​​​​​​​Restrukturisasi Utang, Upaya Menghindari Kebangkrutan Akibat Pandemi Oleh: Ricardo Simanjuntak*)
Kolom

​​​​​​​Restrukturisasi Utang, Upaya Menghindari Kebangkrutan Akibat Pandemi Oleh: Ricardo Simanjuntak*)

​​​​​​​Secara strategi, langkah restrukturisasi dalam masa Covid-19 ini dapat dilakukan dengan tiga cara.

Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Pandemi Covid-19 tidak hanya mengancam kehidupan manusia, tetapi juga  meluluhlantakkan aktivitas perekonomian dunia. Awalnya sekadar berita regional pertama kali diberitakan South China Morning Post pada 17 November 2019, Covid-19 dengan cepat telah menjadi pademi yang mencengkram dan menghantui lebih dari 200 negara di dunia, termasuk Indonesia. Tidak satu negara pun yang menyangka atau memiliki pengalaman tentang sejauh mana ‘akibat mematikan’ dan ‘daya tular’ dari virus Corona. Covid-19 benar-benar telah mengubah tatanan hidup normal manusia, tidak hanya dalam melakukan aktivitas bisnis, tetapi juga tatacara menjalankan ibadah agama, yang merupakan bagian yang paling hakiki dari kehidupan manusia.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang menjadi upaya Indonesia untuk menghambat penularan Covid-19, telah mengakibatkan pergerakan orang, barang dan jasa menjadi sangat terganggu dan bahkan menyebabkan rantai aktivitas perkonomian tertentu harus berhenti. Contohnya; semua komitmen pemesanan ruang hotel yang telah disepakati, baik secara langsung maupun melalui agen-agen perjalanan wisata, event organiser acara-acara seminar, atau resepsi perkawinan sebelum merebaknya Covid-19 praktis menjadi batal. Pembatalan tersebut tidak hanya telah mengakibatkan kerugian pada aktivitas bisnis parawisata, perhotelan dan MICE (Meeting,Incentive, Convention and Exibition), tetapi juga aktivitas bisnis pendukung lain, seperti transpotasi udara, laut dan darat, agen-agen perjalanan, restoran-restoran, food catering, gaya hidup, mode (fashion), pertunjukan, musik, termasuk para suplier dan pelaku jasa keuangan, perbankan atau non perbankan.

Keadaan tersebut menggambarkan kembali pada peristiwa kejatuhan perekonomian Indonesia yang pernah terjadi akibat dari krisis moneter tahun 1997 dan juga akibat dari krisis perekonomian global 2008. Krisis perekonomian telah meningkatkan ketidakmampuan atau kegagalan dari para pelaku usaha untuk memenuhi kewajiban yang telah disepakati bersama mitra bisnis. Semakin banyak pelaku usaha yang ‘menjerit’  dan bahkan `lempar handuk putih` karena tidak lagi sanggup untuk memenuhi kewajiban yang telah disepakatinya akibat PSBB. Potensi sengketa meningkat sangat cepat.

Contohnya: akibat dari kegagalan pabrikan untuk menyelesaikan pesanan yang telah dijanjikan, kegagalan developer untuk menyerahkan unit perumahan, perkantoran atau apartemen yang telah dijanjikan kepada konsumen, kegagalan pengusaha hotel untuk membayar cicilan atau pokok utangnya kepada bank atau perusahaan pembiayaan lain, kegagalan perusahaan pertambangan memenuhi target produksi atas kejatuhan harga batubara dunia, dan ketidakmampuan untuk membayar cicilan sewa guna usaha (leasing) barang modal yang digunakannya, kegagalan dari pelaku usaha kecil dan menengah untuk membayar utang-utangnya kepada pihak perbankan atau perusahaan pembiayaan yang telah memberikan fasilitas pinjaman atau pembiayaan kepadanya.

Pandemi Covid-19 dan Doktrin Force Majeure

Fakta kegagalan pelaku usaha untuk melaksanakan kewajiban atau utangnya tersebut, oleh banyak ahli hukum, didalilkan tidak seharusnya dibebankan sebagai kesalahan dari pelaku usaha, karena ketidakmampuan itu bukanlah akibat dari kesalahannya, tetapi akibat dari halangan yang bersifat memaksa atau force majeure. Force Majeure atau overmacht adalah doktrin ‘pengecualian pertangungjawaban ganti rugi’, yang dikenal dalam sistem hukum Civil Law (pada sistem Common Law sebagai the Doctrines of Frustration atau the Doctrine of Impossibility of Performance), terhadap pihak berkontrak yang tidak mampu melaksanakan kewajibannya, sepanjang dapat dibuktikan bahwa ketidakmampuan tersebut terjadi akibat dari: 1). Halangan ekternal (act of God, act of human) yang tidak pernah diketahui kapan terjadi, 2). Pihak yang tidak mampu tersebut tidak dapat dipersalahkan (tidak mempunyai contributory fault) terhadap dasar terjadinya peristiwa force majeure tersebut, 3). Pihak pelaku usaha telah berupaya untuk mengatasi halangan tersebut akan tetapi tidak berhasil.

Force majeure dalam Hukum Indonesia  diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata yang Pasal 1245 KUH Perdata, dikutip sebagai berikut: “Tidaklah biaya, rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantara suatu kejadian tak disengaja diberutang berhalangan memberikan atau berbuatsesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan terlarang”. Kedua pasal tersebut di atas menegaskan bahwa doktrin force majeure berlaku demi hukum (by laws), walaupun para pihak berkontrak tidak mencantumkannya dalam perjanjian.

Sehubungan dengan angka 1 dan angka 2 tersebut di atas, Penulis berpandangan bahwa Pademi Covid-19 secara teori telah memenuhi persyaratan sebagai halangan yang bersifat  force majeure, dengan dengan alasan-alasan; 1). Covid -19 telah dinyatakan WHO sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020, 2). Presiden telah menetapkan Covid 19 sebagai darurat Bencana (non alam) Nasional berdasarkan Kepres No. 12 Tahun 2020 pada 13 April 2020, 3). Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB pada 31 Maret 2020.  Artinya, sikap WHO yang menyatakan bahwa Covid-19 sebagai pandemi global, dan Keputusan Presiden Indonesia yang juga telah menyatakan bahwa Covid-19 sebagai status darurat bencana non alam yang bersifat nasional, sehingga menjadi dasar dari diberlakukannya PSBB, telah cukup sebagai dasar bukti untuk mengkategorikan Covid-19 sebagai halangan Pandemi yang bersifat force majeure yang dasar dan waktu kehadirannya tidak dapat diduga oleh siapapun.

Sikap Pemerintah seperti tersebut di atas tidak hadir ketika  Krisis Moneter 1997 (Krismon) dan Krisis Global 2008 (Krisbal) melanda Indonesia. Walaupun Krismon dan Krisbal tersebut telah menimbulkan akibat yang super berat terhadap perekonomian Indonesia ketika itu, dasar pembelaan debitur melalui doktrin  force majeure tidak cukup kuat, karena Pemerintah Indonesia tidak pernah mendeklarasikan keadaan darurat perekonomian akibat Krismon atau Krisbal. Selain itu, bila mendasarkan pada ilustrasi Pasal 7.1.7 dari The Principles of International Commercial Contracts, digambarkan bahwa kenaikan harga objek jual beli  akibat dari kejatuhan nilai tukar, tidak dapat dikategorikan sebagai halangan memaksa force majeure, karena risiko kenaikan harga jual beli akibat kejatuhan nilai tukar mata uang merupakan risiko yang menjadi tanggungan para pihak berbisnis, yang seharusnya telah diperhitungkan ketika menyepakati kontrak.

Dasar pertimbangan yang sama juga menjadi dasar putusan Mahkamah Agung No.3087K/Pdt.2001 yang menolak Krismon sebagai dasar dari keberlakuan force majeure, karena kenaikan harga akibat dari pelemahan Rupiah terhadap US Dollar adalah risiko yang harus ditanggung oleh developer dalam menyelesaikan pembangunan apartemen yang dijanjikannya tepat waktu. (Baca: Perbankan Awasi ‘Penumpang Gelap’ dalam Restrukturisasi Utang)

Lebih jauh, walaupun pandemi Covid-19  dapat dijadikan sebagai dasar keberlakuan doktrin force majeure, haruslah terlebih dahulu dipastikan bahwa ‘halangan memaksa’ yang mengakibatkan ketidakmampuan pelaku usaha untuk melaksanakan prestasi yang dijanjikannya, secara langsung memang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Doktrin force majeure tidak dapat digunakan jika kegagalan berprestasi tersebut tidak berhubungan dengan Covid-19. Misalnya: terbukti bahwa pelaku usaha tersebut ternyata telah wanprestasi sebelum Covid-19 terjadi, atau ketidakmampuan debitur untuk membayar utangnya ternyata akibat dari tindakan penyalahgunaan dana pinjaman (loan) yang diperolehnya. Contoh ketidakmampuan melaksanakan prestasi tersebut tidak disebabkan oleh Covid-19.  

Pertimbangan hukum yang sama telah menjadi dasar penolakan MA dalam putusan Pengadilan Niaga No. 835K/Pdt.Sus/2012, yang menyatakan bahwa ketidakmampuan dari pengembang untuk menyerahkan unit apartemen sesuai dengan yang dijanjikannya dalam perjanjian, bukan diakibatkan oleh Krismon yang melanda Indonesia, akan tetapi akibat keteledoran dari pengembang yang tidak menyelesaikan permasalahan ijin lingkungan dan keamanan pada area pembangunan apartemen sejak awal, yang mengakibatkan penduduk sekitar yang merasa terganggu terus berdemonstrasi dan memblokade pembangunan apartemen tersebut.

Selain itu, harus pula dibuktikan apakah sifat ‘halangan  memaksa’ yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 adalah bersifat permanen atau bersifat sementara. Menurut Prof. Subekti (Hukum Perjanjian 2005), force majeure yang bersifat permanen akan mengakibatkan musnahnya objek perjanjian, sehingga dapat menimbulkan akibat pembatalan perjanjian tanpa harus membebankan akibat ganti rugi pada masing-masing pihak berkontrak. Sedangkan bila bersifat temporer, memungkinkan untuk dilakukan mitigasi potensi kerugian akibat pembatalan kontrak, melalui langkah rescheduling atau restructuring dari perjanjian tersebut.

Untuk beberapa hubungan hukum yang bersifat jangka pendek, misalnya kesepakatan penggunaan transportasi udara, laut atau darat, pemerintah misalnya, berdasarkan Permenhub No.25 Tahun 2020 telah membuka opsi pengembalian harga tiket akibat dari pembatalan jadwal penerbangan sebagai akibat pelaksanaan PSBB, apabila calon penumpang tidak bersedia untuk mereschedule penerbangan tersebut, misalnya atas alasan bahwa peristiwa yang mendasari penggunaan alat transpotasi tersebut sudah selesai atau tidak mungkin untuk ditunda atau diulang, misalnya; penerbangan yang dilakukan untuk mengunjungi acara pemberkatan pernikahan.

Secara khusus, berdasarkan Peraturan OJK No. 11 Tahun 2020 pemerintah juga telah membuka kesempatan bagi pelaku-pelaku usaha kecil dan menengah untuk mendapatkan kesempatan untuk merestrukturisasi utangnya kepada pihak perbankan atau perusahaan pembiayaan tempatnya meminjam atau memperoleh fasilitas, dengan alasan dengan kewajiban pembuktian bahwa ketidakmampuannya untuk menjalankan kewajiban pembayaran cicilan utang memang disebabkan oleh Pandemi Covid-19. (Baca: Masih Ada Multitafsir Restrukturisasi Utang Bagi Debitur Terdampak Covid-19)

Restrukturisasi Utang Untuk Hindari Kebangkrutan

Walaupun Pandemi Covid-19 secara umum telah mengakibatkan kejatuhan aktivitas perekonomian yang sangat berat seperti yang telah diuraikan tersebut di atas, akan tetapi harapan dan semangat untuk menuju pada kesembuhan kembali adalah sangat beralasan dan akan terus menjadi ikthiar bersama Indonesia dan dunia, yang sedang ‘berjibaku’ untuk mengakhiri cengkraman maut dari pandemi Covid-19. Aktivitas kehidupan dan bisnis diyakini akan secara bertahap dikembalikan kepada wujudnya walaupun harus melalui protokol kesehatan yang menciptakan suatu normalitas kehidupan baru (New Normal), hingga pada ditemukan dan digunakannya vaksin anti Covid-19.

Dengan dasar berpikir dan ikhtiar bersama tersebut, maka ‘halangan memaksa’ pandemi Covid-19 yang bersifat sementara seharusnya lebih membuka harapan dan strategi mitigasi risiko bisnis, melalui langkah restrukturisasi. Harapan tersebut tidak hanya terhadap debitur yang sedang mengalami kesulitan keuangan yang berat (severe financial problem), tetapi juga terhadap para kreditur, atau terhadap para pelaku usaha yang sedang cemas menunggu atau mengharapkan pelaksanaan prestasi dari mitra bisnisnya. Dengan kalimat lain bahwa sebagai ketidakmampuan berprestasi yang bersifat temporer, lebih memberikan asa positif terhadap para kreditur untuk mempertimbangkan pemberian kesempatan me-reschedule atau merestrukturisasi utang dari masing-masing debitur mereka, daripada harus mempailitkan atau membubarkan debitur tersebut dengan rasio likuidasi harta yang sangat minim untuk membayar utang-utangnya.

Sebaliknya, para debitur yang saat ini benar-benar mengalami kesulitan untuk menyelesaikan kewajiban atau utangnya kepada krediturnya, akan tetapi masih meyakini bahwa sifat temporer dari pandemi Covid-19 ini akan memberi peluang bagi debitur tersebut untuk kembali menyehatkan status keuangan dari perusahaannya, haruslah secara aktif untuk mempersiapkan pola dan gambaran usulan rescheduling atau restrukturisasi bisnis yang akan ditawarkan dengan niat baik (good faith) kepada krediturnya. Debitur tersebut harus siap dan berupaya untuk membujuk atau memohon dukungan dari kreditur atau para krediturnya, untuk menghindari langkah hukum dari para kreditur tersebut, termasuk melalui pengajuan permohonan pernyataan pailit.  

Secara teori, restrukturisasi merupakan suatu langkah penyelesaian ‘potensi sengketa’ atau ‘sengketa yang telah timbul’  baik yang telah berada di pengadilan atau masih di luar pengadilan, yang dilakukan secara kekeluargaan atau bisnis to bisnis melalui suatu konsep dan konstruksi langkah ‘penyehatan terstruktur’ yang disepakati bersama, sebagai  dasar perubahan terhadap kesepakatan berbisnis terdahulu, berdasarkan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata dan Pasal 1855 KUH Perdata, jo. Pasal 1858 KUH Perdata. Secara strategi, langkah restrukturisasi dalam masa Covid-19 ini dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu; 1). Melalui strategi pendekatan Business to business, langsung dengan kreditur yang bersangkutan, 2). Melalui fasilitas yang diberikan pemerintah  melalui Peraturan OJK No.11 Tahun 2020, 3). Melalui Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang  (UU Kepailitan).

Langkah restrukturisasi melalui strategi pendekatan business to business, bersifat lebih langsung dan informal antara debitur dan krediturnya. Walaupun dalam praktik langkah restruktusasi ini dilakukan lebih pribadi dengan hasil yang lebih cepat, tetapi dalam keadaan tertentu, sering tidak mudah dan tidak pasti. Khususnya bila kreditur tersebut datang dari perusahaan berbasis kepemilikan asing, atau berbasis kepemilikan negara atau persero, yang memiliki kebijakan restrukturisasi internal yang sering tidak mudah untuk dipenuhi oleh debitur.

Demikian pula ketika melibatkan banyak jumlah kreditur. Debitur harus memastikan pendekatannya terhadap seluruh jenis krediturnya berhasil. Jika ada satu saja cari para kreditur tersebut menolak usulan restrukturisasi yang diajukan, akan berpotensi tidak amannya pelaksanaan proposal restrukturisasi yang telah berhasil dicapai dengan kreditur lainnya. Debitur yang menolak usulan restrukturisasi dapat tetap melakukan tindakan eksekusi jaminan kebendaan, atau mengajukan gugatan hukum, termasuk permohonan pernyataan pailit melalui Pengadilan Niaga.

Seperti yang telah diuraikan di atas, walau alternatif untuk merestrukturisasi utang terbuka berdasarkan Peraturan OJK No. 11 Tahun 2020, akan tetapi kesempatan restrukturisasi tersebut hanya terbatas pada debitur-debitur pelaku usaha kecil dan menengah yang mengalami ketidakmampuan sementara akibat dari Covid-19, yang plafondnya terbatas hingga Rp10 miliar. Artinya fasilitas tersebut tidak dapat digunakan oleh semua jenis kreditur. Jikapun dapat, tetap saja mekanisme penyelesaiannya akan dilakukan secara one to one dalam hal debitur memiliki lebih dari satu kreditur.

Revisi UU Kepailitan, sebagai upaya untuk untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia dari keterpurukan Krismon tahun 1998, menekankan tentang pentingnya langkah restrukturisasi sebagai upaya penyelamatan debitur (debtors rescue) yang masih layak untuk diselamatkan. Walaupun fasilitas  restrukturisasi utang tidak sebanyak yang dimiliki oleh Hukum Kepailitan Singapura atau negara-negara Common Law lainnya, UU  Kepailitan menyediakan dua cara bagi debitur untuk dapat mengajukan  permohonan  restrukturisasi, yaitu; 1). melalui permohonan PKPU berdasarkan Pasal 222 UU Kepailitan,  atau, 2). melalui pengajuan usulan perdamaian setelah debitur dinyatakan pailit berdasarkan Pasal 144 Undang-undang yang sama.

Selanjutnya, langkah pengajuan permohonan restrukturisasi utang melalui PKPU dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu; 1). Debitur dapat mengajukan permohonan PKPU terhadap dirinya sendiri secara  sukarela (voluntary PKPU) berdasarkan Pasal 222 Ayat (1) UU Kepailitan, atau, 2). Mengajukan PKPU sebagai reaksi terhadap pengajuan permohonan pailit yang diajukan oleh krediturnya berdasarkan Pasal 229 ayat (3), atau 3). Pengajuan permohonan PKPU oleh kreditur terhadap debitur tersebut berdasarkan Pasal 222 ayat (3) UU Kepailitan.

Berbeda dengan kedua strategi restrukturisasi berbasis business to business yang dijelaskan sebelumnya di atas, pemohonan restrukturisasi utang melalui PKPU secara otomatis berpengaruh terhadap hak tagih dari seluruh kreditur yang dimiliki oleh  debitur pemohon PKPU. Artinya, ketika permohonan PKPU yang diajukan debitur diterima  Pengadilan Niaga, maka suka atau tidak suka, seluruh kreditur yang ada tidak lagi dapat melakukan penagihan utang, mengajukan gugatan perdata, tindakan eksekusi, termasuk eksekusi jaminan kebendaan oleh kreditur separatis, selama maksimum 270 hari atau selama masa PKPU. Artinya, secara hukum, langkah untuk melakukan restrukturisasi utang dilakukan bersama-sama (collective restructuring) dengan seluruh kreditur yang telah mendaftar tepat waktu dan membuktikan keabsahan piutangnya.

Karena langkah restrukturisasi melalui UU Kepailitan berakibat collective restructuring, maka hasil dari dukungan mayoritas kreditur melalui pemungutan suara (voting) akan mengikat seluruh kreditur baik yang menolak dalam voting atau yang tidak mendaftarkan tagihan, atau tidak memberikan suara dalam rapat pemungutan suara tersebut berdasarkan Pasal 286 dan Pasal 162 UU Kepailitan,  kecuali terhadap kreditur separatis yang menolak kesepakatan restrukturisasi utang tersebut.

Memang, tidak dipungkiri bahwa pengajuan proposal restrukturisasi melalui mekanisme UU Kepailitan, dapat mengakibatkan deklarasi insolvent oleh Pengadilan Niaga, apabila permohonan restrukturisasi tersebut ditolak oleh mayoritas krediturnya. Akan tetapi, konsekuensi yang sama juga akan terjadi jika mekanisme penyelesaian atas fakta ketidakmampuan debitur untuk melunasi utang-utangnya terhadap krediturnya diselesaikan diluar mekanisme yang disediakan oleh UU Kepailitan, karena fakta ketidakmampuan tersebut akan memicu langkah hukum yang tidak berhenti dari berbagai kreditur yang dimilikinya, termasuk langkah eksekusi jaminan kebendaan yang dimiliki kreditur separatis, yang akan mengakibatkan ketergangguan aktivitas bisnis yang lebih dalam dan memburuk lagi bagi debitur tersebut.

Tidak dipungkiri bahwa walau dalam masa waktu 20 tahun implementasi reformasi UU Kepailitan  Indonesia, masih sangat diperlukan perbaikan-perbaikan, khususnya terhadap peningkatan jumlah fasilitas dan mekanisme restrukturisasi utang melalui UU No. 37 Tahun 2004 yang dapat menjamin kepastian kualitas, trasparansi objektivitas dan mekanisme pelaksanaan, kejujuran dan kepastian hukum, akan tetapi hingga saat ini bagi debitur-debitur yang memang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajibannya (melunasi utang-utangnya) saat ini, baik atas alasan Covid-19 atau tidak, akan tetapi meyakini bahwa ketidakmampuan tersebut sebenarnya hanyalah bersifat temporer (temporary shortage of cash flow to pay debts), maka cara yang lebih efektif dalam menghadapi jumlah kreditur yang banyak adalah dengan menggunakan fasilitas restrukturisasi yang disediakan oleh UU No. 37 tahun 2004. Demikian pula halnya bagi kreditur agar sebaiknya mempertimbangkan langkah restrukturisasi utang sebagai alternatif untuk mendapatkan pembayaran piutang pada jumlah yang lebih baik.

*)Dr. Ricardo Simanjuntak, SH.LL.M,ANZIIF.MCIArb, Wakil Ketua Umum PERADI dan Ketua Dewan Sertifikasi AKPI

Catatan Redaksi:

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan bagian dari Kolom 20 Tokoh menyambut Ulang Tahun Hukumonline yang ke-20.

Tags:

Berita Terkait