Revisi UU MK: Hadiah, Pesanan, atau Kebutuhan?
Kolom

Revisi UU MK: Hadiah, Pesanan, atau Kebutuhan?

Gelagat RUU ini dibahas dalam suasana darurat kesehatan menyiratkan 2 hal.

Bacaan 2 Menit

 

Kembali ke draft RUU yang disebut di awal. Saya pastikan, itu bukan draft yang dulu pernah dibahas sebagai usulan Pemerintah. Seorang rekan di Ditjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham turut memastikan itu. Dari dia, saya peroleh file PDF draft versi Pemerintah yang dulu. Yang MK pernah dimintai masukan soal hukum acara.

 

Bahkan kalau tak salah, draft itu sudah jadi dan sudah sampai di DPR. Tentu untuk dibahas bersama. Saat itu, RUU MK masuk Prolegnas prioritas tahun 2018. Urutan ke 20. Diantarkan dengan Amanat Presiden (Ampres). Tapi belakangan, entah kenapa, Ampres itu bisa ditarik kembali oleh Menkumham. Dengan begitu, revisi UU MK urung dilakukan. 

 

Patut Khawatir

Tetiba kini, “mak bedunduk” muncul draft yang ramai ditanya dan diberitakan itu. Ada banyak hal menarik dari draft RUU itu. Untuk tak mengatakan janggal atau aneh. Gelagat RUU ini dibahas dalam suasana darurat kesehatan menyiratkan 2 hal, yakni (1) kurang peka dan kurang bersolidaritas. Ini seperti kata Prof. Jimly, solidaritas itu ditunjukkan dengan jangan dulu membahas RUU apapun di tengah situasi sulit ini, dan (2) pada kondisi sekarang, sangat mungkin kedap dari aspirasi publik. Luput dari atau minim atensi publik. 

 

Hal lainnya, di Konsiderans Mengingat masih bercokol UU Nomor 4 Tahun 2014. Padahal, UU itu sudah dinyatakan inkonstitusional seluruhnya melalui putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014. Bahkan, tak selang lama setelah UU itu berlaku. Lantas, untuk apa dirujuk? Kalau diaku tak sengaja, atau salah ketik, sungguh terlalu si perancangnya. Ia tak tahu perkembangan hukum. Betapapun itu masih dalam bentuk draft.

 

Kemudian soal substansi perubahan. Tak ada satupun pasal menyangkut penyempurnaan hukum acara. Padahal, soal hukum acara ini yang paling esensial. Pasal-pasal menyangkut kelembagaan MK saja yang diubah. Betapapun ini mungkin open legal policy, tapi banyak yang layak disemati tanda tanya besar. 

 

Pertama, soal masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua. Diubah dari 2 tahun 6 bulan, menjadi 5 tahun. Kedua, syarat usia minimal calon hakim konstitusi. Dari 47 tahun dinaikkan menjadi 60 tahun. Tanpa batas usia maksimal. Ketiga, anggota Majelis Kehormatan yang cuma 2 orang. Bagaimana bisa bekerja? Keempat, menghapus periodisasi jabatan hakim konstitusi. Tak lagi 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan. Hakim konstitusi pensiun di usia 70 tahun. Dan seterusnya.

 

Dari keseluruhan subtansi perubahan itu, satu yang paling dikhawatirkan. Dan, sudah ada narasi negatif tak terhindarkan. Seperti yang sudah termuat di berita-berita media. Apa itu? Diduga, motif revisi semata-mata untuk menyenangkan hakim konstitusi yang sekarang menjabat. Buntalan hadiah bagi yang sudah berlaku menyenangkan. Aromanya tambah tak sedap. Rencana revisi itu diduga ‘by request’ alias ‘pesanan’ pihak tertentu. Makin tak karuan, jika nantinya nalar publik mengarah dan mengiyakan kesimpulan: revisi itu atas “pesanan” dari internal MK. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait