Revisi UU Pemilu Diharapkan Mampu ‘Cetak’ Pemimpin Berkualitas
Berita

Revisi UU Pemilu Diharapkan Mampu ‘Cetak’ Pemimpin Berkualitas

Komisi II DPR telah melakukan RDPU dengan berbagai pihak seperti pakar, akademisi, dan tokoh masyarakat. Ada sejumlah substansi RUU Pemilu yang menjadi perhatian untuk diputuskan, mulai ambang batas parlemen dan pencalonan presiden, sistem pemilu.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: Hol
Gedung DPR. Foto: Hol

Revisi UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu merupakan salah satu RUU yang masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020. Wakil Ketua Komisi II DPR Arwani Thomafi mengatakan UU Pemilu memang kerap direvisi dalam setiap periode guna mengakomodir perkembangan untuk memperbaiki proses pemilu. Misalnya, putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 yang intinya MK memberikan 6 model pemilu serentak.

“Revisi itu memang selain untuk menyesuaikan dengan putusan MK, ada kebutuhan hukum masyarakat yang muncul dan yang lebih penting untuk memperbaiki proses pemilu sebelumnya,” kata Arwani dalam diskusi di Jakarta, Selasa (7/7/2020). (Baca Juga: Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Disebut Gagal Penuhi Lima Tujuan)

Arwani mengusulkan penting mengakomodir dalam revisi UU Pemilu, seperti kesulitan yang dihadapi masyarakat berkaitan hak-hak politik warga negara dan kualitas penyelenggaraan pemilu. Dia tidak ingin hasil revisi hanya dibuat agar partai politik atau kontestan tertentu menang mudah. Misalnya, ada usulan menaikan ambang batas parlemen, “Usulan ini harus dikaji mendalam apakah benar ini untuk menaikan level demokrasi di Indonesia atau malah ada kepentingan selain itu?”

Menurut dia, jika ambang batas parlemen dinaikan dari 4 persen menjadi 5-7 persen untuk bisa meraih kursi di DPR, semakin banyak suara yang hilang karena tidak terkonversi menjadi perolehan kursi. Hal ini membuat keragaman politik semakin sempit. Dalam membenahi penyelenggaraan pemilu, Arwani mengingatkan agar Indonesia memilih sistemnya sendiri sesuai dengan tujuan bernegara yakni menjaga kebhinekaan,

“Saya khawatir jika ambang batas parlemen dinaikan bagaimana nasib kearifan lokal, keragaman politik yang menjadi modal kuat tegaknya NKRI? Akan semakin terkikis dan akhirnya kita dipaksa kembali pada penyederhanaan partai politik seperti orde baru,” kata Politisi PPP itu.

Mengenai ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), Arwani berpendapat wacana yang berkembang di DPR yakni membuka seluasnya potensi warga negara untuk memunculkan calon presiden dan wakil presiden baru. Karena itu, ambang batas pencalonan presiden diharapkan dapat diturunkan dari 20 sampai ke 10 persen.

Anggota Komisi II DPR Guspardi Gaus berharap arah revisi UU Pemilu menuju ke arah yang lebih positif yakni melahirkan pemimpin berkualitas sesuai harapan masyarakat. Untuk mewujudkan upaya itu, Komisi II sudah melakukan RDPU dengan berbagai pihak seperti pakar, akademisi, dan tokoh masyaraka untuk meminta masukan. 

Politisi PAN ini menyebut fraksinya sudah menyerahkan usulan yang akan dibahas Komisi II. Menurutnya ada beberapa persoalan yang perlu dicermati dalam revisi UU Pemilu. Soal ambang batas parlemen, ada beberapa usulan mulai dari 4-7 persen. Tapi dia menegaskan fraksi PAN ingin ambang batas parlemen ini tetap 4 persen. Jika ambang batas parlemen dinaikkan dia khawatir akan banyak suara yang hilang karena dengan ambang batas 4 persen ada sekitar 13 juta suara yang hilang.

Mengenai ambang batas pencalonan presiden. Guspardi memaparkan semakin banyak calon presiden dan wakil Presiden yang muncul akan semakin baik karena masyarakat punya banyak pilihan. “Saya menyarankan untuk presidential threshold ini sebaiknya tidak 0 persen sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar RI, paling tidak partai politik yang punya kursinya di Senayan,” usulnya.

Guspardi melihat ada hal baru yakni ambang batas parlemen tingkat kabupaten/kota mengacu tingkat pusat. Akibatnya, jumlah kursi di kabupaten/kota ditentukan ambang batas di tingkat pemilu legislatif. Menurutnya, ambang batas parlemen di tingkat kabupaten/kota ini tidak perlu demi keberagaman.

Ada juga wacana yang menghubungkan antara ambang batas parlemen dengan sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup. Menurut Guspardi putusan MK sudah menegaskan pemilu menggunakan sistem proporsional terbuka. Sistem pemilu ini memberi kebebasan masyarakat untuk memilih calon yang diinginkan. “Saran saya (tetap) sistem terbuka karena itu sangat demokratis,” katanya.

Tags:

Berita Terkait