Restorative Justice Perkara Korupsi Minor Dinilai Bertentangan dengan UU Pemberantasan Tipikor
Terbaru

Restorative Justice Perkara Korupsi Minor Dinilai Bertentangan dengan UU Pemberantasan Tipikor

Karena pengembalian kerugian keuangan negara tidak serta merta menghapus dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

“Khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Pasal 2 hukuman yang diperuntukkan kepada masyarakat minimal hukuman 4 thn. Sedangkan Pasal 3 untuk pejabat, minimal hukuman 1 tahun,” kata dia.

Mantan Direktur Eksekutif Imparsial itu berpandangan konsep restorative justice diterapkan dalam kasus korupsi tidaklah tepat, bahkan keliru. Sebab, restorative justice menitikberatkan pada korban. Nah dalam konteks korban dalam kasus korupsi tak hanya negara akibat kerugian negara secara ekonomi yang digerogoti, tapi masyarakat luas secara langsung.

Baginya, dengan tidak menghukum pelaku korupsi, keadilan di masyarakat yang menjadi korban juga tercederai. Misalnya, korupsi dana desa dengan kerugian Rp50 juta. Menjadi kian bahaya, lantaran korupsi desa menempati peringkat pertama berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW). Nah bila terdapat impunitas, praktik korupsi dana desa bakal kian meningkat.

“Karena tak ada mekanisme saran koreksi sosial dan pemberian efek jera,” lanjutnya.

Dia mengingatkan praktik impunitas melalui penerapan restorative justice terhadap perkara kasus korupsi semakin tidak relevan. Sebab, hukuman terhadap pelaku korupsi masih sangat rendah. Ironisnya, rata-rata hukuman yang diganjar pengadilan terhadap pelaku korupsi sepanjang 2020 hanya 3 tahun 1 bulan penjara.

“Jadi bagaimana mau impunitas, jika hukuman pokoknya saja masih rendah,” tegasnya.

Berbeda, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Indriyanto Seno Adji berpandangan, terjadi pergeseran paradigma dalam hukum pidana yang semula keadilan retributif menjadi restorative justice. Karenanya, dalam hukum pidana perlu melihat manfaat dan dampaknya bagi negara dan masyarakat luas.

Menurutnya, Kejaksaan dengan Perja 15/2020 sudahlah tepat menerapkan keadilan restoratif. Perja 15/2020 dinilai futuristik ke depan serta mengikuti gerak dinamika kejahatan extra ordinary atau serious crime. Menariknya, beleid tersebut mengatur penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif antara lain mempertimbangkan cost and benefit penanganan perkara.

“Tidak ada peraturan di lembaga, apalagi di KPK itu mencantumkan apa itu cost on benefit dalam penanganan perkara,” ujarnya.

Anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK itu mendukung Kejaksaan dalam penerapan restorative justice dalam penanganan perkara korupsi minor. Menurutnya, dalam Perja 15/2020 terdapat diskresi yang terikat, tapi memberi ruang hubungan administrasi dengan hukum pidana. Dia menilai diskresi menghentikan penuntutan dilakukan secara berjenjang ke pimpinan sebelum memutuskan bisa tidaknya penerapan restorative justice. Dengan kata lain penilaian pun dilakukan secara ketat.

“Saya mendukung dan mampu bertanggung jawab secara akademik,” katanya.

Tags:

Berita Terkait