Penikmat Rokok Tuding UU Kesehatan Pesanan Asing
Utama

Penikmat Rokok Tuding UU Kesehatan Pesanan Asing

Penelitian yang menyebut rokok sebagai zat adiktif dianggap tidak jelas dan transparan.

MVT
Bacaan 2 Menit
Kampanye pengendalian tembakau di Indonesia dituding<br>didalangi kepentingan asing. Foto: Sgp
Kampanye pengendalian tembakau di Indonesia dituding<br>didalangi kepentingan asing. Foto: Sgp

Setelah penyidikan dugaan penghilangan ayat ‘tembakorupsi’ dari Pasal 113 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dihentikan, muncul tudingan baru. Giliran penikmat rokok menuduh, pemuatan ayat (2) pada Pasal 113 UU Kesehatan karena ada titipan pihak asing.

 

Para penikmat rokok menyatakan penyebutan rokok sebagai zat adiktif tidak bisa dibuktikan sama sekali. Hal ini tidak lain dari kelemahan penyusun undang-undang yang menerima begitu saja pendapat World Health Organization (WHO) tanpa ada verifikasi lebih lanjut.

 

“Mana hasil penelitiannya, mana buktinya, kita tidak pernah lihat,” tukas Salamuddin Daeng, peneliti Institute for Global Justice, dalam Diskusi Publik  bertema Intervensi Kepentingan Asing dalam Kebijakan Pengendalian Tembakau, di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin (15/11).

 

Salamuddin mengatakan, kesimpulan bahwa tembakau merupakan zat adiktif diadopsi dari Framework Convention in Tobacco Control (FCTC) yang dikeluarkan WHO. Padahal, penelitian WHO mengenai zat adiktif tembakau tidak pernah disampaikan secara transparan pada publik.

 

Dia menuduh, gencarnya kampanye pengendalian tembakau di Indonesia bukan karena besarnya bahaya rokok. Melainkan karena Indonesia menjadi incaran industri rokok luar negeri karena pangsa pasar besar.

 

Padahal, menurut Salamuddin, kebijakan pengendalian tembakau ini tidak berlaku di negara-negara maju penghasil tembakau selain Indonesia. “Aturan ini  sangat tajam bagi negara dunia ketiga namun tumpul bagi negara maju,” tandasnya.

 

Salamuddin melansir data, hingga saat ini Cina adalah negara penghasil tembakau terbesar di dunia. Total produksi mencapai 38 persen dari produksi dunia. Disusul, India dan AS masing-masing menguasai 8,43 persen dan 5,73 persen produksi tembakau dunia.

 

Sedangkan Indonesia, hanya menghasilkan 2,67 persen. “Namun, Indonesia jadi sasaran utama pengendalian produksi tembakau. Kita (Indonesia) diharapkan menekan produksi tembakau dengan mengatakan itu berbahaya,” ujarnya.

 

Pasal 113

(2) Zat adiktif meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang

penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.

 

Menurut Salamuddin, banyak kalangan khususnya petani dan kelompok penggunan tembakau mempermasalahkan hal ini. Pasal ini menjadi ancaman penerimaan APBN, petani tembakau, industri rokok, dan semua orang yang terlibat dalam rantai produksi tembakau.

 

Ditertawakan

Dimintai pendapatnya, mantan Anggota Tim Pansus RUU Kesehatan, Hakim Sorimuda Pohan menanggapi dengan santai. Dokter spesialis kandungan lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini bahkan sedikit menertawakan tudingan Salamuddin.

 

Dia menyatakan pemahaman bahwa tembakau merupakan zat adiktif bukan karena mengacu pada penelitian WHO. “Itu sudah sejak tahun 1930-an diterima sebagai teori dalam dunia kedokteran/farmasi,” sergahnya via telepon pada hukumonline.

 

Hasil penelitian WHO tersebut, lanjutnya, hanya mempertegas bahaya tembakau sebagai zat adiktif. Sebab, tembakau memang memiliki kandungan nikotin yang berbahaya terutama ketika dibakar. “Bahkan semua produsen rokok, termasuk produsen asal AS, Phillip Morris, juga sudah mengakui,” terangnya.

 

Pohan melanjutkan upaya membuat aturan tembakau berbahaya sebenarnya sudah diwacanakan sejak lama. Sejak penyusunan UU Kesehatan yang lama, UU No.23 Tahun 1992, hal ini sudah akan dimasukkan. “Namun ternyata kalah kuat dengan lobi industri rokok,” ujarnya.

 

Selain itu, pendapat Salamuddin mengenai bebasnya Cina dan India dari ‘jeratan’ FCTC juga dapat diperdebatkan. Dalam dokumen FCTC yang dimuat situs WHO, Cina dan India merupakan negara pihak yang meratifikasi perjanjian ini. Keduanya menandatangani perjanjian ini pada tahun 2003. Ratifikasi dilakukan India pada tahun 2004 dan setahun kemudian Cina melakukan hal yang sama. Artinya, aturan pengendalian tembakau berlaku untuk kedua negara besar ini.

 

Indonesia sendiri hanya tercatat sebagai observer (peninjau) dalam perjanjian ini. Belum ada penandatanganan dan ratifikasi yang dilakukan Indonesia. Cina justru memiliki kebijakan yang cukup komprehensif mengenai pengendalian dampak buruk tembakau.

 

Dalam wawancara Buletin WHO dengan Yang Gonghuan, Direktur China’s National Office of Tobacco Control pada April 2010, terungkap bahwa negeri panda ini memiliki kebijakan yang lengkap. Mulai dari badan yang bertanggung jawab, aturan legislasi, hingga kampanye gencar mengingatkan bahaya rokok yang melibatkan berbagai kalangan masyarakat.

 

Menurut Pohan, di Indonesia sendiri kelompok masyarakat yang menginginkan pengendalian tembakau jauh lebih besar dibanding mereka yang menolaknya. Sementara itu, anggota DPR Eva Kusuma Sundari mengingatkan pemerintah untuk memiliki tawaran alternatif bagi petani tembakau dan buruh industri rokok jika produksinya dibatasi. “Kalau pabrik rokok dikurangi, bahkan ditutup, apa persiapan alih profesinya. Itu yang harus dipikirkan pemerintah,” pungkasnya.

 

Tags: