Respons KPK atas Indeks Persepsi Korupsi yang Dirilis TII
Berita

Respons KPK atas Indeks Persepsi Korupsi yang Dirilis TII

KPK menilai tindak pidana korupsi merupakan persoalan yang kompleks, sehingga tidak bisa dilihat hanya dari satu skor.

M. Agus Yozami
Bacaan 3 Menit
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: RES
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons hasil penelitian Transparency International Indonesia (TII) terkait dengan Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2020. KPK menilai tindak pidana korupsi merupakan persoalan yang kompleks, sehingga tidak bisa dilihat hanya dari satu skor.

"Korupsi juga merupakan persoalan yang kompleks. Tidak bisa dilihat hanya dari satu skor. Selain itu, pengukuran berbasis persepsi masyarakat sering kali bersifat sticky," ucap Plt. Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding seperti dikutip dari Antara, Jumat (29/1).

Rilis Transparency International Indonesia (TII) terkait dengan Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2020, terjadi kemerosotan 3 poin menjadi 37 dari sebelumnya 40 pada tahun 2019 dan berada di posisi 102 dari 180 negara yang disurvei.

"Salah satunya karena ada time lag (jeda waktu) antara intervensi atau kebijakan yang dilakukan pemerintah dengan yang diterima oleh masyarakat sehingga persepsi masyarakat kerap kali bisa berubah dalam waktu cepat," kata Ipi.

IPK Indonesia, lanjut dia, merupakan indeks komposit yang menggabungkan beberapa skor hasil survei atau penilaian dari beberapa lembaga menjadi satu skor. "Artinya, dari skor CPI ini perlu didalami aspek-aspek apa saja yang menyebabkan skor korupsi CPI menjadi rendah atau tinggi," ujar Ipi. (Baca: Ada Relasi Penanganan Covid-19 dan Korupsi)

Ia mengatakan bahwa TII memberikan catatan bahwa Indonesia masih memiliki tantangan serius, khususnya pada dua hal, yakni korupsi politik dan penegakan hukum. "Meskipun skor indikator penegakan hukum (WJP-ROL) naik, indikator ini selalu berada di bawah rerata komposit CPI tiap tahunnya. Dari sisi penegakan hukum juga dinilai perlu perbaikan kualitas layanan/birokrasi," tuturnya.

Selain itu, TII juga memberikan catatan pandemi COVID-19 bukan hanya membawa krisis kesehatan dan ekonomi, melainkan juga krisis korupsi dan demokrasi. "Bagi KPK, catatan ini tentu menjadi masukkan dan akan kami pelajari agar upaya pemberantasan korupsi ke depan dapat lebih tepat sasaran dan terukur," ujar Ipi.

Ipi juga menjabarkan upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan KPK. Menurutnya, dari hasil studi dan penelitian KPK di sektor politik, episentrum korupsi di Indonesia adalah masih lemahnya sistem politik di Indonesia, khususnya partai politik. “Sistem politik saat ini menjadi iklim yang subur bagi tumbuh dan berkembangnya politik yang koruptif,” katanya.

Ipi mengatakan bahwa KPK telah memberikan rekomendasi untuk perbaikan sistem politik, termasuk di dalamnya pembenahan partai politik. Demikian juga, dalam upaya pencegahan korupsi pada masa pandemi, sejalan dengan rekomendasi TII, KPK telah mendorong pentingnya penguatan peran dan fungsi lembaga-lembaga pengawas.

"Salah satunya, KPK mendorong pemberdayaan aparatur pengawasan intern pemerintah (APIP). KPK merekomendasikan pemerintah untuk memastikan adanya kecukupan dan kompetensi sumber daya serta independensi APIP dalam menjalankan tugasnya," kata Ipi.

Dalam pengadaan barang dan jasa, KPK juga telah menerbitkan panduan sebagai rambu untuk menghindari praktik mark-up, benturan kepentingan dan perbuatan curang lainnya serta tidak memanfaatkan pelonggaran pengadaan barang dan jasa untuk korupsi.

Selanjutnya, KPK juga mendorong praktik-praktik good governance yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dengan membuka data dan menyediakan saluran pengaduan masyarakat.

"Penerapan tata kelola pemerintahan yang baik secara konsisten diharapkan dapat meningkatkan kualitas manajemen ASN, efektivitas tata laksana, peningkatan kualitas pelayanan publik, serta meningkatkan akuntabilitas kinerja birokrasi seluruh instansi pemerintah," tuturnya.

Menurut dia, IPK Indonesia tersebut merupakan gambaran kondisi korupsi di Indonesia yang masih harus terus dibenahi sehingga pemberantasan korupsi tidak boleh berhenti pada tataran jargon atau slogan semata.

"Demikian juga dengan sistem reformasi birokrasi jangan berhenti sebatas slogan atau tataran administratif belaka. Tanpa aksi kolaboratif antara negara dan masyarakat, serta seluruh elemen bangsa maka korupsi di Indonesia sulit diatasi," kata Ipi.

Seperti diketaui, TII merilis IPK Indonesia 2020 yang mengacu pada sembilan sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori. Skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih. Interval pengambilan data medio setahun terakhir sampai dengan Oktober 2020 yang mengukur persepsi pebisnis dan pakar.

Di ASEAN, Singapura menjadi negara yang dinilai paling tidak korup (skor 85), diikuti Brunei Darussalam (60), Malaysia (51), dan Timor Leste (40). Namun, Indonesia masih di atas Vietnam dan Thailand (skor 36), Filipina (34), Laos (29), Myanmar (28), dan Kamboja (21).

“CPI Indonesia tahun 2020 ini kita berada pada skor 37 dengan rangking 102 dan skor ini turun tiga poin dari tahun 2019 lalu. Jika tahun 2019 lalu kita berada pada skor 40 dan rangking 85, ini 2020 berada diskor 37 dan rangking 102," kata Peneliti TII Wawan Suyatmiko.

 

Tags:

Berita Terkait