Revisi UU Pers, Hitung-Hitung Untung dan Rugi
Fokus

Revisi UU Pers, Hitung-Hitung Untung dan Rugi

Revisi UU Pers bagai bom waktu yang tak terdeteksi. Sempat mencuat wacana soal sensor dan bredel hidup kembali. Namun, seiring waktu diskursus tersebut lenyap tersapu waktu. Di kalangan pers sendiri, ada yang ngotot ingin merombaknya, ada yang phobi hasilnya bakal lebih buruk.

Ycb
Bacaan 2 Menit

 

Kondisi sumir inilah yang membuat situasi tak menentu. Menurut Leo, Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan pernah berkomitmen untuk mengutamakan UU Pers sebelum menggunakan KUHP -untuk kasus pidana yang melibatkan wartawan dan media. Perkataan Bagir ini terbukti, tatkala MA memenangkan majalah Tempo melawan Tommy Winata. Sayang, rupanya dunia hukum kita belum mengenal yurisprudensi yang mengikat mutlak hakim lain. Masih segar dalam ingatan, MA justru memenangkan gugatan pencemaran nama baik mantan presiden Soeharto melawan Majalah Time. Akhir Agustus lalu, MA memutuskan Time dan pemimpin redaksi bersama lima jurnalisnya harus membayar denda setriliun rupiah.

 

Padahal, anggota Dewan Pers Wina Armada Sukardi mencatat, Ketua MA sebelumnya (1974-1982), Prof. Oemar Seno Adji, mengharamkan kriminalisasi pers. Wina menulis ujaran Oemar dalam bukunya yang berjudul Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers. Janganlah pers memberikan alasan bagi pembentuk undang-undang untuk mengatur pers, khususnya janganlah diberi kesempatan untuk lahirnya perundang-undangan pidana...

 

Sebelum menjadi Ketua MA, Oemar menjabat Menteri Kehakiman (1966-1974). Selain itu, Oemar juga menyabet gelar guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Memantapkan pemikirannya, Oemar lantas menulis buku yang diterbitkan pada 1977 dengan judul Pers: Aspek-Aspek Hukum. Saya kuliah diajar beliau pada 1978. Dalam setiap kuliahnya, Prof. Oemar menekankan 'jangan pidanakan atau penjarakan wartawan', kenang Wina.

 

Dari catatan Wina atas buah pikir Oemar itulah, seharusnya kita memahami roh dan semangat kebebasan pers. Sepanjang memegang profesinya, jurnalis memang tak pantas berakhir di bui, lantaran pemberitaannya. Jangan sampai kita di-Mochtar-Lubis-kan, teriak Leo menimpali.

 

Vox Pops: Apa Kata Mereka soal Revisi UU Pers?

Menkominfo Muhammad Nuh:

UU Pers direvisi atau tidak terserah kalangan pers. Dewan Pers lebih tahu. Pemerintah tidak ngatur-ngatur. (Juni 2007)

 

Dikutip dari opini Leo Batubara yang berjudul Revisi UU Pers atau Hak Konstitusional? dalam Harian Kompas edisi Jumat, 29 Juni 2007.

Menteri Penerangan era Presiden Habibie, Muhammad Yunus Yosfiah:

Saya yakin pemerintah tidak gegabah. Kalau mau merevisi, kalangan pers pasti diajak terlibat. (Juni 2007)

 

Kini Yunus menjadi anggota DPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, duduk di Komisi XI, bidang keuangan negara dan perbankan. Yunus pula yang memuluskan lahirnya UU Pers pada 1999.

Anggota DPR Komisi I (Bidang Luar Negeri, Pertahanan, dan Komunikasi) dari Fraksi Partai Golkar, Marzuki Darusman:

Mekanisme hak jawab kurang cukup 'menghukum' pers. Kalau ada unsur pidana, bisa saja dipenjarakan. Makanya pers harus memperbaiki kualitasnya. Draft revisi belum pernah kami terima. (Kuartal pertama 2007)

Anggota DPR Komisi I dari Fraksi Bintang Reformasi, Ali Mochtar Ngabalin:

Revisi UU Pers supaya undang-undang ini menjadi lex specialis. (Kuartal pertama 2007)

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Republik Indonesia Sisno Adiwinoto:

Selain kebebasan, melekat pula tanggung jawab sosial... sanksi hukum terhadap media/wartawan harus seimbang dengan sanksi hukum terhadap masyarakat. (tertanggal 11 Februari 2008) -pernyataan tertulis disampaikan kepada peserta diskusi kelompok terfokus, yang diselenggarakan oleh AJI, pada 13 Februari 2008.

Anggota Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia Kukuh Sanyoto:

Kebebasan pers bukan untuk dinikmati oleh pers itu sendiri. Melainkan demi masyarakat. (13 Februari 2008)

Anggota Dewan Pers Sabam Leo Batubara:

Kalau tercantum dalam konstitusi, tak perlu ada revisi UU Pers. Bunyi Pasal 28 F UUD 1945 masih banci karena tidak eksplisit melarang membuat peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan kebebasan pers. (13 Februari 2008)

Anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi:

Sikap kami, revisi UU Pers memang perlu sejauh untuk menguatkan kemerdekaan pers. Kalau untuk memperburuk, jangan. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk merevisi. (13 Februari 2008)

Ketua Harian Serikat Penerbit Suratkabar Indonesia M Ridlo 'Eisy:

Merevisi berarti menyerahkan bola kepada pemerintah dan parlemen. Dan hasilnya tentu lebih buruk dari UU Pers saat ini. Jangan pernah memberi peluang tersebut. (13 Februari 2008)

Sekretaris Jenderal AJI Abdul Manan:

Tapi, jika memang pemerintah ataupun DPR menghendaki revisi, kita pun tak bisa mencegahnya. Kita perlu bersiap-siap untuk antisipasi. (13 Februari 2008)

Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Resta Hutabarat:

Ketegangan tak hanya terjadi antara jurnalis dan media dengan pihak yang memidanakannya. Namun, jurnalis sebagai buruh juga bersitegang dengan media sebagai perusahaan tempat dia bekerja. Kasus perburuhan yang melibatkan wartawan makin meningkat. Revisi UU Pers harus bisa menjawab masalah ini. (13 Februari 2008)

Dirangkum dari berbagai reportase dan wawancara Hukumonline

 

Menyoal bahasan legislasi, bagi saya, bagai mengendus bom waktu yang nyempil entah di mana. Terasa detaknya, namun kita tak bakal tahu kapan meledaknya. Setahun lebih ini saya liputan di Gedung Senayan. Dalam beberapa hal, baik pemerintah maupun para lawmakers terkesan bersembunyi dari publik. Keduanya membahas RUU secara tertutup -terutama pada tahap panitia kerja dan tim sinkronisasi. Dan tahu-tahu, beleid tersebut nyaris disahkan. Masyarakat jadi gagap dan tak banyak waktu bagi mereka untuk mengunyah dan mengawalnya. Cobalah tengok UU Penanaman Modal (25/2007), UU Ketentuan Umum Perpajakan (28/2007), UU Perseroan Terbatas (40/2007), UU Cukai, dan perundang-undangan lainnya.

 

Apalagi aturan pelaksana, yang seratus persen domain eksekutif. Siapa sangka ternyata PP tentang Penataan Pasar (PP Pasar Modern) sudah nongol -setelah publik lelah menunggu dan akhirnya melupakan dalam waktu hampir tiga tahun? Lantas Peraturan Presiden tentang Daftar Negatif Investasi (Perpres DNI) tak genap setahun umurnya sudah berubah.

Halaman Selanjutnya:
Tags: