‘Revolusionisasi Hukum’ ala Mr Iwa Kusuma Sumantri
Bahasa Hukum:

‘Revolusionisasi Hukum’ ala Mr Iwa Kusuma Sumantri

“Dengan sarjana hukum kita tidak bisa membuat revolusi,” kata Bung Karno.

Mys
Bacaan 2 Menit
‘Revolusionisasi Hukum’ ala Mr Iwa Kusuma Sumantri
Hukumonline

Keinginan mengubah hukum-hukum peninggalan Belanda tidak pernah mati hingga kini. Lebih menggelora lagi di tahun-tahun awal kemerdekaan. Tetapi keinginan itu ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh waktu panjang dan sumber daya banyak untuk mengkaji satu per satu hukum peninggalan Belanda. Tentu saja yang tak sesuai dengan nafas ke-Indonesiaan. Hukum kolonial dianggap warisan imperialisme-kapitalisme yang tak sesuai dengan jiwa hukum nasional.

 

Ketika semangat anti-imperialisme dan kapitalisme bergaung pada dekade 1950-an dan 1960-an, keinginan untuk meninggalkan hukum warisan Belanda tak kalah gelora. Gelora itu terasa hingga ke kampus-kampus. Masalahnya tak segampang yang dibayangkan. Menyusun hukum tertulis membutuhkan sarjana hukum yang tak sedikit.

 

Bung Karno termasuk yang ‘gerah’ atas kelambanan proses pengubahan itu. Ketika api revolusi bergelora, Bung Karno membuat suatu pernyataan yang sering dikutip. Met de juristen kunnen wij geen revolutie maken, dengan sarjana hukum kita tidak mungkin membuat revolusi. Kita tidak membutuhkan sarjana hukum yang rewel untuk menuntaskan revolusi.

 

Dalam suasana kebatinan dan semangat menjelang era revolusi itulah kita mengenal istilah ‘revolusionisasi hukum’. Ada lagi istilah ‘hukum revolusi’ yang dikemukakan antara lain oleh Tan Malaka dan Mr Moh Yamin.

 

Gaung istilah ‘revolusionisasi hukum’ antara lain terdengar dari aula Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Bertepatan dengan 2 April 1958, di hadapan civitas akademika dan anggota Dewan Kurator Unpad, Iwa Kusuma Sumantri menyampaikan pidato inaugurasi sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Pidana. Mr Iwa Kusuma Sumantri memberi judul pidato inaugurasinya ‘Revolusionisasi Hukum Indonesia’. Lalu, apa yang dimaksud dengan revolusionisasi hukum itu? Mari ikuti pemikiran Mr Iwa Kusuma Sumantri.

 

Revolusionisasi hukum bukan dalam arti hukum revolusi yang sering dimaknai sebagai hukum rimba, yakni hukum yang mementingkan orang terkuat yang bisa berbuat sewenang-wenang kepada orang lemah. Menurut Mr Iwa, revolusionisasi hukum adalah cara perubahan yang revolusioner berdasarkan cita-cita revolusi bangsa Indonesia, yaitu penyusunan hukum yang menjadi dasar bagi suatu masyarakat yang adil dan makmur.

 

Revolusionisasi hukum mencakup pengertian mengganti sistem (hukum) penjajahan dengan sistim nasional yang memberikan perlindungan kepada rakyat. Hukum revolusioner yang kita butuhkan, kata Mr Iwa, adalah hukum yang meletakkan dasar-dasar bagi kemakmuran dan keadilan. Dalam peraturan pelaksanaannya pun harus ada jaminan atas keadilan. Jangan sampai hukum dijadikan sebagai tameng untuk menutupi kelemahan apalagi untuk berbuat sewenang-wenang. Revolusionisasi hukum adalah gerakan untuk mengubah semua peraturan yang bertujuan menekan rakyat untuk kepentingan dan keuntungan bangsa lain, dalam hal ini penjajah.

 

Berkaitan dengan hukum pidana, Mr Iwa mengingatkan KUHP adalah warisan Belanda yang di dalamnya terdapat anasir-anasir yang tak sesuai lagi dengan perkembangan. Ingat bahwa KUHP dulu dibuat para pembesar Belanda, sehingga materinya banyak ditujukan untuk melindungi kepentingan Belanda. Sangat banyak rumusan pidana sama tetapi ancaman sanksi dalam KUHP yang berlaku di Indonesia lebih berat dibanding di Belanda.

 

“Sangatlah penting bagi golongan-golongan yang berkuasa dan berwenang menginsyafi dengan sungguh-sungguh,” tulis Mr Iwa. “Bahwa masyarakat Indonesia yang sedang bergolak ini, tidaklah dapat dipimpin dan dikendalikan dengan hukum yang berlaku sekarang, hukum yang di dalam garis-garis besarnya masih berpokok pangkal pada hukum penjajahan Belanda yang di masa itu justru ditentang oleh rakyat banyak”.

 

Mr Iwa berpendapat harus dilakukan langkah-langkah revolusioner untuk mengubah hukum peninggalan Belanda. Setiap perubahan dalam jiwa rakyat, baik berupa pertumbuhan yang lama (evolutie) maupun berupa pertumbuhan yang cepat (revolutie) harus diikuti dengan perubahan dalam peraturan yang berlaku. Salah satu revolusionisasi hukum yang berhasil dilakukan, kata Mr Iwa, adalah pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda alias nasionalisasi. Contoh lain adalah perluasan teritorial laut Indonesia.

 

Rasa atau jiwa keadilan rakyat menjadi perhatian penting bagi Mr Iwa. Dalam bukunya “Ilmu Hukum dan Keadilan” (Medan, 1956), Mr Iwa berpendapat kesadaran keadilan adalah dasar dari tertib hukum yang akan disusun. Hukum adalah sesuatu yang harus bersangkutan dengan rasa keadilan rakyat, karena seluruh rakyat berhak atas keadilan itu.

 

Hukum positif yang tidak sesuai dengan kesadaran rakyat umum dan keadaan masyarakat sekitar niscaya akan didobrak dan dirusak oleh ‘situasi revolusionair’ masyarakat. Hukumlah yang harus disesuaikan dengan dinamika masyarakat. Pendek kata, lanjut Mr Iwa, “hukum yang tidak sesuai lagi dengan kesadaran keadilan rakyat umum” niscaya akan ditumbangkan laksana pohon tumbang oleh angin topan. Sebaliknya, “hukum yang telah disesuaikan dengan kebutuhan rakyat umum, yang telah sesuai dengan dinamika kebutuhan itu, niscaya akan membawa masyarakat kita ke arah kebahagiaan dan kemakmuran”.

 

Dalam pidato ianugurasinya, Mr Iwa juga mengkritik Aturan Peralihan UUD 1945 yang memberlakukan hukum Belanda sebelum ada hukum baru. Aturan Peralihan diikuti Peraturan Presiden No 10 Tahun 1945 yang menyatakan masih berlakunya sistim hukum lama. Akibatnya, revolusionisasi hukum dibelokkan menjadi politik kompromi dengan Belanda.

 

Dalam revolusionisasi hukum, Mr Iwa mengingatkan jangan asal meniru hukum Barat yang individualistik. Pasal 33 UUD 1945 (sebelum amandemen—red) dinilai sangat revolusioner karena memuat prinsip-prinsip hukum adat. Revolusionisasi hukum harus dijalankan secara sistematis dan integral. Harmonisasi hukum sangat penting dijaga, karena dalam merevolusionisasi hukum mungkin terjadi pertentangan dan disharmoni.

 

Ironisnya, hampir 44 tahun setelah pidato inaugurasi itu, harapan Mr Iwa Kusuma Sumantri melakukan revolusionisasi hukum pidana belum sepenuhnya terwujud. KUHP yang dipakai masih peninggalan Belanda….

 

Ralat:

Paragraf 13, tertulis:

 

Aturan Peralihan diikuti Peraturan Presiden No 10 Tahun 1945 yang menyatakan masih berlakunya sistim hukum lama. Akibatnya, revolusionisasi hukum dibelokkan menjadi politik kompromi dengan Belanda.

 

Yang benar adalah:

 

Aturan Peralihan diikuti Peraturan Presiden No 2 Tahun 1945 tentang Badan Negara dan Peraturan Jang Ada Sebelum Berdirinja Negara RI yang menyatakan masih berlakunya sistim hukum lama. Akibatnya, revolusionisasi hukum dibelokkan menjadi politik kompromi dengan Belanda.

 

@Redaksi

 

Tags: