Revisi PP PKWT Perlu Batasi Jenis Pekerjaan Outsourcing
Terbaru

Revisi PP PKWT Perlu Batasi Jenis Pekerjaan Outsourcing

Jenis pekerjaan yang bisa menggunakan mekanisme outsourcing harus dibatasi menjadi 5 jenis seperti yang diatur dalam Permenakertrans 19/2012.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Pekerjaan rumah pemerintah setelah terbit UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UU salah satunya merevisi peraturan pemerintah (PP) dari UU No.11 Tahun 2020. Dari berbagai peraturan pelaksana yang perlu direvisi antara lain PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PKWT-PHK), dan PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Dalam UU 6/2023 mengubah sebagian ketentuan yang mengatur tentang alih daya atau outsourcing. Misalnya, Pasal 64 UU 6/2023 mengatur perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian outsourcing secara tertulis. Kemudian pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan itu. Sebelumnya, UU 11/2020 menghapus ketentuan alih daya dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang membatasi jenis pekerjaan alih daya.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar mengusulkan pemerintah agar mengatur kembali pembatasan jenis pekerjaan yang bisa menggunakan mekanisme alih daya. Pembatasan itu bisa dilakukan seperti yang pernah diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No.19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

Pasal 17 Permenakertrans 19/2012 membatasi 5 jenis pekerjaan outsourcing meliputi usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengamanan (security), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, dan usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.

“Soal outsourcing saya mendorong pemerintah mengatur 5 jenis pekerjaan yang bisa di outsourcing seperti Permenakertans No.19 Tahun 2012 yaitu hanya untuk 5 jenis pekerjaan,” katanya dikonfirmasi, Senin (28/08/2023).

Baca juga:

Tak hanya mengubah ketentuan outsourcing, Timboel mencatat UU 6/2023 mengubah sebagian ketentuan upah minimum. Seperti Pasal 88D ayat (2) yang mengatur formula penghitungan upah minimum mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.

Sebelumnya variabel yang menjadi pertimbangan hanya pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Oleh karena itu ketentuan upah minimum sebagaimana diatur PP 36/2021 perlu direvisi. Terutama yang mengatur tentang variabel yang menjadi pertimbangan formula penghitungan upah minimum. Revisi PP 35/2021 menurut Timboel juga perlu membenahi besaran kompensasi pesangon. Misalnya terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan pensiun, efisiensi, dan perusahaan pailit diubah besarannya menjadi 2 kali ketentuan pesangon.

Timboel mengusulkan kisaran indeks tertentu dalam formula kenaikan upah minimum berada dalam rentang 0,5-0,9. Selama ini PP 36/2021 mengatur indeks tersebut hanya 0,1-0,3 sehingga tidak memenuhi rasa keadilan bagi buruh. Upah minimum bagi usaha kecil dan mikro juga perlu dinaikan sebesar 0,7 dari upah minimum yang ditetapkan Gubernur.

Mantan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi B Sukamdani menilai pengaturan alih daya dalam UU 6/2023 secara umum mengalami kemunduran ketimbang UU 11/2020. Sebab UU 11/2020 yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK itu tidak membatasi jenis pekerjaan outsourcing. Sebaliknya, UU 6/2023 membatasi kembali jenis pekerjaan outsourcing.

“Outsourcing itu dihapus pasalnya melalui UU No.11 Tahun 2020 tapi di Perppu dan UU No.6 Tahun 2023 pasal itu dimuncullkan lagi. Tadinya kan sudah dilepas ke industri,” ujarnya.

Soal pengupahan, Hariyadi melihat potensi ketentuan yang berubah dalam revisi UU 36/2021 mengenai variabel forrmula penghitungan upah minimum yang tadinya hanya bersifat pilihan apakah itu pertumbuhan ekonomi atau inflasi tapi sekarang menjadi 3 variabel. Ketiga variabel yang menjadi acuan formula penghitungan upah minimum sebagaimana diatur UU 6/2023 tak lagi bersifat pilihan tapi akumulasi sehingga berpotensi menimbulkan masalah baru.

Sebelumnya, Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Kantor Staf Presiden (KSP), Edy Priyono, mengatakan substansi yang direvisi PP 35/2021 dan PP 36/2021 itu  melalui UU 6/2023.  Menurutnya, perubahan substansi antara lain soal upah minimum dan alih daya atau outsourcing. Edy mencatat Kementerian Ketenagakerjaan telah melakukan serap aspirasi ke berbagai provinsi di seluruh Indonesia. Ada beberapa lokasi lagi yang perlu disambangi untuk serap aspirasi dan setelah itu proses revisi bisa segera dituntaskan.

“Kemarin melakukan koordinasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan, intinya mereka sudah melakukan penjaringan aspirasi dan sudah tahap akhir,” ujarnya dalam sebuah diskusi daring.

Tags:

Berita Terkait