Revisi UU Anti Terorisme Telah Disetujui DPR, Ini 6 Pasal yang Berpotensi Masalah
Berita

Revisi UU Anti Terorisme Telah Disetujui DPR, Ini 6 Pasal yang Berpotensi Masalah

Revisi UU Anti Terorisme terus didorong penyelesaiannya saat timbul ultimatum dari Presiden Joko Widodo yang ingin mengeluarkan Perppu apabila revisi tersebut tak kunjung selesai.

M-27
Bacaan 2 Menit
Andri Gunawan S. tenaga ahli anggota Komisi III DPR Fraksi PPP Arsul Sani. Foto: RES
Andri Gunawan S. tenaga ahli anggota Komisi III DPR Fraksi PPP Arsul Sani. Foto: RES

DPR telah menyetujui Revisi UU tentang Anti Terorisme menjadi Undang-undang pada Jumat (25/5) lalu. Penyetujuan atas RUU tersebut masih menuai berbagai kontroversi di dalamnya, termasuk adanya beberapa pasal yang berpotensi menimbulkan polemik yang dapat mewarnai proses pemberantasan tindak pidana yang di kategorikan sebagai kejahatan luar biasa tersebut.

 

Wacana revisi UU Anti Terorisme ini sempat tenggelam hingga akhirnya kembali booming setelah kembali terjadi ledakan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya pada Minggu (13/5) lalu. Revisi UU Anti Terorisme terus didorong penyelesaiannya saat timbul ultimatum dari Presiden Joko Widodo yang ingin mengeluarkan Perppu apabila revisi tersebut tak kunjung selesai.

 

Direktur Indonesian Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar, mengatakan sedikitnya ada enam pasal dalam Revisi UU Anti Terorisme yang berpotensi menuai masalah. Pertama, potensi masalah dapat timbul dari pembahasan definisi yang dituangkan pada Pasal 1 revisi undang-undang tersebut, di mana pihak pemerintah dan pihak DPR berdebat panjang dalam menentukan definisi  terorisme.

 

Berdasarkan Pasal 1 Revisi UU Anti Terorisme, terorisme didefinisikan sebagai “perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat masal, dan/atau menimbulkan kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan”.

 

Menurut Erwin, dari definisi tersebut terlihat DPR memasukan unsur politik dan ideologi sehingga itu berarti seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana terorisme ketika ia merusak objek vital strategis, melakukan pergerakan dan membuat ketakutan secara massif dengan tujuan utamanya adalah politik.

 

“Pelaku, dalam kasus tersebut pun harus dibuktikan bahwa ia terlibat atau tidak dalam suatu jaringan terorisme, namu dalam hal ini pemerintah menilai bahwa tak perlu ada unsur politik dalam definisi terorisme itu sendiri,” ujarnya dalam acara Talks Hukumonline yang bertemakan Urgensi UU Anti Terorisme dan Implikasinya Bagi Stabilitas Hukum dan Politik di Indonesia, Kamis (31/5).

 

Kedua, potensi masalah yang dapat timbul yaitu Pasal 25, di mana pasal tersebut memuat lamanya masa penahanan pada tahap penyidikan dan penuntutan selama 290 hari, dengan berbagai perdebatan di mana pada peraturan sebelumnya diatur selama 450 hari dan dipersingkat hingga 290 hari.

 

(Baca Juga: Alasan Masa Penahanan di UU Anti Terorisme Membengkak Hingga 60 Persen)

 

Namun, hal tersebut masih dianggap memakan waktu yang cukup lama dan melebihi ketentuan masa penahanan yang telah termaktub dalam KUHP. Terlebih akan berpotensi tinggi adanya penyiksaan terhadap tersangka, penyalahgunaan wewenang dan pengabaian hak tahanan selama proses penahanan. Hak asasi manusia yang akan lebih banyak dilanggar dan juga kewenangan tersebut bersebrangan dengan asas accusatoir yang dalam hal ini mengenal prinsip paduga tak bersalah (presumption of innocent).

 

Terkait hal itu, Andri Gunawan S. tenaga ahli anggota Komisi III DPR Fraksi PPP Arsul Sani, menjelaskan bahwa hal tersebut dilakukan karena aparat menggunakan asas kehati-hatian dalam menyelesaikan perkara pidana terorisme dan ada juga regulasi yang rumit yang harus dilewati dalam mengusut perkara ini.

 

“Ada permintaan dari katakanlah densus atau penuntut umum. Ketika kasus yang mereka tangani ialah kasus lintas negara mereka harus koordinasi dengan kemenhub dan lembaga-lembaga lain, sehingga di tahap itu mereka harus menghadapi birokrasi yang sangat sulit untuk dipecahkan dalam waktu yang singkat,” ujarnya.

 

Andri mengatakan perpanjangan masa penahanan dapat dilakukan dengan cara melakukan permohonan, tapi tidak bisa serta merta penyidik langsung minta ke penuntut umum untuk diperpanjang. Jadi, kata Andri, mekanisme check and balances mulai diterapkan ketika penyidik ingin meminta perpanjangan masa penahanan.

 

“Dia harus minta izin dulu ke penuntut umum dan seterusnya, ketika penuntut umum ingin mengajukan perpanjangan maka harus minta izin ke pengadilan,” tuturnya.

 

Menurut Andri, hal ini merupakan mekanisme check and balances yang ingin dibangun dalam Revisi UU Anti Terorisme ini. Selain itu, ada satu klausul pasal yang menegaskan bahwa penahanan yang di lakukan harus dilindungi oleh prinsip HAM, baik itu penahanan maupun penangkapan.

 

“Dalam draft awal tidak ada penegasan seperti itu, sehingga dengan adanya RUU ini diharapkan dapat jadi penekanan bagi penegak hukum dalam penerapan RUU ini nantinya.” kata Andri.

 

Ketiga, potensi masalah ada pada ketentuan mengenai penyadapan yang diatur Pasal 31 dan Pasal 31A. Pasal 31 menyatakan, setelah penyidik mengantongi bukti permulaan, penyidik dapat melakukan penyadapan terhadap terduga teroris.

 

(Baca Juga: Melirik Kompensasi, Bantuan Medis dan Rehabilitasi Korban dalam UU Anti Terorisme)

 

Menurut Erwin, yang membedakan pasal ini dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan sebelumnya terdapat pada Pasal 31 ayat (2), di mana tindakan penyadapan ini dapat dilakukan oleh penyidik ketika penyidik mendapatkan izin dari ketua pengadilan melalui ketetapannya yang dalam peraturan sebelumnya ini tidak diatur dan dapat menyebabkan kesewenangan penyidik dalam melakukan penyadapan.

 

Menurut Andri, justru yang dapat menjadi potensi masalah dari pasal penyadapan ini adalah tidak diaturnya jangka waktu penyadapan. Apabila penyadapan tidak memiliki batas waktu akan merugikan terduga teroris karena melanggar privasi dan Hak Asasi Manusia.

 

“Penyadapan tersebut ada batas waktunya, jadi kalau masa penyadapannya habis ia harus mengajukan lagi, cuma ini klausula yang pengaturannya tidak diatur dalam revisi undang-undang ini, jadi kalau kita telusur dapat diambil kesimpulan bahwa penegak hukum tidak bisa semena-mena melakukan penyadapan sebelum mendapat izin dari ketua PN. Ini yang menjadi perjuangan juga dari dpr untuk adanya check and balances dalam hal penyadapan,” kata Andri.

 

Erwin menambahkan soal ketentuan mengenai penyadapan yang tertuang didalam Revisi UU Anti Terorisme tersebut. “Dalam masalah penyadapan terlebih dalam pasal 31A yang menyantumkan adanya keadaan yang mendesak, saya pikir seharusnya diperjelas lagi dalam penjelasannya atau penggunaan frasanya, karena tidak faham definisi mendesak yang seperti apa dan dalam kondisi bagaimana hal tersebut dikatakan mendesak ? Sehingga saya rasa itu harus diuji lagi konstitusionalnya,” ujar Erwin.

 

Keempat, potensi masalah ada di Pasal 12A dan Pasal 12B mengenai setiap orang atau kelompok yang merekrut, menggrerakan, merencanakan atau mengorganisasikan baik menjadi anggota, pemimpin, pengurus, pendiri, atau orang yang mengendalikan suatu kegiatan yang sengaja maupun tidak sengaja untuk sebuah tindak pidana terorisme dapat dijerat hukum dengan undang-undang ini.

 

Menurut Erwin, hal ini berpotensi menimbulkan masalah ketika ada orang yang terafiliasi dengan anggota yang temasuk dalam organisasi tersebut. “Nantinya juga dapat di jerat dengan undang-undang ini, sehingga melanggar hak konstitusional,” ujarnya.

 

Kelima, potensi masalah lainnya mengenai keterlibatan TNI yang diatur dalam Pasal 43I. Pasal ini masih menimbulkan pro kontra di mana ada yang beranggapan hal ini dapat berbahaya dan ada juga yang beranggapan hal tersebut malah menguntungkan dan mempermudah dalam proses penanggulangan pada saat terjadinya aksi terorisme. Adanya keterlibatan TNI dalam Revisi UU Anti Terorisme ini, menurut Erwin, lagi-lagi dapat melanggar hak konstitusional dan melanggar HAM.

 

Tanggapan berbeda datang dari Amal Ihsan, Redaktur Pelaksana D-Inside. Amal melihat keterlibatan TNI ini akan menguntungkan pada saat terjadinya aksi teror bom. Menurutnya, TNI dapat turut membantu.

 

“Lihat saja ketika para teroris itu memiliki bom dan senapan laras panjang dengan kekuatan tinggi sedangkan polisi dengan pistolnya akan memakan waktu lama, namun dengan hadirnya TNI menurut saya akan membantu dan menyeimbangkan hal tersebut dengan kelengkapan alat yang dimilikinya dibantu dengan densus dan jajarannya,” ujar Amal.

 

Keenam, masalah juga dapat dilihat dari pasal 13A di mana berpotensi melanggar kebebasan berekspresi. Dalam definisinya “setiap orang yang memiliki hubungan dengan organisasi terorisme dan dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau penampilan dengan tujuan untuk menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat mengakibatkan tindak pidana terorisme; dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun”.

 

Erwin mempertanyakan mengenai makna hubungan yang dimaksud. Menurutnya, Pasal 13A memiliki definisi yang sangat luas. Adanya kalimat setiap orang yang memiliki hubungan dengan organisasi terorisme dalam pasal tersebut sehingga memunculkan pertanyaan, hubungan yang seperti apa? apakah satu rumah, satu masjid atau hubungan yang seperti apa? hal tersebut membuat bingung.

 

“Menjadikan orang-orang yang hanya memiliki hubungan dengan individunya saja bisa di tangkap nantinya,” ujar Erwin.

 

Tags:

Berita Terkait