Respons Pakar Soal Aturan Baru Penghindaran Pajak Berganda
Berita

Respons Pakar Soal Aturan Baru Penghindaran Pajak Berganda

Penyederhanaan administrasi dianggap masih belum menyelesaikan persoalan penghindaran pajak berganda. Pemerintah harus segera mensosialisasikan daftar negara mitra, objek pajak hingga besaran tarif dalam P3B.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dalam regulasi perpajakan nasional bertujuan untuk menghindari terjadinya pemotongan atau pungutan tarif berganda atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri (WPLN). Penerapan P3B ini harus didahului dengan kesepakatan antar negara untuk menentukan objek dan subjek pajak yang mendapatkan tarif khusus.

 

Ketentuan P3B merupakan perangkat hukum yang berlaku khusus atau lex-specialis, sehingga kedudukannya berada di atas aturan pajak domestik. Wajib pajak juga harus memenuhi berbagai persyaratan dan melengkapi dokumen administrasi untuk mendapatkan perlakuan khusus.

 

Namun dalam praktiknya, penerapan P3B saat ini dianggap masih belum berjalan maksimal. Ketidakjelasan informasi seperti daftar negara mitra, objek pajak hingga besaran tarif masih dirasarakan para wajib pajak. Selain itu, rumitnya penyusunan dokumen pengajuan P3B juga menambah persoalan dari implementasi ketentuan ini.

 

(Baca Juga: Penyederhanaan Regulasi Perpajakan Baru Bagi Pengembang Properti)

 

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan baru saja mengeluarkan aturan baru mengenai proses administrasi bagi wajib pajak untuk mendapatkan perlakuan khusus P3B.  Aturan baru tersebut tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku efektif pada 1 Januari 2019. Aturan baru ini juga sekaligus menggantikan peraturan sebelumnya yang tercantum dalam PER-10/PJ/2017.

 

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018

Manfaat P3B dan Kewajiban Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak

Pasal 2:


WPLN yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dapat memperoleh Manfaat P3B sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B dengan ketentuan:

  1. penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia;
  2. penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak  dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
  3. tidak terjadi penyalahgunaan P3B; dan
  4. penerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal dipersyaratkan dalam P3B.

 

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat, Hestu Yoga Saksama menjelaskan proses administrasi P3B dalam aturan baru ini lebih sederhana dibandingkan sebelumnya. Sehingga, aturan baru ini akan lebih memudahkan wajib pajak mengajukan P3B. Selain itu, dia mengatakan aturan baru ini merupakan salah satu reformasi birokrasi perpajakan agar meningkatkan penerimaan negara.

 

(Baca Juga: Begini Pokok-pokok Aturan Baru UU PNBP)

 

“Aturan baru ini menyederhanakan proses administrasi untuk wajib pajak dalam menerapkan ketentuan dalam P3B antara Indonesia dengan negara mitra P3B. Penyederhanaan regulasi sehingga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi perpajakan Indonesia,” jelas Yoga dalam keterangan persnya, Kamis (22/11).

 

Terdapat berbagai pokok-pokok perubahan dalam aturan ini yaitu Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri (Form DGT), Frekuensi penyampaian Form DGT, Saluran penyampaian Form DGT dan Periode masa dan tahun pajak pada Form DGT.

 

Pokok-pokok Pengaturan

Aturan Lama

Aturan Baru

Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri (Form DGT)

Dua jenis formulir sejumlah masing-masing tiga lembar dan dua lembar halaman

Satu jenis formulir sejumlah dua lembar halaman

Frekuensi penyampaian Form DGT

Setiap bulan dalam SPT Masa setiap Pemotong/Pemungut Pajak

Satu kali dalam periode yang dicakup dalam Form DGT oleh Pemotong/Pemungut Pajak yang pertama kali menyampaikan Form DGT

Saluran penyampaian Form DGT

Secara manual (salinan yang dilegalisasi)

Secara elektronik

Periode masa dan tahun pajak pada Form DGT

Paling lama 12 bulan, tidak dimungkinkan melewati tahun kalender (mis. Agustus – Desember 2018)

Paling lama 12 bulan, dimungkinkan melewati tahun kalender (mis. Agustus 2018 – Juli 2019)

 

Menanggapi aturan ini, pengamat perpajakan dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Ronny Bako menyambut positif penyederhanaan administrasi proses P3B. Meskipun, dia menilai penyederhanaan administrasi ini belum cukup menyelesaikan permasalahan perpajakan dalam proses P3B. Menurutnya, wajib pajak selama ini masih kesulitan mengetahui daftar negara mitra, objek pajak dan tarif yang diatur dalam P3B.

 

“Masalahnya, wajib pajak saat ini masih banyak yang tidak tahu dengan negara mana saja Indonesia berpartner dalam P3B. Sebab, ketentuan ini tidak berlaku terus menerus ada jangka waktunya jadi bisa berubah-ubah. Lalu, wajib pajak juga masih belum tahu besaran tarif dan objek pajak apa saja yang mendapat perlakuan khusus,” jelas Ronny Bako kepada hukumonline.

 

Tidak hanya itu, Ronny menjelaskan saat ini terjadi perselisihan pandangan atau dispute mengenai P3B antar negara. Sebab, terdapat perbedaan interpretasi pajak antar negara sehingga kesepakatan P3B dengan negara mitra tidak berjalan.

 

“Setahu saya, misalnya dengan India, Indonesia sudah tidak berpartner lagi dalam P3B karena adanya perbedaan pandangan itu,” katanya.

 

Dengan demikian, dia mengimbau agar DJP gencar menyosialisasikan ketentuan-ketentuan dalam P3B kepada para wajib pajak sehingga penerapan P3B dapat berjalan maksimal. Kejelasan ketentuan-ketentuan tersebut juga dapat menjadi pertimbangan bagi wajib pajak untuk mengajukan P3B.

 

“Harus di-sounding dulu sampai saat ini perjanjian P3B mana yang masih berlaku. Sebab, yang paling sulit adalah WP itu tahu P3B berlaku dengan negara mana saja,” kata Ronny.

 

Tags:

Berita Terkait