Restrukturisasi dan Insolvensi Jalan Penyelamat Dunia Usaha Saat Pandemi Covid-19
Utama

Restrukturisasi dan Insolvensi Jalan Penyelamat Dunia Usaha Saat Pandemi Covid-19

Kondisi keuangan global tertekan seperti saat ini menyebabkan angka restrukturisasi dan insolvensi meningkat pesat. Pelaku usaha perlu mewaspadai kondisi dan berbagai risiko pasar.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Pandemi Covid-19 berdampak besar terhadap kegiatan usaha secara global termasuk Indonesia. Kasus-kasus gagal bayar utang pelaku usaha kepada kreditur diperkirakan meningkat akibat pandemi Covid-19. Penyelesaian utang debitur tersebut dapat dilakukan melalui restrukturisasi hingga insolvensi melalui pengadilan.

Melihat kondisi tersebut, Asosiasi Praktisi Restrukturisasi dan Insolvensi Asia-Pasifik (APRIA) bersama Budidjaja International Lawyers, Oon & Bazul LLP, Singapore, and AJ Capital Advisory menyelenggarakan seminar daring bertajuk “Restructuring and Insolvency in Indonesia and Singapore-Solution for Business amidst Global Crisis” pada Jumat (26/3). Acara tersebut membahas mekanisme restrukturisasi dan insolvensi agar menjadi solusi bagi bisnis lintas yurisdiksi untuk bertahan dari krisis global dari perspektif hukum dan bisnis.

Dalam acara tersebut, Ketua Dewan Penasehat APRIA dan Managing Partner of Budidjaja Internasional Lawyers, Tony Budidjaja, menyampaikan pandemi Covid-19 menjadi tantangan baru bagi para debitur dan kreditur. Dia menjelaskan meski terdapat berbagai regulasi pemerintah, tidak hanya Indonesia tapi juga kawasan Asia-Pasifik untuk merelaksasi dunia bisnis, namun belum mampu mendorong pemulihan perekonomian secara signifikan.

“Saat krisis global terus melanda ekonomi karena pandemi Covid-19, banyak bisnis dan pemberi pinjaman harus menanggapi secara proaktif yang baru dan menantang suasana bisnis. Bahkan pemerintah dari kawasan Asia-Pasifik berusaha memberikan solusi bagi pelaku usaha yang kesulitan melalui perubahan hukum dan peraturan masing-masing. Meskipun membantu, sayangnya, segelintir tindakan tersebut masih belum efektif dan berhasil sebagian besar gagal dalam memberikan dukungan ke sektor-sektor yang sangat terpengaruh oleh pandemi,” jelas Tony.

Dia melanjutkan saat kondisi keuangan global tertekan seperti ini menyebabkan angka restrukturisasi dan insolvensi meningkat pesat. Sehingga, dia mengingatkan agar pelaku usaha mewaspadai kondisi dan berbagai risiko pasar. Selain itu, dia juga menyampaikan pelaku usaha juga harus siap menghadapi kondisi saat peran pemerintah yang tidak lagi signifikan membantu pemulihan melalui kebijakan seiring pemulihan ekonomi.

“Saat ekonomi bergerak melambat turun selama pandemi, aktivitas berhubungan restrukturisasi dan insolvensi diperkirakan meningkat. Ketika dunia bisnis menyesuaikan dengan kondisi baru ini, sistem perdagangan dan perubahan kebiasan konsumen serta pengeluarannya, pemerintah perlahan-lahan akan menarik diri dalam pemulihan tersebut,” tambah Tony. (Baca: Memahami Seluk Beluk Proposal Perdamaian dalam PKPU dan Pailit)

Sementara itu, Hakim Agung Mahkamah Agung dan Ketua Kelompok Kerja Ease of Doing Business MA RI, Syamsul Ma’arif, menyampaikan pandemi Covid-19 memberi kesempatan bagi Indonesia untuk memperbaiki regulasi mengenai restrukturisasi dan insolvensi. Menurutnya, melalui perbaikan aturan tersebut dapat membantu pemulihan ekonomi. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi saat pandemi Covid-19 justru tercatat negatif dan pemulihannya masih bergerak lambat.

Selain itu, dia juga menyampaikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah mengeluarkan rangkaian kebijakan untuk mengantisipasi krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. Kebijakan antisipatif tersebut antara lain POJK 11 Tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Covid-19. Perlu diketahu, aturan tersebut memberi relaksasi restrukturisasi utang debitur terdampak Covid-19.

Dia juga menyampaikan berdasarkan data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) terdapat peningkatan permohonan PKPU pada berbagai pengadilan niaga di berbagai kota seperti Jakarta Pusat, Surabaya dan Semarang. Meski demikian, kondisi saat ini masih dalam keadaan stabil jika melihat jumlah perkara beberapa tahun terakhir.

Sementara itu, Partner Budidjaja International Lawyers dan Executive Director APRIA, Narada Kumara yang menjadi pemateri dalam acara ini menjelaskan tentang mekanisme restrukturisasi dan insolvensi yang tersedia menurut hukum Indonesia. Terdapat dua cara yaitu out of court atau di luar pengadilan dan jalur pengadilan seperti permohonan PKPU dan kepailitan. Narada juga menyampaikan mekanisme PKPU pada yurisdiksi lain.

Dalam paparannya, Narada menyampaikan PKPU dari persepktif kreditur memiliki potensi pengembalian dana dan kepastian. Kemudian, dia juga menyampaikan PKPU menjadi alat litigasi untuk menagih utang kepada debitur.

Sementara itu, dari perspektif debitur PKPU dapat mempertahankan kelangsungan usaha dan memiliki waktu dalam moratorium utang luar negeri. Lalu, PKPU juga dapat menghindari penyitaan aset dan fleksibilitas. Di sisi lain, PKPU juga memiliki tantangan yaitu batas waktu 270 hari yang menentukan nasib para pihak, biaya pengurus PKPU relatif tinggi.

Partner AJCapital Advisory Singapore, Luke Furler, menyampaikan praktik PKPU di Singapura. Dia menjelaskan Singapura menawarkan yurisdiksi yang sudah dikenal dan nyaman bagi pemberi pinjaman karena tidak memerlukan izin. Kemudian, terdapat tren peningkatan menggunakan Singapura sebagai yurisdiksi restrukturisasi yang memberi kenyamanan bagi kelompok kreditor.

Partner AJCapital Advisory Singapore, Luke Furler, menyampaikan praktik PKPU di Singapura. Dia menjelaskan Singapura menawarkan yurisdiksi yang sudah dikenal dan nyaman bagi pemberi pinjaman karena tidak memerlukan izin. Kemudian, terdapat tren peningkatan menggunakan Singapura sebagai yurisdiksi restrukturisasi yang memberi kenyamanan bagi kelompok kreditur.

Luke juga menyampaikan Singapura memiliki Debtor in Possession (DIP) Financing atau pendanaan untuk perusahaan dalam fasilitas restrukturisasi. Meskipun DIP Financing disediakan di bawah PKPU, namun pendanaan tersebut menarik minat bagi pemberi pinjaman.

Sehubungan dengan moratorium, Luke menyampaikan rezim Singapura memberikan waktu bagi debitur untuk bernegosiasi dengan pemangku kepentingan selama 270 hari yang diizinkan dalam PKPU. Waktu tersebut dapat digunakan untuk bernegosiasi di seluruh struktur pinjaman yang kompleks dan memberi kesempatan mempersiapkan proses penyelesaian yang diperlukan.

Tags:

Berita Terkait