Rezim Pelarangan Buku yang Mengkhawatirkan
Fokus

Rezim Pelarangan Buku yang Mengkhawatirkan

Petisi menolak pelarangan buku meluas. Argumentasi menganggu ketertiban umum dinilai lemah. Keputusan melarang barang cetakan sebaiknya dilakukan lewat proses peradilan yang terbuka. Sejumlah tokoh mempersiapkan judicial review atas UU Kejaksaan.

Mys
Bacaan 2 Menit
Buku Gurita dari Cikeas adalah salah satu buku yang sedang dikaji <br> Kejaksaan Agung. Foto: Sgp
Buku Gurita dari Cikeas adalah salah satu buku yang sedang dikaji <br> Kejaksaan Agung. Foto: Sgp

Buku “Gurita dari Cikeas” karya George Junus Aditjondro bertumpuk di meja resepsionis kala sejumlah tokoh dan aktivis berkumpul di sebuah hotel di Jakarta, 8 Januari lalu. Tumpukan buku itu ludes terjual sebelum acara di mulai. Mantan anggota Komisi III DPR, Nursyahbani Katjasungka, membeli lima eksemplar. Ia mendapat bonus VCD film Balibo.

 

Kehadiran buku “Gurita dari Cikeas” seolah menjadi pemicu perdebatan klasik tentang pelarangan buku di Indonesia. Buku karya George memang sempat membuat panas telinga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, keluarga, dan orang-orang yang namanya disebut dalam buku. Polemik buku terbitan Galang Press Yogyakarta itu berbuntut perkara kriminal. George dilaporkan ke polisi oleh anggota Komisi I DPR, Ramadhan Pohan, gara-gara insiden dalam diskusi buku tersebut.

 

Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam termasuk yang tidak setuju pelarangan buku. “Kalau ada yang tidak setuju dengan isinya, silakan menulis buku yang lain. Apabila ada yang tersinggung, silakan mengadu kepada pihak yang berwajib,” ujarnya.

 

Meski mengecam “Gurita dari Cikeas”, Istana tak sampai memidanakan George. Yang ada malah buku tandingan yang membeberkan kelemahan-kelemahan buku George. Sikap Istana yang tidak langsung memerintahkan pelarangan buku George patut mendapat apresiasi. Kini, buku itu malah diperdagangkan di pinggir jalan dengan harga tiga kali lipat dari harga awal.

 

Meskipun belum resmi dinyatakan terlarang, nasib “Gurita dari Cikeas” belum tentu aman. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Didiek Darmanto, mengatakan Jaksa Agung masih menunggu rekomendasi Clearing House. Di forum lintas departemen inilah, buku George dibahas. “Masih dilakukan penelusuran untuk penelitian dan pengkajian,” kata Didiek.

 

Buku “Gurita dari Cikeas” bisa dibilang masih bernasib baik. Lima buku lain langsung dinyatakan terlarang tanpa didahului polemik di masyarakat. Pada 22 Desember 2009 lalu Jaksa Agung mengeluarkan Surat Keputusan tentang larangan beredar buku “Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto” karya John Roosa; dan buku Suara Gereja Bagi Ummat Tertindas: Penderitaan, Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat” tulisan Socrates Sofyan Yoman. Ada pula buku karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, “Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965”; buku “Enam Jalan Menuju Tuhan” karya Darmawan MM; dan buku “Mengungkap Misteri Keberagaman Agama” tulisan H. Syahrudin Ahmad. Tiga dari buku tersebut terbit di Jakarta, satu masing-masing di Yogyakarta dan Palu.

 

Berdasarkan catatan hukumonline, bukan kali ini saja Kejaksaan mengawasi barang cetakan buku. Pada 2005 silam, Clearing House di Kejaksaan Agung melakukan penelitian dan kajian terhadap buku “Habis Gelar Terbitlah Terang 2” (terbitan Pustaka Cahaya Alam bekerjasama dengan Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam Probolinggo).

 

Pertemuan sejumlah tokoh dan aktivis pada 8 Januari 2010 lalu melahirkan petisi menolak larangan peredaran buku. Tidak kurang dari 82 tokoh ikut meneken petisi itu, mulai dari pekerja film Abduh Azis hingga anggota Komnas HAM Yoseph Adi Prasetyo. Nama Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Ikrar Nusa Bakti, Johnson Panjaitan, Hendardi, Mas Achmad Santosa, Asfinawati dan Agung Putri termasuk di dalam 82 nama pendukung petisi.

 

Ini bukan suara penolakan yang pertama. Sehari sebelumnya, Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyuarakan petisi serupa. “Kami mendesak moratorium pelarangan buku,” tandas Ketua Badan Pengurus YLBHI Patra M. Zen.

 

Pada penghujung Desember 2009, Koalisi Masyarakat Sipil Pembela Hak Berekspresi sudah mencetuskan petisi penolakan atas pelarangan buku. Koalisi menganggap Kejaksaan Agung melanggar kebebasan berekspresi yang dijamin dan dilindungi konstitusi.

 

Memprihatinkan

Budayawan Goenawan Mohamad tak menampik bahwa pelarangan buku sudah dikenal sejak zaman Bung Karno. Dulu, bukan hanya buku yang dilarang tetapi juga novel dan puisi. “Misalnya karya Sutan Takdir Alisjahbana,” kata Goenawan.

 

Kebijakan itu dilanjutkan era Orde Baru. Pada era reformasi pelarangan buku berkurang drastis. Kini, di era Kabinet Indonesia Bersatu, politik pelarangan buku kembali dianut.

 

Inilah yang memprihatinkan sejumlah tokoh dan aktivis. Nursyahbani Katjasungkana khawatir kebijakan represif terhadap buku akan mematikan kreativitas serta  menimbulkan ketakutan berpendapat dan bertukar pikiran. Senada dengan tokoh lain, aktivis perempuan ini berpendapat pelarangan buku melanggar hak asasi manusia.

 

Selain karena keberlanjutan kebijakan pelarangan buku, kekhawatiran para aktivis petisi penolakan dilandasi meluasnya pejabat yang bertekad melarang buku. Faktanya, bukan hanya Kejaksaan Agung yang menganut kebijakan itu, tetapi juga Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, sudah membentuk tim pengkaji buku. Diberi waktu selama dua minggu, tim ini mengkaji lebih dari 20 judul buku yang disinyalir berpotensi memecah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 

Patrialis memang tidak menyebut secara spesifik buku-buku dimaksud. Namun ia mengatakan tim tersebut bertugas melakukan kajian, dan kelak hasilnya dilaporkan ke rapat bersama Menko Politik, Hukum dan HAM. Meskipun baru melakukan kajian, langkah Patrialis dinilai Goenawan berlebihan. Sebab, Patrialis memegang kendali pada kementerian yang mengurusi HAM. Larangan peredaran buku dianggap melanggar hak asasi manusia. “Saya tidak tahu apa arti HAM bagi Patrialis,” ketus Goenawan.

 

Para tokoh dan aktivis yang menyampaikan petisi berpandangan, pelarangan buku tak bisa dilakukan secara sepihak dan diam-diam. Lantaran menyangkut hak asasi manusia, penentuan pelarangan harus diproses dan diputuskan lewat pengadilan. “Kami minta pemeriksaan dan pengambilan keputusan pelarangan buku dilakukan secara terbuka melalui mekanisme di muka badan peradilan,” tandas Ketua Badan Pengurus YLBHI, Patra M. Zen. 

 

Tak bisa dibendung

Kejaksaan Agung sebenarnya bukan hanya melarang peredaran buku dan penggandaannya, tetapi juga memaksa masyarakat untuk menyerahkan kembali buku terlarang kepada Kejaksaan Tinggi atau Kejaksaan Negeri setempat. Bahkan, Kejaksaan Agung meminta aparat kejaksaan dan kepolisian di daerah bertindak, yakni menyita barang-barang cetakan terlarang. Didiek Darmanto menunjuk kewajiban itu pada Undang-Undang No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang Cetakan yang Isinya Dapat Menganggu Ketertiban Umum.

 

Perintah melakukan sita itu dikecam Nursyahbani. Sudah menjadi rahasia umum, kebijakan melarang buku justru menumbuhkan rasa ingin tahu masyarakat. Buku Goerge Junus Aditjondro contohnya. Setelah kontroversi, banyak orang mencari dan harganya naik lebih dari tiga kali lipat.

 

Kejaksaan, kata Nursyahbani, tidak akan bisa menghentikan peredaran buku, apalagi menghambat orang untuk mendapatkannya. Selain karena buku terlarang sudah terlanjur beredar, peredarannya pun bisa dilakukan lewat internet sehingga sulit dipantau korps adhyaksa. Nursyahbani mengingatkan Kejaksaan bahwa membaca  buku terlarang bukanlah suatu tindak pidana. “Apa perbuatan pidananya kalau kita membaca sebuah buku, sekalipun dilarang Kejaksaan,” tandas mantan anggota Komisi III DPR itu.

 

Nursyahbani malah menilai Kejaksaan salah menafsirkan dan memahami kewenangannya dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004. Kejaksaan sejatinya hanya berwenang mengawasi. Itu pun hanya ‘turut’ mengawasi. Kejaksaan tidak bisa secara sepihak memutuskan pelarangan.

 

Agar kebijakan pelarangan buku tidak terus berulang, sejumlah pihak berniat mengajukan judicial review terhadap dasar hukum yang dipakai Kejaksaan selama ini. Menurut Asvi Warman Adam, fokus rencana judicial review adalah terhadap UU No.16 Tahun 2004 dan UU No. 4/PNPS/1963. Namun tidak tertutup kemungkinan menggugat Surat Keputusan Jaksa Agung tentang pelarangan buku-buku tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara. “Untuk menguji apakah kebijakan itu sudah benar,” pungkas sejarawan LIPI tersebut.

 

YLBHI dan Ikapi juga menyuarakan hal senada. “Kami mendesak pencabutan kewenangan Jaksa Agung untuk mengawasi barang cetakan melalui amandemen UU No. 16 Tahun 2004 dan pencabutan UU No. 4/PNPS/1963,” kata Patra M. Zen.

 

Niat tokoh dan para aktivis itulah yang kini ditunggu….

 

Tags:

Berita Terkait