Revisi Perkuat Perlindungan Saksi Mahkota
Utama

Revisi Perkuat Perlindungan Saksi Mahkota

Ada 14 pasal yang sudah diidentifikasi untuk perubahan.

MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Kantor LPSK, Jakarta. Foto: SGP
Kantor LPSK, Jakarta. Foto: SGP
Terbitnya Surat Presiden 12 Februarilalu bukan hanya sebagai tanda persetujuan Presiden SBY atas revisi Undang-Undang  No. 13 Tahun 2006tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tetapi juga memberi harapan baru bagi saksi mahkota dalam suatu perkara. Sebab, salah satu materi perubahan yang diusulkan pemerintah adalah penguatan konsep perlindungan terhadap saksi mahkota.

Saksi mahkota adalah saksi yang juga menjadi tersangka/terdakwa dalam kasus yang sama. Dalam bahasa lain disebut justice collaborator. Penting untuk dijelaskan siapa saja yang masuk kategori ‘saksi yang juga tersangka/terdakwa dalam kasus yang sama’, sekaligus membedakan dengan whistleblower.

Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana berpendapat seorang terpidanapun bisa menjadi justice collaborator. Tetapi ada yang berpendapat pelaku utama kejahatan tak bisa dikualifikasi sebagai justice collaborator. “Karena itu perlu diperjelas saksi seperti apa yang dimaksud,” kata Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai.

Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006 menyebutkan seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan terhadapnya.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Hasto Atmojo S, memastikan ketentuan mengenai justice collaborator menjadi salah satu yang akan masuk dalam revisi. “Konsepsi dan substansinya diperjelas,” ujarnya.

Dalam praktek, mekanisme penentuan dan kualifikasi justice collaborator atau saksi mahkota masih menjadi perdebatan. Apalagi ada terdakwa yang meminta dijadikan justice collaborator. Sayangnya, selama ini UU No. 13 Tahun 2006 tak memberikan gambaran rinci tentang syarat, kualifikasi, dan mekanisme penentuan saksi mahkota tersebut.

Sekadar contoh, perlindungan yang diberikan menurut UU tersebut hanya berupa pengurangan hukuman. Ini berarti perlindungan kepada pelaku yang bekerjasama tidak mencakup perlindungan yang diatur dalam pasal 5 UU No. 13 Tahun 2006 seperti perlindungan atas keamanan pribadi dan anggota keluarga.

Anggota Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban, Tama S Langkun, memberi dukungan atas rencana penguatan perlindungan saksi mahkota. “Kami mendukung pengaturan yang lebih kuat perlindungan justice collaborator dan whistleblower masuk dalam revisi UU No. 13 Tahun 2006,” ujarnya.

Substansi lain
Selain materi tentang saksi mahkota, Hasto menyebut penguatan kelembagaan dan peran LSPK menjadi bagian dari rencana revisi. Berdasarkan kondisi selama LPSK berdiri (mulai 2008), ada ganjalan dalam hal operasionalisasi lembaga, terutama dari sisi kemandirian organisasi. LPSK masih dikualifikasi sebagai satuan kerja di bawah Sekretariat Negara, dan Sekretarisnya pun berstatus eselon dua. “Ini masalah serius dalam menjalankan roda organisasi,” kata pria lulusan sosiologi UGM Yogyakarta (1983) itu.

Mengenai peran LPSK dalam sistem peradilan pidana terintegrasi, Hasto berharap ada upaya peningkatan. Peningkatan dalam perlindungan penting agar saksi dan korban mendapat hak perlindungan secara maksimal, dan kerjasama dengan lembaga lain bisa lebih optimal. Sebab, perlindungan saksi dan korban bukan hanya wewenang penuh LPSK.

Usulan lain adalah tentang restitusi dan kompensasi korban. Memperjelas restitusi dan kompensasi lebih untuk memberikan kepastian hukum. Termasuk di dalamnya korban kejahatan terorisme dalam pemberian bantuan medis dan psikososial.

Total ada 14 pasal yang hendak direvisi. Antara lain pasal 1, pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 10, dan pasal 16. Bagian-bagian revisi itulah yang diharapkan bisa memperkuat kelembagaan LPSK, sekaligus memperkuat basis perlindungan kepada saksi dan korban.

Meskipun ada keinginan memperkuat perlindungan saksi mahkota, Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan LPSK tidak bisa mengintervensi proses hukum yang sedang berlangsung. LPSK bisa menyampaikan informasi perlindungan seorang saksi atau korban. Tetapi tidak bisa memaksa jaksa menurunkan tuntutan atau mendesak hakim membebaskan saksi mahkota yang menjadi terdakwa.
Tags:

Berita Terkait