‘Revolusionisasi Hukum’ ala Mr Iwa Kusuma Sumantri
Bahasa Hukum:

‘Revolusionisasi Hukum’ ala Mr Iwa Kusuma Sumantri

“Dengan sarjana hukum kita tidak bisa membuat revolusi,” kata Bung Karno.

Mys
Bacaan 2 Menit

 

Berkaitan dengan hukum pidana, Mr Iwa mengingatkan KUHP adalah warisan Belanda yang di dalamnya terdapat anasir-anasir yang tak sesuai lagi dengan perkembangan. Ingat bahwa KUHP dulu dibuat para pembesar Belanda, sehingga materinya banyak ditujukan untuk melindungi kepentingan Belanda. Sangat banyak rumusan pidana sama tetapi ancaman sanksi dalam KUHP yang berlaku di Indonesia lebih berat dibanding di Belanda.

 

“Sangatlah penting bagi golongan-golongan yang berkuasa dan berwenang menginsyafi dengan sungguh-sungguh,” tulis Mr Iwa. “Bahwa masyarakat Indonesia yang sedang bergolak ini, tidaklah dapat dipimpin dan dikendalikan dengan hukum yang berlaku sekarang, hukum yang di dalam garis-garis besarnya masih berpokok pangkal pada hukum penjajahan Belanda yang di masa itu justru ditentang oleh rakyat banyak”.

 

Mr Iwa berpendapat harus dilakukan langkah-langkah revolusioner untuk mengubah hukum peninggalan Belanda. Setiap perubahan dalam jiwa rakyat, baik berupa pertumbuhan yang lama (evolutie) maupun berupa pertumbuhan yang cepat (revolutie) harus diikuti dengan perubahan dalam peraturan yang berlaku. Salah satu revolusionisasi hukum yang berhasil dilakukan, kata Mr Iwa, adalah pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda alias nasionalisasi. Contoh lain adalah perluasan teritorial laut Indonesia.

 

Rasa atau jiwa keadilan rakyat menjadi perhatian penting bagi Mr Iwa. Dalam bukunya “Ilmu Hukum dan Keadilan” (Medan, 1956), Mr Iwa berpendapat kesadaran keadilan adalah dasar dari tertib hukum yang akan disusun. Hukum adalah sesuatu yang harus bersangkutan dengan rasa keadilan rakyat, karena seluruh rakyat berhak atas keadilan itu.

 

Hukum positif yang tidak sesuai dengan kesadaran rakyat umum dan keadaan masyarakat sekitar niscaya akan didobrak dan dirusak oleh ‘situasi revolusionair’ masyarakat. Hukumlah yang harus disesuaikan dengan dinamika masyarakat. Pendek kata, lanjut Mr Iwa, “hukum yang tidak sesuai lagi dengan kesadaran keadilan rakyat umum” niscaya akan ditumbangkan laksana pohon tumbang oleh angin topan. Sebaliknya, “hukum yang telah disesuaikan dengan kebutuhan rakyat umum, yang telah sesuai dengan dinamika kebutuhan itu, niscaya akan membawa masyarakat kita ke arah kebahagiaan dan kemakmuran”.

 

Dalam pidato ianugurasinya, Mr Iwa juga mengkritik Aturan Peralihan UUD 1945 yang memberlakukan hukum Belanda sebelum ada hukum baru. Aturan Peralihan diikuti Peraturan Presiden No 10 Tahun 1945 yang menyatakan masih berlakunya sistim hukum lama. Akibatnya, revolusionisasi hukum dibelokkan menjadi politik kompromi dengan Belanda.

 

Dalam revolusionisasi hukum, Mr Iwa mengingatkan jangan asal meniru hukum Barat yang individualistik. Pasal 33 UUD 1945 (sebelum amandemen—red) dinilai sangat revolusioner karena memuat prinsip-prinsip hukum adat. Revolusionisasi hukum harus dijalankan secara sistematis dan integral. Harmonisasi hukum sangat penting dijaga, karena dalam merevolusionisasi hukum mungkin terjadi pertentangan dan disharmoni.

Halaman Selanjutnya:
Tags: