RKUHP, Sekarang Atau 50 Tahun Lagi?
Kolom

RKUHP, Sekarang Atau 50 Tahun Lagi?

Kekhawatiran bahwa RKUHP itu nantinya tidak sempurna, memang perlu dipandang bahwa pada akhirnya tidak ada peraturan perundang-undangan yang sempurna.

Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Judul di atas menggambarkan ironi pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Indonesia. Pada saat pelantikan Azis Syamsudin sebagai ketua komisi III DPR, ia menyatakan akan memprioritaskan pengesahan RKUHP pada masa jabatan DPR periode saat ini.

 

Namun dengan hiruk-pikuknya situasi politik pascapilpres 2019, nampaknya membuat RKUHP yang semula sudah diputuskan oleh DPR Periode 2014–2019 untuk dilanjutkan pembahasannya setelah masa reses berakhir harus tertunda pembahasannya. Praktis kini masa kerja anggota DPR RI periode 2014–2019 hampir berakhir.

 

Rencana beberapa waktu yang lalu untuk memulai pembahasan RKUHP agar dapat diselesaikan oleh DPR Periode ini kembali terancam tidak terselesaikan. Sebelum ditunda pembahasannya, Permasalahan terakhir dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) pembahasan RKUHP ditunda dengan menyisakan sekitar 6-7 masalah, dan khususnya masalah terkait korupsi, kejahatan seksual dan beberapa hal lainnya yang belum ada kesepahaman dengan pihak terkait, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

 

Semula sebelum ditunda setelah adanya surat presiden RI, RKUHP dijadwalkan akan disahkan sebelum 17 Agustus 2018. Namun karena masih ada beberapa hal yang belum ada kesepahaman dan khususnya surat presiden RI yang meminta untuk ditundanya pengesahan RKUHP maka pengesahan RKUHP menjadi tertunda. Surat presiden RI tersebut menyikapi surat keberatan KPK terkait formulasi aturan tentang korupsi dalam RKUHP. Kini ada dua pandangan menyikapi situasi terkait masa depan pengesahan RKUHP.

 

Pandangan pertama menyatakan bahwa RKUHP harus selesai periode ini karena masalah yang tersisa hanya kurang dari 1 persen dari total substansi RKUHP. Jika dirasa ada kekeliruan maka RKUHP yang disahkan nantinya tetap dapat diajukan melalui jalan judicial review. Sedangkan pandangan kedua yang kontra adalah seluruh pembahasan tersebut harus tuntas sebelum RKUHP tersebut disahkan terutama menyangkut hal-hal yang prinsip seperti pengaturan korupsi dalam RKUHP (apakah kodifikasi atau de-kodifikasi?).

 

Menyikapi perdebatan tersebut tentu masyarakat harus melihat sejarah dan perjalanan panjang revisi KUHP (UU No 1/46) yang telah dimulai sejak tahun 1960. BPHN (1990), dalam minuta BPHN tentang pembahasan RKUHP disebutkan bahwa sejak tahun 1960 KUHP (UU No 1/46) sudah dirasa perlu disesuaikan dengan keadaan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan, sebab KUHP yang ada murni diambil dari WvS (Wetboek van Strafrecht) produk kolonial Belanda.

 

Artinya saat ini memang ada urgensi untuk pengesahan RKUHP dengan segera, semakin lama perdebatan mengenai RKUHP maka semakin lama pula bangsa Indonesia tetap menggunakan aturan kolonial yang sudah tidak sesuai lagi. Hal terbaik yang kini harus diusahakan adalah menyelesaikan masalah yang tersisa di sisa masa kerja DPR periode 2014-2019 dan segera melakukan pengesahan terhadap RKUHP tersebut.

 

Politik Hukum

Sudah terlalu banyak dana dan energi yang dihabiskan guna membahas RKUHP selama 58 tahun lebih, persoalannya sesuai ketentuan pembahasan undang-undang harus selesai pada periode yang sama (tidak dikenal pembahasan lanjutan) dalam DPR. Hal ini artinya jika pembahasan RKUHP tidak selesai pada periode kerja DPR 2014-2019 maka anggota DPR periode 2019–2024 harus memulai pembahasan RKUHP dari awal lagi (mulai dari Prolegnas, naskah akademik dan seterusnya) yang belum tentu akan selesai mengingat persoalan hukum selalu bertambah pelik. Jika hal tersebut terjadi maka Indonesia tetap akan menggunakan KUHP warisan kolonial Belanda, sehingga akan jauh lebih baik jika RKUHP yang ada saat ini disahkan sebagai KUHP.

 

Jika RKUHP tidak kunjung disahkan sesungguhnya korbannya adalah masyarakat sendiri, karena masyarakat akan terus terbelenggu dalam aturan kolonial. Kelsen (1986), menjelaskan bahwa dalam asas hukum sum ius sum iuria bahwa aturan hukum yang terlalu kompleks justru tidak akan memberi keadilan itu sendiri dalam masyarakat. Artinya pada kondisi saat ini perdebatan teknis mengenai substansi RKUHP perlu dikesampingkan dan pihak terkait perlu segera menemukan kompromi hukum atas sisa persoalan pembahasan tersebut.

 

Kekhawatiran bahwa RKUHP itu nantinya tidak sempurna, memang perlu dipandang bahwa pada akhirnya tidak ada peraturan perundang-undangan yang sempurna. Semua peraturan perundang-undangan pada akhirnya tidak pernah sesuai mengingat masyarakat selalu lebih dinamis dari hukum tertulis.

 

Judicial review melalui MK/MA menjadi jawaban atas hal tersebut, mengingat judicial review juga merupakan salah satu bentuk check and balances melalui jalur yudikatif. Artinya, jika dipandang aturan hukum tertulis (yakni peraturan perundang-undangan) mengandung kekeliruan atau perlu disesuaikan maka secara hukum masih ada langkah untuk melakukan koreksi, sehingga tidak perlu ada beban maupun kekhawatiran berlebih terkait pengesahan RKUHP nantinya.

 

Perspektif yang harus digunakan adalah ukuran urgensitas untuk memiliki aturan hukum yang sesuai dengan kondisi masyarakat, karena jika pembahasan RKUHP berlarut-larut dan tidak disahkan pada periode ini maka akan semakin lama KUHP yang ada saat ini semakin kehilangan fungsi sebagai law as tool of social engineering dan law as a tool of social control.Perlu dipahami sesuai yang diuraikan Pound (1962), bahwa peraturan perundang-undangan merupakan tools untuk mengontrol dan merekayasa perilaku masyarakat sehingga harus dibuat dan disesuaikan dengan zamannya.

 

Kodifikasi

Negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental seperti Indonesia memang biasanya menggunakan model kodifikasi, sehingga RKUHP juga perlu dipandang sebagai bentuk revisi dari kodifikasi yang dibuat zaman kolonial yakni WvS. Tentu mempertentangkan mazhab kodifikasi dan de-kodifikasi justru akan kontraproduktif pada pengesahan RKUHP. Mengapa? Karena mempertentangkan pola pikir yang berbeda, kodifikasi menggunakan pola pikir deduktif sedangkan de-kodifikasi menggunakan pola pikir induktif.

 

Model kodifikasi akan menghasilkan hukum yang bersifat umum (general) oleh sebab itu kerap kali hukum hasil kodifikasi diletakkan sebagai lex generalis. Seperti contohnya WvK (Wetboek van Koophandel) atau Kitab Undang Undang Hukum Dagang demikian pula dengan BW (Burgerlijke Wetboek) yang juga sama halnya dengan WvS (Wetboek van Strafrecht) yang juga diletakkan sebagai lex generalis.

 

Makna ‘diletakkan’ sebagai lex generalis adalah akan menjadi pedoman utama jika tidak ada hukum lainnya. Seperti misalnya kini WvK (Wetboek van Koophandel) atau KUH Dagang yang kini hanya berlaku sebagian saja, karena sebagian lainnya sudah digantikan oleh peraturan perundangan yang lebih khusus (lex spesialis). Jadi makna lex spesialis sejatinya untuk melengkapi dan menyempurnakan daripada lex generalis itu sendiri.

 

Justru kedudukan RKUHP sebagai lex generalis perlu segera disahkan tanpa khawatir akan tidak sempurnanya RKUHP tersebut. Mengingat justru selain melalui judicial review cara melakukan koreksi atas RKUHP (jika) ada kekeliruan maupun jika sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman adalah dengan melengkapinya dengan aturan hukum lainnya yang bersifat lebih khusus (membuat lex spesialis).

 

Lex spesialis yang akan berlaku sebagai pedoman menyempurnakan lex generalis sesuai asas hukum lex spesialis derogate legi generali, yang artinya hukum yang lebih khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Dalam sistem hukum Eropa Kontinental lex spesialis berfungsi sebagai residu dari lex generalis sehingga hubungan keduanya bersifat komplementer. Dengan demikian maka seharusnya tidak perlu ada keraguan untuk segera menyelesaikan dan mengesahkan RKUHP pada periode ini.

 

*)Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn. adalah Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Universitas Prasetiya Mulya dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait