Keempat RUU ini diprioritaskan FPG karena dinilai dapat mendorong peningkatan kesejahteraan, kualitas hidup dan melindungi aktifitas ekonomi masyarakat Indonesia. Selain itu, revisi UU juga dilakukan untuk memberikan payung dan kepastian hukum bagi negara dalam menjalankan urusan pemerintahan serta memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat.
“Perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat Indonesia salah satunya, yang utama selain memberikan rasa aman, adalah berupaya meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup dan melindungi aktifitas ekonomi segenap rakyat Indonesia,” kata Firman di Komplek Parlemen di Jakarta, Rabu (25/2).
Anggota Komisi XI DPR M Misbakhun menambahkan, revisi UU KUP bertujuan untuk memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya. Bukan hanya itu, revisi dilakukan juga agar pemungut pajak dalam menjalankan tugasnya bisa lebih dipermudah.
“Dan selanjutnya dapat meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak,” kata Misbakhun.
Ia menuturkan, sistem perpajakan yang dianut Indonesia adalah self assesment. Yakni, wajib pajak diberikan kepercayaan untuk mendaftarkan diri, menghitung pajak yang terutang, menyetornya serta melaporkan penghitungan dan penyetoran tersebut ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan. Sedangkan Ditjen Pajak berfungsi melakukan pengawasan atas sistem slef assesment tersebut.
“Pengawasan tersebut bertujuan agar wajib pajak yang melaporkan penghitungan dan penyetoran tersebut dapat sesuai dengan ketentuan UU perpajakan,” ujar Misbakhun.
UU KUP tersebut mengatur hak dan kewajiban wajib pajak. Bukan hanya itu, UU KUP juga mengatur mengenai wewenang Ditjen Pajak, termasuk di dalamnya mengatur mengenai sanksi perpajakan apabila wajib pajak tersebut tidak memenuhi kewajiban perpajakan.
Untuk penghitungan pajak sendiri terdapat pada UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan UU No. 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn).
RUU Bea Meterai
Masih berkaitan dengan perpajakan, FPG juga berencana memprioritaskan RUU Perubahan Atas Bea Meterai. Misbakhun mengatakan revisi UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai tersebut lantaran zaman yang sudah berkembang sehingga perlu ada penyesuaian substansi UU.
Sayangnya, ia tak merinci substansi apa saja yang akan diubah dalam revisi UU Bea Meterai ini. Menurutnya, dengan berkembangnya waktu, aktifitas ekonomi masyarakat dan inflasi maka bea meterai juga memerlukan penyesuaian. Sehingga, ke depannya pendapatan negara dari bea meterai juga akan meningkat.
“selanjutnya, dapat digunakan untuk melaksanakan pembangunan, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan berbagai layanan umum lainnya,” kata Misbakhun.
Bea meterai sendiri adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang menjadi obyek bea meterai. Dalam setiap dokumen yang menjadi obyek bea meterai tersebut wajib sudah dibubuhi meterai atau pelunasan bea meterai dengan menggunakan cara lain sebelum dokumen itu digunakan.