RKUHAP dan RKUHP Dinilai Mengancam KPK
Berita

RKUHAP dan RKUHP Dinilai Mengancam KPK

LSM dan akademisi berharap pembahasan RKUHAP dan RKUHP distop.

ALI/ANT
Bacaan 2 Menit
Asep Iwan Iriawan (paling kiri) saat jumpa pers bersama dua aktivis ICW. Foto: SGP
Asep Iwan Iriawan (paling kiri) saat jumpa pers bersama dua aktivis ICW. Foto: SGP

DPR dan pemerintah secara maraton terus membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Kabarnya, DPR ingin menyelesaikan pada akhir Oktober ini. Namun, penolakan terhadap dua rancangan kitab tersebut masih bermunculan.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Asep Iwan Iriawan menyoroti gagasan hakim pemeriksa pendahuluan (hakim komisaris) yang berpotensi melumpuhkan kewenangan KPK di masa depan.

“RUU KUHAP memberikan kewenangan luar biasa bagi hakim pemeriksa pendahululan untuk menentukan lanjut atau tidaknya penuntutan, penyitaan dan penyadapan dalam suatu proses pidana, termasuk kasus korupsi,” ujarnya dalam konferensi pers di Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Selasa (1/10).

Ketentuan-ketentuan tersebut, lanjut Asep, dapat ditemukan dalam Pasal 44, Pasal 58, Pasal 67, Pasal 75, Pasal 83 dan Pasal 84 RKUHAP.

Asep memahami bahwa kehadiran hakim komisaris ini untuk mengawasi proses penyidikan atau penahanan sebagai pengganti lembaga pra peradilan. “Sifatnya untuk mengkontrol sih Oke, tapi kewenangan hakim pemeriksa pendahuluan ini luas sehingga menimbulkan multitafsir. Istilah anak-anak sekarang, lebay,” tuturnya.

Karenanya, ia berpendapat bahwa lembaga praperadilan sebagai sarana kontrol penyidik dan penuntut umum sudah cukup tepat, tinggal membenahi kekurangan-kekurangan yang ada selama ini.

Sebagai informasi, dalam KUHAP yang berlaku sekarang, praperadilan berwenang menentukan sah atau tidak penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; serta ganti kerugian dan/atau rehabilitas bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Berdasarkan catatan hukumonline, tak semua lembaga penegak hukum setuju dengan kehadiran hakim komisaris ini. Polri berulangkali menyampaikan penolakan dengan dimasukannya hakim komisaris sebagai pengganti praperadilan di RKUHAP.

Asep berharap DPR dan Pemerintah tak buru-buru mensahkan RKUHP dan RKUHAP ini karena selain isu kewenangan hakim komisaris, ada banyak aturan dalam dua kitab tersebut yang membahayakan pemberantasan korupsi.

Stop Pembahasan
Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW, Emerson Yuntho menyoroti Pasal 3 ayat (2) Rancangan KUHAP yang bisa menghilangkan eksistensi KPK. Pasal ini berbunyi, “Ketentuan dalam UU ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU di luar KUHP, kecuali UU tersebut menentukan lain”.

“Ketentuan ini bisa meniadakan hukum acara khusus dalam penangangan kasus korupsi yang saat ini digunakan KPK,” ujar Emerson.

Dalam RKUHAP ini, lanjut Emerson, tak disebut sekalipun adanya KPK dan Pengadilan Tipikor. “Yang disebut dalam KUHAP ini hanya Pengadilan Negeri dan Kejaksaan. Ini ada upaya peniadaan KPK dan Pengadilan Tipikor dalam KUHAP. Kalau disahkan bisa jadi polemik dan multitafsir,” ujarnya.

“Karena dalam RKUHAP ini disebutnya pengadilan negeri, yang menjadi pertanyaan apakah pengadilan tipikor masih berwenang atau tidak?” tambahnya.

Selain itu, lanjut Emerson, dalam RKUHP yang mengatur hukum materil juga bermasalah. Ia mengatakan RKUHP hanya mengatur sekitar 15 pasal tentang tindak pidana korupsi. Padahal, dalam UU Tipikor setidaknya ada sekitar 30an pasal yang mengatur tipikor.

Karenanya, Emerson juga meminta agar DPR menghentikan proses pembahasan RKUHAP dan RKUHP dan mengembalikannya kepada pemerintah untuk diperbaiki. Menurutnya, regulasi seharusnya lahir untuk memberikan dukungan bagi upaya pemberantasan korupsi dan mendukung optimalisasi lembaga pemberantasan korupsi.

Pemerintah juga diminta untuk menarik naskah RKUHAP dan RKUHP yang dianggap tak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi dan eksistensi KPK.

Judicial Review
Terpisah, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof Ningrum Natasya Sirat menilai pembahasan RUU KUHP belum melibatkan publik. Menurut dia, DPR dan Pemerintah juga belum melibatkan semua pemangku kepentingan yang berkaitan dengan RUU ini.

Contohnya adalah instansi seperti KPK, BNN dan PPATK. Padahal, dalam RUU ini berisi tentang pemberantasan korupsi, narkoba dan pencucian uang yang menjadi domain kewenangan instansi-instansi tersebut.

Ningrum bahkan mengancam bila RUU ini tetap disahkan tanpa melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan, akademisi akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Kalau disahkan, tidak tertutup kemungkinan kami akan mengajukan judicial review,” kata Pembantu Rektor IV USU itu, di Medan.

Tags:

Berita Terkait