Restrukturisasi Utang Lintas-Batas Perusahaan Indonesia dan Tantangannya Pasca COVID-19
Kolom

Restrukturisasi Utang Lintas-Batas Perusahaan Indonesia dan Tantangannya Pasca COVID-19

Krisis ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19 telah membuat persoalan restrukturisasi utang menjadi mengemuka di dunia hukum dan bisnis.

Bacaan 11 Menit

Butir praktis untuk obligasi internasional:

Dokumentasi obligasi hukum Inggris biasanya sudah berisi mekanisme cram-down dalam bentuk “klausul tindakan kolektif”. Klausul ini secara efektif mengijinkan mayoritas pemegang obligasi yang memenuhi kualifikasi untuk memberi kata sepakat atas suatu restrukturisasi utang yang mengikat berdasarkan hukum. Restrukturisasi ini selanjutnya diberlakukan untuk seluruh pemegang obligasi – bahkan mereka yang memberikan suara menentangnya. Namun, ambang ini biasanya cukup tinggi (75% atau 90%, tergantung pada subyek suara) dan tidak mudah dicapai. Hal ini terutama menjadi persoalan yang menyusahkan untuk obligasi yang ditempatkan berdasarkan indenture hukum New York yang diatur oleh Trust Indenture Act, karena mensyaratkan 100% persetujuan pemegang obligasi untuk perubahan materiil tertentu.

Apa yang tidak disadari oleh para debitur adalah bahwa mereka bisa saja menggunakan proses pengadilan di luar strict four corners dari dokumentasi pembiayaan mereka. Sebagai akibat dari persaingan antara yurisdiksi yang berbeda-beda yang menempatkan diri mereka sendiri sebagai penghubung untuk restrukturisasi utang, beberapa negara saat ini memiliki perundang-undangan dalam dokumen mereka yang memungkinkan pengadilan di dalam negeri mereka menggunakan yurisdiksi atas restrukturisasi utang lintas-batas berdasarkan atas kriteria yang luas.

Satu contoh baru-baru ini adalah pengakuan dari pengadilan Singapura atas proses hukum restrukturisasi-utang sehubungan dengan perusahaan Indonesia, MNC Investama, di mana pencatatan obligasi di bursa efek Singapura dianggap cukup sebagai nexus yurisdiksi. Terdapat juga preseden di Amerika Serikat untuk kas yang dibayar kepada para kuasa hukum di Amerika Serikat yang merupakan nexus yang cukup untuk penggunaan yurisdiksi oleh pengadilan Amerika Serikat (yang dikutip oleh Pengadilan Singapura dalam keputusan pengadilan atas MNC). Pengadilan Inggris juga biasanya mengambil pandangan yang luas atas penggunaan yurisdiksi mereka atas persoalan utang hukum Inggris oleh perusahaan asing untuk tunduk pada skema pengaturan.

Setelah debitur berhasil menetapkan yurisdiksi dengan pengadilan tertentu (dan terdapat nuansa tertentu yang perlu diperiksa secara seksama tergantung pada pengadilan tersebut dan/atau skema restrukturisasi utang yang bersangkutan), debitur dapat:

  • menggunakan ketentuan-ketentuan “class cram-down” yang tersedia dalam proses pengadilan di dalam negeri untuk secara efektif mendapatkan manfaat dari ambang pemberian suara yang lebih rendah dibandingkan dengan apa yang tersedia berdasarkan dokumentasi utangnya; dan
  • memperoleh moratorium terhadap tindakan kreditur untuk jangka waktu tertentu untuk membeli sendiri “breathing room” tertentu (meskipun, di beberapa yurisdiksi, pemberian moratorium tidak berlangsung dengan sendirinya dan pengadilan memiliki kebijaksanaan untuk memutuskan apakah akan memberikan moratorium serta mengenai lama moratorium tersebut).
  1. Lakukan “house-keeping” hukum internal Anda sebelum terlibat dalam restrukturisasi utang.

Para debitur Indonesia seringkali memulainya dengan menginginkan selesainya proses persetujuan berdasarkan konsensus (dan damai) dan tidak menyadari bahwa rencana mereka dapat terhalang akibat tindakan kreditur yang agresif dalam berbagai bentuk.

Menyusutnya economic pie secara keseluruhan yang tidak diharapkan telah memberikan tekanan yang tidak diharapkan atas beberapa pemberi pinjaman yang membuat mereka menempuh tindakan yang lebih agresif terhadap para peminjam yang cidera janji dibandingkan dengan yang seharusnya mereka lakukan dengan cara lain. Contohnya adalah kemungkinan digugat karena pelanggaran teknis terhadap dokumentasi keuangan atau gugatan yang didasarkan atas dasar gugatan hukum setempat (seringkali tidak penting). Oleh sebab itu, para debitur Indonesia harus mencurahkan waktu dan tenaga untuk melaksanakan “house-keeping” hukum internal dalam upaya mengidentifikasi setiap risiko hukum semaksimal mungkin dengan tujuan untuk menguranginya. Hal ini terutama sangat penting pada saat ini karena:

Tags:

Berita Terkait