RKUHP Tetap Bakal Disahkan Jadi UU
Berita

RKUHP Tetap Bakal Disahkan Jadi UU

DPR dan pemerintah menyadari masih terdapat pasal-pasal RKUHP yang masih menjadi polemik di masyarakat, tapi keputusan pengesahan harus tetap diambil.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Suasana penandatanganan hasil pengambilan keputusan tingkat pertama RKUHP untuk dibawa ke paripurna. Foto: RFQ
Suasana penandatanganan hasil pengambilan keputusan tingkat pertama RKUHP untuk dibawa ke paripurna. Foto: RFQ

Setelah menggelar pembahasan tingkat pertama, DPR dan pemerintah bersepakat membawa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat paripurna untuk disahkan menjadi UU. Namun, pemerintah dan DPR menyadari masih terdapat materi muatan pasal yang menjadi polemik di masyarakat yang belum terselesaikan, tapi mesti diambil keputusan sebagai bagian dari politik hukum pembentuk Undang-Undang.

 

“Apakah Rancangan KUHP ini dapat dilanjutkan dalam pembicaraan tingkat dua untuk diambil keputusan dalam rapat paripurna?” tanya Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin dalam rapat pengambilan keputusan tingkat pertama bersama pemerintah di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (18/9/2019). Baca Juga: Rencana Pengesahan RKUHP Disebut Tanpa Legitimasi

 

Sebanyak sepuluh fraksi memberi persetujuan, tapi beberapa fraksi setuju dengan sejumlah catatan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari RKUHP. Sepuluh fraksi itu adalah Fraksi PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, Demokrat, PAN, PKS, PPP, Nasdem, dan Hanura.

 

Seperti Fraksi Gerindra, meski menyetujui RKUHP diboyong ke rapat paripurna, namun dalam pandangan mini fraksi yang dibacakan Faisal Muharrami Saragih memberi catatan terkait delik perbuatan zina di luar pernikahan atau kumpul kebo. Menurutnya, tindak pidana (asusila) itu merusak tata nilai ikatan perkawinan terkait kepentingan orang banyak.

 

Menurutnya, perbuatan zina di luar pernikahan menyebabkan permasalahan sosial, sehingga perlu ditangani secara komprehensif. Meski terdapat larangan dan sanksi 6 bulan penjara, namun dinilai belum optimal. Karena itu, Fraksi Gerindra meminta penambahan sanksi hukuman pemidanaan. “Kami minta pemberatan (penambahan) hukuman menjadi 1 tahun penjara,” usulnya.

 

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani dalam pandangan mininya prinsipnya memberi persetujuan. Hanya saja, Arsul menjawab kekhawatiran kalangan media terkait pengaturan Pasal 281 huruf c RKUHP. Pasal itu menyebutkan, Dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II, Setiap Orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung:..c. tanpa izin pengadilanmerekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan proses persidangan.”

 

Sebab, Pasal 281 huruf c RKUHP itu ada kekhawatiran penerapannya yang bisa menjerat kalangan media. Namun Arsul menepis kekhawatiran itu. Menurutnya, penerapan pasal tersebut mesti membaca penjelasan pasalnya. Proses persidangan yang tertutup dan/atau hakim yang tidak membolehkan merekam dan mempublikasikan proses persidangan meskipun digelar terbuka. Namun, bila merekam dan mempublikasikan secara langsung, maka dapat dikenakan delik. “Jadi Insya Allah tidak mengkhawatirkan,” ujarnya.

 

Kemudian norma Pasal 281A RKUHP menyebutkan, “….a. tidak mematuhi perintahpengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan.” Bagi Arsul, pasal tersebut dikhawatirkan kalangan advokat. Menurutnya, pasal tersebut menjelaskan sepanjang advokat dalam menjalankan tugas litigasinya sesuai koridor dan berseberangan pandangan maka tidak menjadi persoalan.

 

Dalam persidangan kerap berselisih pendapat adalah hal biasa. Namun, yang menjadi persoalan, kata Arsul, bila menentang perintah pengadilan yang tidak sesuai dengan koridor hukum, tentu saja dapat menjadi masalah (terkena delik). “Jadi teman-teman tidak perlu khawatir,” ujarnya.

 

Arsul mengakui terdapat banyak isu kontroversial dalam RKUHP. Namun, pemerintah dan DPR harus mengambil keputusan. Seperti pasal living law, penghinaan presiden, hingga delik kesusilaan. Yang pasti, Tim Panja DPR dan pemerintah telah mendengar aspirasi dari kelompok masyarakat. “Tetapi aspirasi tidak selamanya tunggal,” ujarnya.

 

Menggantikan warisan Belanda

Mewakili Presiden, Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly berharap pengesahan RKUHP dalam rapat paripurna nantinya bakal berjalan mulus. Dia menilai RKUHP merupakan bentuk kodifikasi hukum pidana nasional yang bakal menggantikan hukum pidana warisan Belanda yang sudah berlaku selama 73 tahun sejak kemerdekaan. Namun, keberlakuannya telah berusia 100 tahun lebih di nusantara.

 

Yasonna mengatakan terdapat banyak dinamika sepanjang empat tahun pembahasan RKUHP antara pemerintah dengan Panja RKUHP di Komisi III. Terlepas itu, RKUHP merupakan upaya nyata bangsa, khususnya bagi dekolonialisasi, rekodifikasi, konsolidasi dan demokratisasi hukum nasional yang didasarkan pada pikiran neoklasik.

 

Menteri berlatar belakang politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu juga berharap RKUHP nantinya dapat mengoptimalkan pemidanaan di Indonesia. Tentunya sesuai dengan nilai moral dan ketertiban umum. “RKUHP ini nantinya akan menjadi rambu dan pedoman yang berfungsi sebagai pengendali sistem pemidanaan Indonesia agar hukum pidana tetap dapat dijalankan sesuai dengan prinsip rule of law,” katanya.

 

Ketua Tim Perumus dari pemerintah, Prof Muladi bersyukur atas pengambilan keputusan di tingkat pertama untuk diboyong ke paripurna pada pekan depan. Menurutnya, pembahasan RKUHP memang dilakukan secara maraton dan intensif. “Saya menikmati proses ini, karena Tim Panja pemerintah dan Komisi III serius dan sungguh-sungguh membahasnya,” kata Muladi.

 

Dia mengapresiasi konsistensi pemerintah dan DPR terhadap berbagai masukan dan kritikan dari kalangan masyarakat dan pakar pidana yang tetap diperhatikan. Namun begitu, Muladi berharap agar semua pihak dapat memahami RKUHP menjadi alat perubahan sosial menuju nilai-nilai Pancasila serta berlandaskan hak asasi manusia yang diakui di dunia internasional.

 

“Saya yakin sejarah akan mencatat siapa saja yang berperan atas lahirnya karya monumental ini,” kata dia.

 

Anggota Tim Panja Pemerintah, Prof Edward Omar Sharif Hiariej melanjutkan perjalanan penyusunan RKUHP sangat panjang, bahkan terjal dan penuh duri. “Kita dihadang banyak kritikan, namun itu saya jadikan untuk dapat berpikir lebih keras untuk mencarikan solusi,” ujarnya.

 

Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini menilai pembuatan, hingga pembahasan RKUHP dalam kurun waktu panjang, namun akhirnya dapat diselesaikan. Meski diakuinya terdapat banyak perdebatan sengit terkait pidana mati dan perlindungan perempuan. Namun, bagaimanapin DPR dan pemerintah harus mengambil keputusan.

 

“Mudah-mudahan kekurangan dalam RKUHP dapat dikritisi di masa-masa mendatang, this is our common legacy, setelah 100 tahun kita tidak punya own legacy,” katanya.

Tags:

Berita Terkait