Resmi Tersangka, Eks Dirut Pertamina Ditahan di Rutan KPK
Terbaru

Resmi Tersangka, Eks Dirut Pertamina Ditahan di Rutan KPK

Dilakukan penahanan 20 hari ke depan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Karen Agustiawan di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada  Juni 2019. Foto: RES
Karen Agustiawan di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Juni 2019. Foto: RES

Tak  terbayang di benak Galaila Karen Kardinah (GKK) alias Karen Agustiawan (KA) bakal berurusan dengan hukum untuk kali keduanya. Kali ini, eks Dirut PT Pertamina periode 2009-2014 itu resmi ditetapkan sebagai tersangka,  dan langsung diboyong ke Rumah Tahanan (Rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) di Pertamina tahun 2011-2021. Penetapan tersangka setelah Karen menjalani pemeriksaan sekian jam di depan penyidik lembaga antirasuah dan ke luar mengenakan rompi orange.

“Menetapkan serta mengumumkan tersangka GKK alias KA selaku Direktur Utama PT Pertamina (Persero) tahun 2009-2014,” ujar Ketua KPK Firli Bahuri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (19/9/2023) malam, sebagaimana dikutip dari laman Antara.

Penahanan dilakukan penyidik demi kepentingan penyidikan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebagaimana diketahui, Pasal 20 KUHAP ayat (1) KUHAP menyebutkan, “Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan”.

Penahanan dilakukan terhadap Karen selama 20 hari ke depan terhitung sejak 19 Oktober 2023 hingga 8 Oktober 2023 di Rutan KPK. Firli menjelaskan, perkara dugaan korupsi bermula sekitar 2012 silam, kala itu PT Pertamina memiliki rencana pengadaan gas alam cair alias liquefied natural gas (LNG) sebagai alternatif mengatasi terjadinya defisit gas di Indonesia.

Baca juga:

Sebab diprediksi kala itu, defisit gas bakal terjadi di tanah air dalam kurun rentang waktu antara 2009-2040. Karenanya diperlukan pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero. Kemudian Industri Pupuk dan Industri Petrokimia lainnya di Indonesia.

Rupanya, Karen yang diangkat sebagai Direktur Utama PT Pertamina Persero periode 2009-2014 kemudian menerbitkan kebijakan untuk menjalin kerjasama dengan beberapa produsen dan supplier LNG yang ada di luar negeri. Seperti kerja sama dengan perusahaan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC Amerika Serikat.

Nah, Karen pun secara sepihak ditengarai langsung memutuskan melakukan kontrak perjanjian dengan CCL tanpa melakukan kajian hingga analisis secara menyeluruh. Bahkan tidak melaporkan ke Dewan Komisaris PT Pertamina Persero. Selain itu, pelaporan untuk menjadi bahasan di lingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dalam hal ini pemerintah, tidak dilakukan sama sekali.

“Sehingga tindakan Karen tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu,” ujar Firli.


Buntut keputusan tersebut, kargo LNG milik PT Pertamina Persero yang dibeli dari perusahaan CCL menjadi tidak terserap di pasar domestik yang berakibat kargo LNG menjadi kelebihan pasokan dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia. Kondisi kelebihan pasokan tersebut kemudian harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional oleh PT Pertamina Persero.

Perbuatan GKK alias KA menimbulkan dan mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar 140 juta dolar AS atau sekitar Rp2,1 Triliun. Alhasil, perbuatan Karen dijerat dengan sangkaaan Pasal Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Perintah jabatan

Sementara Karen mengatakan, sudah memberikan keterangan kepada penyidik KPK soal kebijakan pengadaan LNG dari Corpus Christi Liquefaction LLC Amerika Serikat. Penjelasan tersebut dituangkan dalam 13 halaman berita acara pemeriksaan dengan 20 pertanyaan. Menurutnya, aksi korporasi tersebut dilakukan mengikuti perintah jabatan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.

“Di mana gas harus 30 persen. Terus Inpres 1 Tahun 2010 dan Inpres No.14 Tahun 2014,” ujarnya usai menjalani pemeriksaan.

Karen menegaskan, pengadaan LNG di Pertamina bukanlah aksi secara pribadi, tapi menjadi aksi korporasi Pertamina berdasarkan Inpres dan surat Unit Kerja Presiden 4 sebagai pemenuhan proyek strategis nasional. “Kalau tadi dibilang rugi, pertama saya ingin sampaikan bahwa perjanjian di tahun 2013 dan 2014 sudah dianulir dengan perjanjian 2015. Dan di Perjanjian 2015 di sana disampaikan di ayat 24,2 bahwa perjanjian 2013 dan 2014 sudah tidak berlaku lagi,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, kasus yang menjerat Karen merupakan kedua kalinya. Kasus pertama, Karen tersandung perkara hukum dugaan korupsi. Pertengahan 2019, Karen diganjar vonis 8 tahun penjara serta denda Rp1 miliar subsider 4 bulan kurungan karena dinilai terbukti dalam kasus investasi blok Baser Manta Gummy (BMG) di Australia. Tapi setelah mendekam di balik jeruji besi selama 1,5 tahun, Karen dinyatakan lepas dari segala tuntutan berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA).


Tags:

Berita Terkait