Revisi UU KPK Hanya Sekadar Wacana
Berita

Revisi UU KPK Hanya Sekadar Wacana

Penolakan Presiden Jokowi terhadap revisi UU KPK dinilai tamparan telak bagi Menkumham.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: SPG
Foto: SPG
Rencana melakukan amandemen terhadap UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya sekadar wacana belaka. Meski Menkumham Yasonna H Laoly beberapa waktu lalu sempat mengusulkan agar revisi UU KPK masuk Prolegnas prioritas 2015, faktanya hal itu ditolak oleh Presiden Joko Widodo.

“Jadi kalau ada wacana revisi (UU KPK, red) ini jauh sekali, sebenernya belum ada,” ujar Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaedi Mahesa di Gedung DPR, Senin (22/6).

Menurutnya, adanya wacana merevisi UU KPK merupakan hasil rapat antara Komisi III dengan Menkumham. Rapat tersebut membahas banyaknya persoalan yang dihadapi KPK. Mulai kalahnya KPK di praperadilan, usulan kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), hingga pembatasan penyadapan. Kesimpulan dari rapat tersebut, yakni melakukan revisi UU KPK.

Kendati begitu, wacana revisi UU KPK dilakukan setelah pembahasan RKUHP dan RKUHAP rampung. Setelah itu, pembahasan dilanjutkan dengan merevisi UU di sektor lembaga penegak hukum mulai kepolisian, kejaksaan, KPK dan Mahkamah Agung. Oleh sebab itu, rencana merevisi UU KPK hanya sekedar wacana semata. Terlebih, DPR dan pemerintah belum memiliki naskah akademik dan draf RUU KPK.

“Kalau Jokowi menolak apa yang ditolak, kalau Jusuf Kalla setuju apa yang setuju ?. Kita sendiri bingung, wong naskah akademik dan draf RUU saja kita belum ada,” katanya.

Politisi Partai Gerindra itu menilai langkah Presiden Jokowi menolak revisi UU KPK hanya sebuah pencitraan semata. Menurutnya perbedaan pandangan antara Presiden dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla lantaran keduanya berkuasa. Semestinya, jikalau presiden dan wakil presiden paham, maka tidak akan berkomentar terkait dengan wacana revisi UU KPK lantaran belum terdapat naskah akademik maupun draf RUU.

“Hari ini mulut presiden bisa dipercaya atau tidak, jadi kalau Jokowi bicara apa bisa dicabut lagi?,” ujarnya.

Desmond menengarai upaya revisi UU KPK akan dilaksanakan dalam kurun waktu lama. Pasalnya mesti menunggu pembahasan RKUHP yang terdiri 700-an pasal. Begitu pula dengan RKUHAP. Kedua payung hukum pidana dan acara pidana dalam pembahasannya membutuhkan waktu yang panjang. Makanya Desmon lebih mendukung pembahasan RKUHP dan RKUHAP terlebih dahulu ketimbang revisi UU KPK, Kepolisian, Kejaksaan maupun MA.

“Dua tahun lagi juga belum tentu dibahas revisi UU KPK, lebih baik payung hukum ibu bapaknya dulu yaitu RKUHP dan RKUHAP, baru anak-anaknya ini kepolisian, kejaksaan, KPK dan MA,” ujarnya.

Anggota Komisi III Rio Patrice Capella menambahkan, wacana merevisi UU KPK terkait dengan penyadapan dan pemberian kewenangan SP3. Wacana di masyarakat perlu tidaknya KPK diberikan kewenangan SP3 lantaran lembaga antirasuah itu kalah beberapa kali di praperadilan. Begitu pula dengan pembatasan kewenangan penyadapan agar dilakukan hanya ditingkat penyidikan, tidak lagi di penyelidikan.

“Makanya memang perlu diatur keterkaitan pembatasan penyadapan, bukan berarti melemahkan KPK tapi supaya KPK tambah uat dan tidak lagi digugat di pengadilan,” ujarnya.

Meski Fraksi Nasdem tempatnya bernaung menyetujui usulan revisi UU KPK, namun bukan berarti adanya upaya pelemahan terhadap KPK. Ia mengusulkan kalau pun kewenangan SP3 diberikan kepada KPK, toh mesti dibuat aturan penghentian penyidikan perkara dilakukan secara ketat. Artinya, tidak serta merta tidak memenuhi dua alat bukti kemudian dihentikan penyidikan. Namun masih terdapat beberapa persyaratan lain yang menguatkan penggentian penyidikan perkara.

Terkait dengan perbedaan pandangan di internal pemerintah, Rio menilai menteri tak akan membangkang dengan perintah presiden. Menurutnya, presiden tak ingin melemahkan KPK. Kendati begitu, di mata Rio dengan merevisi justru bakal memperkuat KPK dengan aturan yang baru. Ia memahami sumber pembuatan UU berasal dari pemerintah dan DPR.

“Kalau presiden tidak mau melakukan revisvi bisa saja, tapi memang DPR belum juga ada drafnya. Perbedaan pandangan itu biasa,” ujarnya.

Anggota Komisi III Bambang Soesatyo menilai perbedaan pandangan di internal pemerintah terkait revisi UUU KPK menjadi bukti amburadulnya manajemen pemerintahan Jokowi-JK. Menurutnya Presiden Jokowi belum mampu mengendalikan para pembantunya.

“Ibarat mengemudikan mobil masing-masing dari arah berlawanan, Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla sudah dua kali bertabrakan. Tabrakan pertama pada isu tentang organisasi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Wapres memerintahkan Menpora Imam Nahrawi mencabut surat keputusan pembekuan PSSI. Namun, Presiden Jokowi justru memerintahkan sebaliknya. Menpora diminta mempertahankan pembekuan PSSI,” ujarnya.

Tabrakan keduanya terjadi lagi pada isu revisi UU KPK. Wapres, Jaksa Agung serta Menteri Hukum dan HAM setuju UU KPK direvisi. Tetapi belakangan Presiden  menolak revisi UU KPK. Terhadap Menkumham Yasonna H Laoly, kata Bambang, penolakan Jokowi adalah tamparan telak.

“Presiden secara tidak langsung sudah mengatakan tidak percaya lagi pada Menteri Yassona. Isu mengenai revisi UU KPK adalah persoalan strategis yang idealnya dibahas di sidang kabinet agar pemerintah bisa muncul dengan satu suara bulat. Apalagi isu tentang kewenangan KPK,” pungkas politisi Golkar itu.
Tags:

Berita Terkait