RKUHAP Perlu Akomodir LPSK dalam Criminal Justice System
Terbaru

RKUHAP Perlu Akomodir LPSK dalam Criminal Justice System

Untuk memperkuat peran LPSK memberikan perlindungan saksi korban, ahli dan pelapor. Selama ini LPSK hanya dapat masuk dalam tindak pidana terorisme.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Wakil Ketua LPSK Susilaningtias dalam sebuah seminar di Jakarta, Selasa (20/12/2022). RFQ
Wakil Ketua LPSK Susilaningtias dalam sebuah seminar di Jakarta, Selasa (20/12/2022). RFQ

Selama berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), perlindungan terhadap saksi dan korban kerap tidak menjadi prioritas. KUHAP hanya memprioritaskan bagaimana penegak hukum menemukan dan meminta pertanggungjawaban pelaku tindak pidana dengan sanksi hukuman. Untuk itu, Rancangan KUHAP ke depan semestinya dapat mengakomodir keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LSPK) sebagai bagian dalam criminal justice system dengan mengedepankan perlindungan dan pemulihan korban.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Susilaningtias dalam sebuah seminar di Jakarta, Selasa (20/12/2022) kemarin. “Kami membutuhkan adanya peran LPSK yang kebih kuat dalam RKUHAP ke depan. Ini berkaitan erat dengan peran LPSK dalam criminal justice system. Sebab, LPSK (selama ini, red) masih berada di luar sistem peradilan pidana,” ujarnya.

Menurutnya, UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) krang berorientasi terhadap perlindungan hak saksi dan korban termasuk ahli dan pelapor. Padahal, semuanya itu menjadi menjadi subjek perlindungan LPSK. Selain itu, mekanisme perlindungan LPSK terhadap saksi ahli pelapor dan saksi pelaku perlu dituangkan dalam RKUHAP. Memang LPSK tidak disebut dalam KUHAP, terdapat UU tersendiri. Tapi, penegasan berkaitan peran LPSK dalam RKUHAP berupa perlindungan dan pemulihan setidaknya bakal membuat peran LPSK menjadi lebih kuat.

Dalam praktiknya, LPSK memang amat banyak memberikan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak korban. Sayangnya, peran LPSK tak dinilai untuk dapat masuk dalam sistem peradilan pidana. Kendati memang LPSK masuk dalam beberapa tindak pidana. Seperti tindak pidana terorisme. Menurutnya, LPSK masuk mulai dari perlindungan terhadap saksi dan korban, pelapor dan mengidentifikasi korban.

Baca Juga:

Tapi di lain sisi, penempatan perlindungan saksi korban, saksi ahli dan pelapor pada RKUHAP semestinya menguatkan posisi LPSK tidak ada keragu-raguan di aparat penegak hukum. Sebaliknya, dengan tidak masuknya perlindungan saksi korban dalam RKUHAP, LPSK pun ragu saat menangani perkara besar. Misalnya perkara pembunuhan berencana yang melibatkan eks Kepala Divisi Propam (Kadiv Propam) Ferdy Sambo cs.

Menurutnya, peran kelembagaan LPSK harus jelas dalam sistem peradilan pidana agar tidak menjadi persoalan. Setidaknya agar tidak menjadi konflik kewenangan dengan lembaga lain. Berdasarkan pengalaman LPSK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, konflik mesti diselesaikan dan diatur baik dalam RKUHAP. Sebab, meminta penyelesaikan melalui pemerintah bakal mengalami jalan buntu. “Kalau LPSK masuk RKUHAP akan menguatkan LPSK,” tegasnya.

Mantan Koordinator Program Penguatan Hukum untuk Komunitas di Perkumpulan HuMa itu melanjutkan dalam proses pemulihan korban bakal banyak pihak yang terlibat. Karenanya, soal peran LPSK sebagai payung dalam perlindungan saksi korban masuk sistem peradilan pidana mesti dijelaskan ke semua pihak. Dengan demikian pelaksanaan perlindungan saksi dan korban dapat dengan mudah.

Selanjutnya, soal pemulihan korban tindak pidana. Menurutnya, pemulihan tersebut diatur dalam UU No.31 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Masalahnya dalam pemberian fasilitas medis, LSPK menjadi persoalan. Antara lain dengan adanya Peraturan Presiden No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Khususnya Pasal 52 ayat (1) huruf r yang menyebutkan, “Pelayanan kesehatan yang tidak dijamin meliputi:...pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;”.

“Ini menjadi masalah. Misalnya korban penganiayaan ringan itu butuh pengobatan, tapi di UU kami tidak ada. Kemuduian ada kekerasan seksual, itu banyak sekali. BPJS tidak mungkin membiayai, sementara LPSK dengan segala keterbatasan anggaran harus membiayai ini,” ujarnya.

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengamini pandangan Susilaningtias. Idealnya mekanisme perlindungan saksi dan korban dapat disebut dalam KUHAP. Tapi perlu diperjelas terlebih dahulu RKUHAP bakal mengatur detil atau sebaliknya. Menurutnya, bila mengikuti pola KUHP Nasional, pembentuk UU tetap mempertahankan ketentuan hukum acara yang terkait dan berkembang di UU sektoral (UU khusus). “Pertanyaannya, kalau di UU LPSK tidak dibaca, ini tantangan kita,” ujarnya.

Menurutnya, pengaturan detil terhadap LPSK atau perlindungan saksi dan korban dalam RKUHAP menjadi ideal. Tapi, kata Arsul, bila terlampau detil, maka pembentuk UU mesti membenahi pokok-pokok pada KUHAP. Seperti halnya membahas soal status tersangka seseorang, sampai meninggal pun masih melekat. Padahal semestinya tunduk pada kadaluarsa umum. Karenanya agar tidak menjadi ‘mainan’ soal penghentian penyidikan di penegak hukum mesti diatur.

Tags: