Rentetan Permasalahan Internal KPK Dinilai Timbulkan Ketidakpercayaan Publik
Terbaru

Rentetan Permasalahan Internal KPK Dinilai Timbulkan Ketidakpercayaan Publik

Permasalahan didasari adanya perubahan UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

CR-27
Bacaan 5 Menit
Diskusi daring soal evaluasi dua tahun kinerja KPK, Senin (27/12). Foto: CR-27
Diskusi daring soal evaluasi dua tahun kinerja KPK, Senin (27/12). Foto: CR-27

Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia (TII) dan Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) menilik dua tahun kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rentetan permasalahan internal yang terjadi di tubuh KPK dinilai menimbulkan ketidakpercayaan publik. Permasalahan itu sendiri berkaitan dengan adanya perubahan UU No. 30 Tahun 2002 menjadi UU No.19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam sesi diskusi yang dilakukan secara daring, Senin (27/12), Peneliti Pukat UGM Zainur Rohman menyayangkan dalam dua tahun terakhir tidak ada kajian KPK terkait permasalahan-permasalahan korupsi. Bahkan tidak ada diskusi yang dilakukan KPK dengan pemangku kepentingan masyarakat.

“KPK terkesan adem ayem dengan berbagai persoalan korupsi, seakan-akan sudah puas dengan apa yang ada, bahkan lembaga lain seperti PPATK lebih aktif dalam pemberantasan RUU,” ujarnya. (Baca Juga: Stepanus Robin Ingin Bongkar Peran Lili Pintauli)

Menurut Zainur, baik pemerintah dan DPR tidak mempunyai iktikad baik untuk membuat regulasi dengan sanksi. Bila Indonesia mewajibkan adanya Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagai instrumen pengawasan penyelenggaraan negara, maka satu-satunya cara adalah dengan menyertakan jenis sanksi yang jelas dan tegas di dalam undang-undang. Sehingga, hal itu dapat dijadikan sebagai instrumen untuk mencegah korupsi karena harta penyelenggara negara dapat dipantau dan ketidakpatuhan terhadap pelaporannya bisa disertai dengan sanksi.

“Sayangnya pemerintah dan DPR tidak mempunyai iktikad untuk membuat regulasi pemberantasan korupsi dalam prolegnas dan tidak didorong oleh KPK selama dua tahun ini.  Bahkan KPK lebih sibuk mengurusi konflik internal dan memecat pegawainya terkait ujian TWK, sehingga KPK seakan lepas dalam mengawal RUU-RUU yang dapat mengubah permainan dan mendukung upaya pemberantasan korupsi,” sambungnya.

Selama dua tahun ini, Zainur menilai KPK tidak punya peran signifikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk penegakan hukum yang bermartabat dan bersih dari korupsi. KPK juga tidak menjadikan aparat penegak hukum sebagai prioritas penanganan, baik dalam bentuk penindakan maupun pencegahan. KPK tidak memproses aparat penegak hukum dalam penindakan, seperti yang telah dilakukan KPK pada periode sebelumnya.

“Kinerja internal KPK sangat dipengaruhi oleh berbagai pelanggaran kode etik selama 2 tahun ini. Begitu banyak pelanggaran etik yang telah dilakukan oleh pimpinan dan pegawai,” lanjutnya.

Belum lagi adanya dua mantan pimpinan KPK yang divonis oleh dewan pengawas, serta adanya kasus kode etik yang dilakukan para pegawai seperti pencurian emas dan mafia perkara yang dilakukan oleh mantan penyidik KPK menyebabkan runtuhnya kepercayaan publik.

“Dari pelanggaran kode etik yang dilakukan internal KPK, ini menunjukkan tidak ada keteladanan yang bisa diambil dari para pimpinan KPK. Selain melanggar kode etik, mereka juga berperilaku hidup mewah. Pimpinan KPK ini tidak menunjukkan keteladan etik maka tidak aneh jika para pegawai cenderung untuk melanggar etik juga,” tambahnya.

Dalam kesempatan yang sama, mantan Pimpinan KPK Saut Situmorang menilai pengawasan internal KPK saat ini dalam kondisi yang lunak. Menurutnya, situasi yang longgar dalam KPK jauh dari prinsip-prinsip yang ada dalam pemberantasan korupsi.

“KPK juga berjalan seperti tanpa arah yang jauh dalam membentuk Indonesia yang bersih dalam prinsi-prinsip yang beradab serta adil dan ini merupakan ancaman untuk republik ini,” ungkapnya.

Dia menilai politik hukum pemberantasan korupsi dan implikasi dari revisi Undang-Undang KPK turut memberi dampak pada Sumber Daya Alam (SDA). Menurutnya, seharusnya hal ini dipandang secara lebih jernih. KPK tidak hanya berbicara mengenai tindak pidana korupsi, tetapi juga kekuasaan yang dibatasi.

“Korupsi memiliki keterkaitan dengan kekuasaan, jika tidak terkait dengan kekuasaan maka itu hanya sama dengan pencurian biasa. Hal ini membuat KPK menjadi instrumen yang penting untuk membatasi kekuasaan,” kata Saut.  

Senada dengan Saut, dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, menilai adanya beberapa kasus terkait dengan eksploitasi SDA yang terhambat penindakan dan pencegahannya oleh KPK merupakan implikasi dari revisi UU KPK.

“Sepanjang tahun 2021, kita melihat implikasi revisi UU KPK soal diletakkannya KPK di bawah eksekutif, sehingga memiliki implikasi serius pada efektivitas KPK. Independensi menjadi penting apalagi bagi pemberantasan korupsi dan harus dijauhkan dari mekanisme politik yang mungkin mengintervensi proses pemberantasan korupsi,” ungkapnya.  

Bivitri mengatakan KPK hadir sebagai institusi independen sebagai penegak hukum dalam tindak pidana korupsi. Namun sejak 2019, KPK dibunuh dengan revisi UU KPK yang berimplikasi langsung kepada internal KPK.

Fenomena korupsi yang berdimensi mengeksploitasi SDA, salah satunya fenomena di sektor lingkungan sudah saatnya dipertimbangkan secara serius, terutama bagaimana penggunaan SDA hingga eksploitasi SDA yang semakin mendapatkan tempat yang betul-betul menggiurkan.  Kebijakan yang ada akhir-akhir ini ternyata justru memberikan ruang bagi upaya eksploitasi yang tidak terlalu mempunyai perhatian terkait isu lingkungan.

Dosen Fakultas Hukum UGM, Totok Dwi Diantoro, mengatakan dalam pembangunan SDA merupakan andalan karena menjadi faktor produksi bagi negara berkembang. “Seperti negara kita yang memiliki cadangan SDA yang melimpah, baik biotik dan abiotik, penggunaan SDA membawa konsekuensi eksploitasi terhadap keberadaan SDA tersebut,” ujarnya.  

Birokrasi yang memiliki otoritas untuk bisa memberikan konsesi perizinan dalam banyak hal dinilai terjadi praktik-praktik korupsi di dalamnya. Seperti kasus Al Amin Nasution dalam pelepasan kawasan hutan Tanjung Api-Api di Sumsel pada tahun 2008 dan kasus Nur Alam dalam perizinan pertambangan tahun 2016.

Menurutnya, di sektor lingkungan dan SDA belum ada perhitungan yang cermat. Dengan demikian, hal ini merupakan suatu permasalahan ketika isu lingkungan dan SDA yang mestinya diperhatikan sebagai suatu kepentingan yang mendesak.

“Jika kita berpikir progresif, definisi terhadap kekayaan negara tidak sekadar berupa kekayaan yang sifatnya konvensional berupa barang milik negara atau daerah yg tercatat dalam APBN atau APBD, tetapi juga kekayaan yang sifatnya potensial,” katanya.  

Dalam UU Tipikor, kata Totok, yang dimaksud kerugian keuangan negara konteksnya yaitu yang bersifat nyata dan pasti, sudah dibukukan dan sudah ada surat neraca yang kemudian sudah dihitung dengan akurasi.

“Bahkan sudah ada wacana untuk mencakup bahwa yang namanya kekayaan negara itu luas definisinya. Oleh karena itu menjadi penting untuk memformulasikan tentang kerugian lingkungan sebagai satu tindakan yang oleh UU Tipikor yang dikualifikasikan sebagai tindakan korupsi. Kemudian memasukan sektor lingkungan dalam cakupan kekayaan negara, sehingga kerugian lingkungan juga sebagai bentuk kerugian negara. Apabila Tipikor dalam proses perizinan melakukan eksploitasi SDA, maka ini telah masuk ke proses penyalahan hukum dan aparat penegak hukum harus melihat ini berupa kerugian negara,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait