RICI Dukung Moratorium PKPU dan Kepailitan, Ini Pertimbangannya
Utama

RICI Dukung Moratorium PKPU dan Kepailitan, Ini Pertimbangannya

Meski menyatakan dukungan terhadap rencana moratorium, RICI menyatakan ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum moratorium dilaksanakan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Ketua Umum Restructuring and Insolvency Chamber Indonesia (RICI), Alfin Sulaiman. Foto: RES
Ketua Umum Restructuring and Insolvency Chamber Indonesia (RICI), Alfin Sulaiman. Foto: RES

Usulan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) agar pemerintah mengambil kebijakan moratorium PKPU dan kepailitan menjadi polemik. Ketua Umum Restructuring and Insolvency Chamber Indonesia (RICI), Alfin Sulaiman, mengaku jika usulan moratorium PKPU dan Pailit bukanlah hal baru. Pihaknya bersama dengan HIPMI pernah melakukan diskusi serupa pada Oktober tahun lalu.

Meski menyatakan dukungan terhadap rencana moratorium, Alfin menyebut ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum moratorium dilaksanakan. Pertama, moratorium harus memperhatikan kepentingan seluruh stakeholder dalam dunia usaha. Tidak hanya pengusaha melainkan ada perbankan, kreditor, profesi penunjang dalam pelaksanaan PKPU dan kepailitan termasuk lawyer, kurator dan pengurus.

Kedua, moratorium PKPU dan pailit harus menjadi momentum bagi semua pihak untuk membuka mata dan menyadari pentingnya melakukan revisi terhadap UU Kepailitan dan Hukum Acara Perdata. Menurutnya, UU Kepailitan dan Hukum Acara Perdata memiliki banyak kelemahan dalam sistem hukum PKPU dan pailit. UU Kepailitan dan Hukum Acara Perdata dinilai tak relevan dengan situasi pandemi Covid-19.

“Kenapa perlu moratorium? Sebagaimana kita ketahui dan kita amini bersama bahwa kita memiliki kelemahan di UU Kepailitan dan Hukum Acara Perdata. Yang mau kami mau dorong moratorium bisa jadi momentum bagi semua pihak untuk membuka mata bahwa revisi ini perlu segera dilakukan. UU Kepailitan dan Hukum Acara Perdata bermasalah dan itu tidak cocok dengan saat pandemi covid-19,” kata Alfin kepada Hukumonline. (Baca: Apindo Minta Pemerintah Lakukan Moratorium PKPU dan Kepailitan)

Di sisi lain, Alfin menegaskan moratorium PKPU tidak menutup upaya kreditur untuk melakukan penagihan atau upaya hukum. Banyak cara yang bisa dilakukan kreditur termasuk melakukan gugatan secara perdata dan restrukturisasi utang secara privat. Moratorium perlu dilakukan untuk memastikan pelaku usaha tidak mengalami pailit sebagai salah satu risiko dari gagalnya upaya PKPU.

Alfin menyadari salah satu alasan pelaku usaha memilih upaya hukum PKPU ketimbang gugatan perdata disebabkan oleh proses yang cepat dan mudah. Sedangkan gugatan perdata membutuhkan waktu yang panjang dan lama. Namun, di sini letak kelemahan sistem hukum di Indonesia. Pemerintah dan pihak yang berkepentingan harus menyadari hal tersebut dan memperbaiki Hukum Acara Perdata.

Kendati demikian dia mengingatkan kemudahan dalam proses PKPU tidak bisa dijadikan alasan bagi kreditur untuk menagih utang. PKPU merupakan penundaan pembayaran utang, di mana layaknya pemohonan tersebut hanya bisa dilakukan oleh debitur. PKPU akan berdampak fatal jika berakhir dengan pailit.

“PKPU lebih mudah dan prosesnya cepat sehingga upaya hukum ini menjadi dominan di atas upaya hukum lain. Jangan sampai orang latah menagih utang kepada orang lain dengan PKPU. Kita paksa orang masuk PKPU, ujung-ujung paillit. Kalau gugat perdata prosesnya panjang dan lama, berarti ada yang salah dalam sistem tata hukum Indonesia. Hukum Acara Perdata sudah tertinggal zaman. Ini harus dibenahi dalam konteks moratorium, bahwa ini urgent,” ungkapnya.

Alfin juga meminta semua pihak untuk melihat persoalan PKPU secara case by case. Menurutnya, tidak semua pelaku usaha siap menghadapi PKPU. Banyak PKPU yang berujung pailit karena ketidaksiapan pelaku usaha menyiapkan proposal perdamaian yang dapat mengakomodir semua keinginan kreditur.

“Dalam kondisi pandemi ada satu kata kunci, cashflow. Yang tidak siap cashflow bisa minta penundaan. Artinya, permohonan PKPU tidak dapat dibendung, dan meningkat di 5 pengadilan niaga. Kita tidak boleh tutup mata ini ada indikasi peningkatan PKPU karena pandemi walaupun tidak semua, pasti secara langsung mereka juga kena. Ini menjadi hal yang cukup urgen,” imbuhnya.

Alfin juga menyayangkan proses pembahasan revisi UU Kepailitan yang jalan di tempat dan mandeg selama bertahun-tahun. Dia mendukung upaya moratorium yang mungkin dilakukan lewat Perppu mengingat situasi yang genting untuk dunia usaha. Namun, tetap harus dipastikan proses pembahasannya melibatkan pihak-pihak yang berkompeten, baik itu perwakilan dari masyarakat, pelaku usaha, organisasi kurator dan pengurus, praktisi, akademisi dan profesi penunjang lainnya termasuk konsultan pajak.

“Sangat dimungkinkan beberapa pasal yang bermasalah di UU Kepailitan masuk ke dalam Perppu, tapi Perppu ini keadaan kondisional. Tapi dalam konteks ini moratorium digunakan untuk meng-goalkan perbaikan sistem UU Kepalitan dan Hukum Acara Perdata. Kalau kita melihat apakah saat ini genting, ya karena sangat terdampak. Kondisi pandemi hampir menyerang seluruh sektor. Alasan diterbitkan Perppu apakah ada keadaan memaksa, unsur keadaan sah-sah aja, tapi saya yakin pemerintah punya tim hukum yang kuat untuk mengkaji itu, apakah Perppu itu sah atau tidak,” pungkasnya.

Sekretaris Jenderal RICI Harvardy M Iqbal menambahkan bahwa moratorium bukan bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk mengemplang utang. Moratorium dilakukan demi kepentingan seluruh stakeholder. Menurutnya, di masa pandemi pelaku usaha banyak mengeluh saat kreditur mengajukan PKPU karena belum siap menghadapi restrukturisasi utang.

“PKPU ini syaratnya sangat mudah dalam UU Kepailitan. Agak susah menekan banyak permohonan PKPU di kondisi saat ini. Ketika ada dua tagihan yang sudah jatuh tempo, langsung PKPU. Saat menyusun proposal perdamaian ada ratusan kreditur yang menagih secara bersamaan. Akan sangat terbayang betapa complicated untuk memberikan proposal perdamaian ke semua pihak,” tuturnya.

Mengingat mudahnya syarat dalam mengajukan PKPU maka moratorium menjadi jalan pembatas. Tentunya masa moratorium harus dimanfaatkan oleh stakeholder untuk mendorong perbaikan sistem hukum, legislatif dan yudikatif juga harus bekerja untuk memperbaiki kelemahan sistem hukum kepailitan dan Hukum Acara Perdata.

 

Tags:

Berita Terkait