukum. Kalau Mahkamah Agung, betul (hanya) memeriksa masalah hukum. Jadi hakim agung bisa melihat dari satu sisi saja. Tapi kalau melihat MK sebetulnya sudah mahkamah yang sangat berwibawa dan yang harus diamankan, dijaga, dipelihara (oleh MK) adalah konstitusi dengan segala isinya," papar Romli kepada hukumonline.

Halaman Selanjutnya:
Tags: