Respons KLHK Soal Kerusakan Lingkungan Akibat Tambang Freeport
Berita

Respons KLHK Soal Kerusakan Lingkungan Akibat Tambang Freeport

Sebanyak 48 sanksi yang diberikan pada kegiatan pertambangan PT Freeport Indonesia. KLHK menyatakan sebagian besar sanksi tersebut telah ditindaklanjuti.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Inspektur Jenderal KLHK, Ilyas Asaad (kiri). Foto: MJR
Inspektur Jenderal KLHK, Ilyas Asaad (kiri). Foto: MJR

Permasalahan kerusakan lingkungan akibat pertambangan PT Freeport Indonesia (PTFI), Jayapura terus menjadi perhatian publik seiring dengan proses divestasi saham kepada PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) Persero. Mulai dari isu besarnya nilai kerugian materi hingga sosial terus menjadi persoalan sampai saat ini.

 

Munculnya persoalan tersebut karena selama ini pemerintah dianggap tidak transparan mengenai hasil pemeriksaan kegiatan pertambangan PTFI. Menanggapi kondisi tersebut, Inspektur Jenderal KLHK, Ilyas Asaad menjelaskan pemerintah sebenarnya telah melakukan pemeriksaan khususnya mengenai kerusakan lingkungan dari kegiatan pertambangan PTFI.

 

Berdasarkan hasil pemeriksaan September lalu, KLHK menemukan sebanyak 48 pelanggaran lingkungan akibat pertambangan PTFI. Pelanggaran tersebut juga telah ditindaklanjuti dengan penetapan sanksi administratif kepada PTFI melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK 5559/MENLHK-PHLHK/PPSA/GKM.0/10/2017.

 

Ilyas menjelaskan sebagian besar pelanggaran tersebut berhubungan dengan limbah atau tailing pertambangan PTFI. “Kerusakan paling besar sehubungan dengan tailing (limbah),” kata Ilyas di Gedung KLHK, Rabu (9/1).

 

Berdasarkan pemeriksaan KLHK, 48 sanksi tersebut dikelompokkan menjadi sebagai berikut:

  1. Melakukan kegiatan tidak dilengkapi dengan izin lingkungan  sebanyak 12 kegiatan
  2. Melakukan kegiatan tidak sesuai dengan Amdal berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-55/menlh/12/1997, sebanyak 7 kegiatan
  3. Tidak melakukan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan, sebanyak 12 kegiatan.
  4. Tidak melakukan upaya pengendalian pencemaran air, sebanyak 5 kegiatan
  5. Tidak melakukan upaya-upaya pengendalian pencemaran udara, sebanyak 5 kegiatan.
  6. Tidak melakukan upaya-upaya pengelolaan LB3, sebanyak 7 kegiatan.

 

Ilyas menjelaskan dari sejumlah sanksi tersebut sebanyak 42 kegiatan telah selesai dilaksanakan pihak PTFI. Sedangkan, sebanyak 6 sanksi lainnya belum dapat diselesaikan dengan dalih memerlukan waktu yang lama untuk penyelesaiannya serta adanya aspek keamanan.

 

“Sanksi yang belum dilaksanakan tersebut antara lain pengelolaan sedimen non tailing dari lower Wanagon serta area tambang dalam pemasangan  alat pemantau kontinyu untuk mengukur debit harian pada titik pantau 57, pemenuhan baku mutu emisi cerobong dan pemenuhan baku mutu kualitas air estuaria, untuk selanjutnya diselesaikan melalui mekanisme roadmap (peta jalan),” jelas Ilyas. 

 

(Baca Juga: Sah Jadi Milik Inalum, Kontrak Karya PT Freeport Berubah Jadi IUPK)

 

Lebih lanjut, Ilyas menekankan saat ini pihaknya masih berpegang pada Kepmen Roadmap Nomor 594/Menlhk/Setjen/PLA.0/12/2018 dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan Nomor 175/Menlhk/Setjen/PLB.3/4/2018 tentang Persyaratan Pengelolaan tailing untuk PTFI. Kepmen tersebut berisikan tentang prosedur-prosedur yang harus dipenuhi PTFI dalam mengelola limbah tambangnya.

 

“Kepmen 175 tidak pernah dicabut dan tetap masih berlaku. Roadmap yang disusun merupakan langkah menuju pengelolaan tailing yang lebih baik. Melalui Kepmen Roadmap Nomor 594 ditegaskan langkah yang perlu dilakukan oleh PT Freeport Indonesia dalam menuju pengelolaan tailing sebagaimana diatur dalam Kepmen 175,” jelas Ilyas.

 

Masih menurut Ilyas, berdasarkan pemeriksaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), KLHK telah menyetujui  Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) yang diterbitkan PTFI. Dokumen tersebut melingkupi 21 kegiatan yang telah berjalan namun belum mempunyai izin lingkungan. Izin tersebut tercantum dalam SK.32/PKTL/PDLUK/PLA.4/ 5/2018 tentang pengesahan dokumen evaluasi lingkungan hidup perubahan kegiatan usaha pertambangan dan fasilitas pendukung dari yang tercantum dalam AMDAL, RKL, dan RPL regional rencana perluasan kegiatan penambangan tembaga.

 

(Baca Juga: Risiko Hukum Divestasi Freeport yang Patut Diwaspadai Inalum)

 

Atas pelanggaran yang mengakibatkan kerusakan lingkungan tersebut, KLHK menjatuhkan denda kepada PTFI sebesar Rp 460 miliar. Denda tersebut akibat penggunaan kawasan hutan tanpa izin sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008  tetang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan. Sanksi tersebut dihitung penggunaanya sejak tahun 2008.

 

Permasalahan lingkungan ini juga mendapat perhatian khusus dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Anggota IV BPK, Rizal Djalil menjelaskan pihaknya menemukan temuan pada kegiatan Kontrak Karya PTFI sepanjang 2013-2015 berupa penggunaan hutan lindung seluas 4.535,93 hektar tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari KLHK dan pembuangan limbah yang mengakibatkan kerusakan ekosistem. Selain itu, BPK juga mendapat temuan kekurangan penerimaan negara berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan kelebihan pencairan jaminan reklamasi sebesar US$ 1.616.454,16 atau sekitar Rp 23 miliar.

 

Lebih lanjut, Rizal menjelaskan permasalahan kekurangan penerimaan negara dalam PNBP dan kelebihan pencairan jaminan reklamasi tersebut telah diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan berlaku. Kemudian, Kementerian ESDM dan KLHK juga telah membuat pembaharuan regulasi terkait dengan pengelolaan usaha jasa pertambangan sesuai dengan rekomendasi BPK. “Sehingga, potensi penyimpangan pada masa yang akan datang dapat dicegah dan tidak terjadi kembali,” jelas Rizal saat konperensi persi di Gedung BPK, Desember lalu.

 

Selain temuan tersebut, BPK sebenarnya pernah melaporkan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu terhadap KK PTFI pada Maret 2018. Dengan bekerjasama Institut Pertanian Bogor dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menyatakan terjadi kerusakan ekosistem akibat limbah PTFI senilai Rp 185 triliun.

 

Tags:

Berita Terkait