Revisi UU Kepailitan, Lindungi Kurator
Berita

Revisi UU Kepailitan, Lindungi Kurator

Lantaran ada sejumlah ketentuan yang berbeda dengan praktik.

HRS
Bacaan 2 Menit
Ricardo Simanjuntak, Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI). Foto: Sgp
Ricardo Simanjuntak, Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI). Foto: Sgp

Selain lemah melindungi debitor besar yang sehat, UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Kepailitan) juga dirasa tak berpihak pada kurator. Karena itu, rencana revisi UU kepailitan disambut baik kurator agar ada kepastian akan tugas mereka.

Selain itu, perlindungan pada kurator penting mengingat besarnya ancaman dan tanggung jawab yang diemban. Beberapa hal ini yang membuat Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Ricardo Simanjuntak menilai UUKepailitan perlu direvisi. Menurutnya, banyak hal yang perlu disempurnakan dalam undang-undang ini agar kurator berada dalam posisi yang jelas.

“Sebenarnya, kalau dilihat secara teori, undang-undang  belum melindungi. Jadi, perlindungan terhadap kurator merupakan bagian dari proses pemikiran untuk diajukan terkait penyempurnaan terhadap undang-undang ini,” tuturnya ketika ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (31/10).

Salah satu contoh kelemahan dari UUKepailitan adalah terkait pelaksanaan terjadinya sita umum. Jika merujuk kepada Pasal 24 UUKepailitan, dikenal prinsip zero hour principle. Artinya, suatu harta debitor sudah berada dalam sita umum sejak dinyatakan pailit oleh pengadilan.

Jika dilihat secara kasat mata, tidak ada yang salah dalam ketentuan ini. Namun, kebingungan baru muncul ketika kurator akan menjalankan sita umum tersebut. Pasalnya, kurator baru bisa bekerja setelah kurator mendapatkan salinan putusan yang secara praktik sulit didapat dalam waktu singkat.

“Nah, jika masa menunggu salinan putusan terjadi hilangnya aset, jadi masalah bagi kurator,” terang Ricardo.

Dia menyatakan perlindungan terhadap kurator bagaimana menerapkan pengaturan mengenai kesepakatan lelang dan gijzeling (paksa badan-red). Hal itu diamanatkan Pasal 93 UU Kepailitan dinilai belum berjalan dengan baik.

Pelaksanaan ini perlu kesamaan pemikiran antara hakim pengawas dan kurator. Terkadang, lanjut Ricardo, kurator dan hakim pengawas tidak saling bersinergi sehingga mengakibatkan perbedaan pemikiran yang berdampak pada perbedaan dalam pengambilan keputusan.

Meskipun UUKepailitan belum melindungi kurator, Ricardo selalu mengingatkan para kurator agar bertindak secara profesional dan menjalankan kode etik kurator. Dengan demikian, kurator dapat terhindar dari masalah ketika bertugas.

“Selalu pesan dari organisasi, para kurator adalah bertindak professional dan patuh pada ketentuan hukum,” pungkasnya.

Berbeda dengan Ricardo, advokat James Purba mengatakan tidak perlu dibuat aturan khusus untuk melindungi kurator. Sekalipun tanggung jawab yang diemban berat, kurator seharusnya tidak perlu khawatir dengan munculnya tuntutan dari para pihak.

“Sepanjang kurator melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan koridor UU Kepailitan, kenapa kita harus khawatir,” tuturnya dalam sebuah seminar kepailitan di Jakarta, Selasa (30/10).

Lebih lanjut, James Purba memang mengatakan bahwa UU Kepailitan tidak mengatur secara spesifik mengenai perlindungan kurator. Kendati demikian, hak dan kewajiban kurator telah diatur secara tegas dalam undang-undang. Menurut James apa yang ada di undang-undang sudah cukup bagi kurator.

Pendapat itu dia kemukakn karena di satu sisi kurator memiliki kekuatan yang besar. Sepertimenggantikan direksi, berhak menguasai menjual, mengagunkan, dan mengeksekusi aset. Kewenangan yang besar itu pun dibatasi dengan ancaman yang besar pula, yaitu ancaman atas harta pribadi kurator.

Melihat telah ada keseimbangan dalam hak dan kewajibannya, James Purba menyimpulkan bahwa kurator tidak perlu perlindungan hukum karena siapapun yang tidak melakukan kesalahan atau pelanggaran, tidak perlu meminta perlindungan.

“Karena di Pasal 72 UU Kepailitan, kurator telah mendapat ancamana kalau melakukan kelalaian. Jadi, bahaya juga dia (kurator, red),” tukasnya.

Ia pun membedakannya dengan profesi pengacara.  Menurutnya, profesi pengacara perlu dilindungi karena pengacara bekerja dalam rangka mewakili klien yang bermasalah dengan hukum. “Ya beda dengan profesi pengacara karena pengacara kan dalam rangka mewakili klien,” pungkasnya.

Tags: