Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, berencana menambah jumlah Komando Daerah Militer (Kodam) di seluruh provinsi di Indonesia. Penambahan Kodam itu dinilai sebagai kebutuhan yang mendesak. Terlepas dari kebutuhan, tapi rencana tersebut mendapat kritik kalangan masyarakat sipil.
Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) Beni Sukadis, mengatakan rencana tersebut mengagetkan kalangan masyarakat sipil. Dia beralasan, karena sejak menjabat sebagai Menhan Prabowo menekankan pada pengadaan Alat Utama Sistem Senjata Tentara Nasional Indonesia (Alutsista).
“Menurut saya ini (penambahan Kodam baru,-red) tidak tepat karena kita mau modernisasi alutsista,” kata Beni dalam diskusi yang diselenggarakan Kontras bertema ‘Kodam di Tiap Wilayah hingga Intelijen di bawah Kemenhan: Jalan Mundur Reformasi Sektor Keamanan?,’ Senin (20/02/2023) kemarin.
Baca juga:
- 3 Catatan Kontras Terhadap Seleksi Hakim Ad Hoc HAM
- Sembilan Catatan Imparsial terhadap Agenda Reformasi TNI
Beni menjelaskan, sebelum melakukan penambahan Kodam terlebih dulu harus melihat kebijakan yang sudah diterbitkan, setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Misalnya, ada rencana strategis. Antara lain pemenuhan Minimum Essential Force (MEF) yang menjadi standar kekuatan pokok dan minimum TNI. Saat ini sudah masuk dalam pemenuhan MEF tahap III periode 2019-2024 dengan target yang harus dicapai sampai akhir 2024.
“Dalam rencana strategis dan MEF tahap III itu tidak ada rencana untuk membentuk kodam baru,” ujarnya.
Jika kodam berada di seluruh provinsi, Beni menilai hal itu sama seperti struktur organisasi Polri. Padahal tugas TNI jelas berbeda dengan Polri dimana UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan dan UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI menegaskan tugas TNI untuk pertahanan berupa menangkal ancaman dari luar. TNI tidak bertugas menangani keamanan dalam negeri yaang sifatnya penegakan hukum karena itu ranah aparat kepolisian.